30

3.9K 476 49
                                    

Keringat dingin mengucur deras dari kening Hinata, wanita itu terjaga dari tidurnya setelah menangis tersedu sepanjang malam ini dan pagi harinya dia merasa kram perut yang sangat hebat hingga bergerak saja rasanya sangat menyakitkan.

"Shh." Wanita itu mendesis tertahan seraya membuka mata yang terasa berat. Dia meraba perutnya dengan perlahan dan merasakan kepalanya seakan berputar dan pening.

Namun saat dia mencoba bangkit duduk sambil meremas sprei, dia merasakan bahwa sprei di bawah tubuhnya begitu basah dan saat dia menoleh ke bawah dia sangat terkejut mendapati ranjangnya sudah dibanjiri darah yang sepertinya keluar dari tubuhnya.

Rasa panik dan takut jadi satu, terlebih perutnya terasa seperti diremas kuat-kuat, untuk beberapa saat dia hanya bisa menggeliat kesakitan di atas ranjang sambil berharap tidak terjadi sesuatu pada bayinya, padahal jelas-jelas bayi itu telah luruh jadi darah yang membasahi ranjangnya.

Wanita itu tak ingin berteriak memanggil pelayan dan mengakibatkan keributan. Dia juga tak mau para pelayan mengetahui ini dan menyampaikannya pada Naruto.

Dia memang berencana memberitahu kehamilan ini saat keadaan Naruto sudah lebih baik karena dia takut ini akan jadi masalah jika disampaikan sekarang, saat ini Naruto juga selalu bersikap dingin padanya, jadi dia rasa ini bukan waktu yang tepat untuk memberitahunya.

Hinata meraih ponselnya di dalam tas yang ada di atas nakas lalu menelepon seseorang. Panggilamnya tidak diangkat hingga percobaan yang ke empat. Dia perlahan merangkak turun dari ranjang menuju kamar mandi agar darahnya luruh di sana.

Tangisannya memenuhi seisi kamar namun tak ada satupun yang mengetahuinya. Jadi dia harus melalui hari yang berat itu sendirian lagi.

Saat tiba di kamar mandi, Hinata duduk bersandar di pintu sambil memegang perutnya, dia masih menangis hingga tersengal sampai percobaan teleponnya yang ke lima mendapatkan jawaban.

"Hinata, apa kabar. Ada apa menelepon pagi-pagi?" Suara di seberang telepon menyapa dengan ramah.

Hinata masih terisak namun dia mencoba menahannya. "Boleh aku pergi ke Fujisawa?"

...

Naruto tersentak dari tidurnya saat merasa dada kanannya begitu nyeri. Dia melihat ke arah jam dinding yang ada di dekat jendela, baru pukul enam pagi.

Pria itu menghela napas pelan, semalaman ini dirinya tidak tenang karena merasa bersalah pada istrinya yang dia bentak dengan keras kemarin sore.

Wanita itu bahkan pergi dari sini sambil menangis. Jadi Naruto meraih ponselnya di atas nakas dan menelepon Hinata. Dia ingin bicara dengan wanita itu sebentar untuk meminta maaf agar semua ini tidak semakin rumit.

"Hinata?" Naruto terkejut saat panggilannya langsung diangkat hanya dalam waktu beberapa detik, ini masih jam enam pagi dia pikir istrinya belum terbangun.

"Em?" Hinata masih bersandar di pintu dengan tubuh tanpa tenaga. Dia tidak tahu siapa yang menelepon karena hanya mengangkatnya secara asal. Pikirannya tidak sedang berjalan lurus sekarang dengan genangan darah di kakinya.

"Kau sudah terbangun?" Naruto membuka pembicaraan. Dia menoleh ke kiri menatap kaca jendela ruang rawatnya yang memang selalu terbuka. Matahari mulai mencuat dibalik awan, menandakan pagi menjelang.

"Em." Hinata menyandarkan kepalanya di pintu sambil meremat pakaian terusan yang dia kenakan sejak kemarin.

Naruto rasa istrinya mungkin marah soal bentakannya kemarin. "Hinata, aku ingin minta maaf soal ucapanku kemarin, aku benar-benar tidak bermaksud."

AgreementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang