/// 32 ///

599 119 28
                                    

Permainan Takdir


~°•°~
Berdoa dulu ya, moga sesuai ekspektasi




"Kita mau kemana sekarang?" Pertanyaan Nakarsa terlontar begitu mulus, sesaat setelah mobil Jendarkala berhasil melewati gerbang sekolah. Keduanya tadi memang langsung kambali ke sekolah setelah perdebatan panjangnya dengan Rencaka, dan sepakat untuk memperbaiki segalanya sepulang dari sana.

"Ke cafe."

Nakarsa kontan menoleh. "Gue nggak yakin Rencaka ada disana setelah semua yang terjadi."

"Itu udah pasti." Jendarkala menyahut cepat.

Lalu kerutan itu terpatri. "Trus buat apa kita pergi ke sana kalo gitu?"

"Gue perlu ketemu sama bunda, ada hal penting yang harus gue bicarain sekarang juga."

Nakarsa benar-benar tak paham, sungguh. Karena bukankah yang terpenting sekarang adalah permasalahan mereka dengan Rencaka? Lalu? "Soal apa?"

Jendarkala kontan melemparkan tatapannya, bersamaan dengan mobil mereka yang terhenti sebab lampu merah didepan sana. "Apa lo akan percaya kalo gue bilang bunda lo kenal sama ayah gue?"

Hening.

"Hah?" Ujarnya setelah beberapa saat terdiam. "Tapi..... atas dasar apa lo ngomong kayak gitu?"

Jendarkala menatap sahabatnya lamat.

"Gue pernah ngeliat bunda keluar dari mension keluarga gue. Walaupun gue nggak yakin ini ada sangkut pautnya sama Rencaka atau enggak, tapi gue rasa bunda tau sesuatu dibelakang kita." Dan pada akhirnya Jendarkala memilih jalan ini, meyakinkan bahwa sosok tempo hari adalah Arumi. Bunda dari sahabatnya.

Sedangkan lawan bicaranya kontan terdiam, remaja itu jelas-jelas kebingungan. Tapi mengingat perilaku sang bunda yang akhir-akhir ini sedikit berbeda, tanpa sadar Nakarsa mengiyakan dalam hati. Apalagi kenyataan jika bundanya tak pernah lagi menanyakan keberadaan Rencaka, semakin terdengar aneh jika segalanya bejalan seperti kelihatannya.

Dan tepat ketika mobil Jendarkala berhenti tak jauh dari area cafe, Nakarsa langsung berniat untuk turun. Tapi seruan yang keluar dari mulut Jendarkala secara otomatis menghentikan pergerakannya. "Tunggu, itu bunda kan?"

Dan benar saja. Didepan sana, bundanya terlihat berjalan tergesa. Menghentikan sebuah taksi, sebelum masuk dan melaju dengan kecepatan tinggi.

"Kita ikutin bunda Jen."

Dan sesuai ucapan Nakarsa, Jendarkala kontan melajukan mobilnya membuntuti taksi didepan sana. Menjaga jarak pada batas aman, dengan keterdiaman sebab memikirkan segala kemungkinan.

Empat puluh lima menit berlalu, kedua remaja dengan seragam sekolah yang masih melekat sempurna itu dibuat semakin gusar. Apalagi saat taksi yang mereka ikuti tetap saja melaju meninggalkan kawasan kota, menuju daerah pinggiran dengan suasana hutan di kanan kiri jalan.

"Bunda mau kemana sih?" Tak ada balasan, sebab sang lawan bicara pun tak tau apa jawabannya.

Sedangkan waktu terus saja berlalu, dengan kedua mobil yang kian melaju kencang. Hingga netra Jendarkala memicing, mendapati taksi yang mereka ikuti perlahan mengurangi kecepatannya sebelum berbelok dan berhenti tepat dihalaman sebuah bangunan tua. Semacam hunian yang telah lama terbengkalai.

Jendarkala memilih menepikan mobilnya, memantau pergerakan bundanya dari jarak jauh. Pun dengan memanfaatkan pagar besi yang ditumbuhi tanaman liar sebagai tempat persembunyian.

Titik Simpang { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang