11

3.5K 490 37
                                    

Ruang makan itu selalu sibuk di waktu sarapan, meski hari ini sepasang Uzumaki itu tengah duduk berjauh-jauhan tidak seperti biasanya.

"Kau masih marah?" Hinata bangkit dari kursinya dan menghampiri suaminya yang duduk di seberang meja tempatnya telah duduk lebih dulu.

Naruto tidak mengatakan apapun untuk menanggapi ucapan istrinya, dia hanya menatap wanita itu yang kini duduk di sampingnya sambil menyiapkan hidangan sarapan.

"Aku hanya bicara pada ayahku semalam dan tidak sadar kalau sudah terlalu larut untuk pulang. Ponselku mati dan tertinggal di dalam mobil." Hinata mencoba memberi pengertian, meski pagi ini sesungguhnya kondisi tubuhnya masih tidak begitu baik. Mengingat dirinya baru pulang jam empat dini hari sambil menangis sepanjang jalan. Beruntung dirinya bisa menyetir pulang dengan selamat.

"Kurasa mansion Hyuuga memiliki telepon rumah." Sahut Naruto, dia tidak marah tanpa alasan, dirinya hanya membutuhkan wanita itu menghubunginya.

"Salahku tidak mencoba menghubungimu." Hinata mengakui kesalahannya daripada terus bertengkar dengan Naruto dan kepalanya semakin sakit. "Maafkan aku."

Naruto menghela napas panjang "jangan diulangi lagi, aku sangat khawatir." Dia lalu meraih tangan istrinya di atas meja lalu mengusapnya dengan lembut. Mungkin semalam dirinya juga terlalu emosi hingga membentak Hinata. Dia menatap mata istrinya dengan serius kali ini, mengharapkan segala kejujuran keluar dari bibir istrinya. "Apa yang kau bicarakan dengan ayahmu sampai matamu sangat sembab?"

Hinata menelan ludahnya kasar, sebenarnya dia tak membicarakan hal yang sangat penting dengan ayah, hanya soal keseharian dan bisnisnya, tapi yang membuatnya menangis bukan itu. "Bukan hal yang penting."

"Hinata, jika kau seperti ini, maka aku tidak bisa percaya. Apa benar semalam kau menemui ayahmu?" Bukan Naruto curiga, tapi Hinata bersikap seperti ragu-ragu.

"Aku benar-benar menemui Ayah, namun kami tak membicarakan hal yang sangat penting. Hanya soal bisnis dan apa yang aku lakukan belakangan ini." Hinata menjelaskan, dia tahu kalau suaminya itu masih menyimpan tanda tanya di kepalanya.

"Lalu kenapa menangis?" Naruto tidak ingin dibohongi. "Jangan menipuku."

"Hanya rindu saja dengan ayahku." Ujar Hinata sekenanya.

Naruto melepaskan tangan Hinata dan membiarkan wanita itu termenung dan tenggelam dalam pikirannya. "jika kau begini terus, maka aku akan cari tahu, apa semalam kau benar-benar menemui ayahmu atau kau pergi ke tempat lain." Dia lalu mulai makan dengan perasaan yang masih berkecamuk. Istrinya seperti orang lain saja, wanita itu bersikap sangat aneh sejak pulang dini hari tadi.

"Aku tidak tahu apa kau berkata jujur, atau jangan-jangan kau menemui mantan kekasihmu, atau kau pergi ke club dan menjadi korban kemalangan. Aku tidak tahu apa yang terjadi semalam tapi saat kau pulang pada dini hari, aku tidak akan semudah itu percaya." Naruto bisa memaafkan Hinata apapun kesalahan yang mungkin wanita itu lakukan semalam, tapi tidak jika dia berbohong.

Hinata masih termenung, matanya menatap piring sarapan di atas meja, mengabaikan suaminya yang terus mengomel soal semalam dan tak percaya bahwa dirinya pergi menemui ayah. Apa sebaiknya dia beritahu saja kalau sebenarnya semalam dirinya sangat kalut karena menemukan dirinya tengah hamil sekarang. "Aku hamil, Naruto."

Pria bersurai pirang itu langsung terbatuk dengan keras dan menyemburkan air dalam mulutnya karena terkejut sedangkan istrinya hanya memasang raut datar sambil termenung menatap piring sarapannya. "Apa yang kau katakan?"

"Aku hamil, jadi bisakah kau berhenti memarahiku?" Hinata lalu menatap mata suaminya dengan serius. Suasana dapur dan meja makan yang tadi cukup sibuk berubah lengang saat tuan dan nyonya mulai bertengkar. Para pelayan pergi, merasa tak pantas mendengar permasalahan rumah tangga itu.

AgreementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang