/// 25 ///

576 120 3
                                        

Fakta Mengejutkan


~°•°~


Suara gaduh dari barang-barang yang sengaja di jatuhkan menjadi satu-satunya pengiring bagi Rencaka untuk melampiaskan emosinya di pagi menjelang siang ini. Mengabaikan konsekuensi apa yang bisa terjadi jika ayahnya sampai tau tentang kekacauan besar yang ia perbuat di dalam ruangan pribadinya. Karena sejujurnya, Rencaka sudah benar-benar tak peduli tentang hal itu.

Remaja itu kini malah lebih fokus meredakan kemelut yang terjadi di dalam pikiran dan hatinya, tak peduli lagi pada setiap pelayan yang merasa takut sebab suara-suara yang ia hasilkan dari balik pintu coklat di ujung sana. Remaja itu lagi-lagi tak peduli. Dia hanya butuh pelampiasan dari segala gejolak amarahnya.

Lalu pikirannya berkelana, menyadari sebuah kesalahan fatal yang mungkin saja tanpa sadar telah ia lakukan.

Tentang kedua sahabatnya yang datang dengan ungkapan kekhawatiran, yang nyatanya malah semakin memperumit keadaan.

Tidak, tentu saja ini bukan kesalahan mereka. Ini murni kebodohannya, dan Rencaka mengakui itu sekarang.

Karena jika saja ia mengirimkan mereka pesan pemberitahuan, tentang kepergiannya yang mungkin akan berlangsung lebih lama dari biasanya. Mungkin mereka tidak akan datang dengan pengusiran yang ia lakukan tanpa pikir panjang, juga kesalahpahaman besar yang mungkin membentang diantara mereka sekarang.

Tapi apa yang bisa ia lakukan, jika kenyataannya bahkan lebih rumit dari yang terlihat dipermukaan. Bagaimana ia bisa mengirimi mereka pesan, jika untuk makan dan istirahat pun waktunya benar-benar berkurang.

Bahkan sejak kepergiannya ke Jerman lebih dari satu minggu yang lalu, hanya ada satu hal besar yang menjadi fokusnya saat itu. Tentang bagaimana agar segala permasalahannya disana bisa secepatnya terselesaikan, lalu kembali kesini dengan beban yang sedikitnya bisa berkurang.

Tapi Rencaka terlalu naif tentang itu. karena tanpa ia tau, ambisi besarnya justru menimbulkan permasalahan lain yang malah harus ia hadapi sekarang. Membuatnya tanpa sadar berteriak lantang melampiaskan kemarahan.

Hingga setelahnya, tubuh ringkih Rencaka langsung meluruh terduduk di lantai ruang pribadinya. Menutup matanya rapat-rapat dengan tangan yang menarik kuat surai hitamnya, merasa pusing luar biasa setelah sejak beberapa hari terakhir ini berhasil ia tahan sekuat tenaga. Hingga tak berapa lama kemudian, tubuh remaja itu sudah benar-benar kehilangan dayanya. Semakin meluruh tergeletak dengan kesadaran yang perlahan memudar.



∆•∆•∆•∆



Dua entitas anak adam yang terduduk di kursi depan sebuah mobil terlihat terbelenggu keheningan, belum ada yang berniat merusak sunyi bahkan hingga hampir lima menit berlalu.

Besi beroda empat itu tak terlihat berjalan, hanya terparkir rapi di samping jalan di dekat sebuah taman perumahan. Sengaja diberhentikan karena memang tak punya tempat pelabuhan lain sebagai tujuan.

Lalu, helaan nafas panjang terdengar bertepatan dengan Nakarsa yang mengalihkan pandangan. Dari yang semula memandang lurus pada kerumunan anak dari balik jendela samping, menjadi memperhatikan Jendarkala yang sedari tadi diam dengan pandangan lurus menembus kaca depan.

"Gue rasa emang kita yang salah Jen,"

Jendarkala hanya melirik sekilas, sebagai bukti bahwa ucapan Nakarsa sedikitnya mampu menarik atensi remaja bersurai legam di kursi kemudi.

Titik Simpang { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang