/// 9 ///

734 157 4
                                    

Tanya Yang Mengudara
-



~°•°~

Jam baru menunjukkan pukul tiga dini hari saat Nakarsa tiba-tiba terbangun sebab rasa haus di kerongkongan. Melirik sekilas kearah gelas kosong di atas nakas sebelum menghela nafas lelah, merutuki dirinya sendiri sebab kelupaannya mengisi air sebelum beranjak tidur.

Remaja itu mengubah posisi, menyibak selimut tebal yang ia gunakan sebelum benar-benar beranjak dari tempat tidur. Lalu segera keluar dari kamar dan bergegas ke arah dapur setelah sebelumnya menyambar gelas kosongnya dari atas nakas.

Semua berjalan lancar sebelumnya, hingga suara samar isakan tertahan menarik atensi remaja tujuh belas tahun itu dari tujuannya kembali ke kamar.

Kerutan samar tanpa sadar muncul di dahi lebarnya, melangkah perlahan menghampiri sumber suara yang ternyata berasal dari kamar sang bunda.

Tangannya terulur, membuka pintu di depannya dengan begitu hati-hati. Hanya tak ingin jika suara yang nantinya timbul akan mengganggu waktu bundanya.

Dan sesuai dugaan, wanita paruh baya dengan paras cantik itu tengah duduk membelakanginya. Terlihat memeluk sebuah figura foto dengan bahu bergetar, pun suara isakan yang beberapa kali juga lolos terdengar.

"Maafin bunda sayang, maafin keputusan bunda yang mungkin akan selalu menyakiti kamu."

Nakarsa bergeming, masih mencoba mencerna ucapan sang bunda yang tak ia ketahui apa maksudnya.

Hingga di detik ke sekian, remaja itu memilih beranjak. Kembali ke kamarnya dengan perasaan campur aduk, tentu saja setelah menutup kembali pintu kamar milik sang bunda.

Sedangkan remaja itu menyadari satu hal, bahwa dirinya tak memiliki keberanian untuk sekedar mempertanyakan perihal apa yang baru saja ia dengar.

Sesampainya di dalam kamar pun Nakarsa tak berniat langsung kembali ke alam mimpi. Remaja itu lebih memilih duduk meringkuk diatas tempat tidur, setelah sebelumnya menyibak gorden hingga terbuka sepenuhnya.

Memandangi bintang-bintang dengan perasaan sedih yang perlahan menghampiri, pun semakin mengeratkan pelukan pada kedua lutut saat bahunya mulai bergetar karena tangis.

Tapi satu yang pasti, ia tak paham dengan perasaan ini. Remaja itu hanya merasa sedih saat harus melihat bundanya menangis, juga ketidaktahuannya perihal maksud dibalik sederet kalimat yang sempat ia curi dengar dari sang bunda.


∆•∆•∆•∆

Keesokan harinya. Remaja pemilik eye smile khas dirinya itu terlihat tetap berjalan meski suara dari arah belakang berkali-kali menyerukan namanya. Membuat seluruh atensi penghuni koridor langsung tertuju pada keributan kecil yang saat itu terjadi.

"Jendarkala, gue bilang berhenti...."

Entahlah, sudah kali keberapa kalimat itu terlontar. Tapi si pemilik nama baru bersedia menghentikan langkahnya saat merasa bahwa drama abal-abal ini tak akan pernah selesai jika bukan karena dirinya. Jadi karena alasan itu, Jendarkala menghentikan langkahnya. Berbalik badan dengan wajah datar.

"Kenapa?"

Yang di tanya mendengus keras, mengalihkan pandangan sebab perasaan dongkol karena sedari tadi diabaikan. Mungkin ini pun juga sudah menjadi sifatnya, karena sedari kecil perintahnya memang selalu di laksanakan oleh para pelayan maupun penjaga. Jadi tak perlu heran pada si tuan muda.

"Lo tuh keras kepala banget ya, gue bilang kan kita harus ke UKS dulu buat ngobatin luka lo. Kenapa malah ke kantin?"

Iya, saat ini mereka memang sudah berada di ambang pintu kantin. Cukup jauh dari UKS yang letaknya memang berlawanan arah.

Titik Simpang { END }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang