25

2.9K 433 36
                                    

Hinata tersentak kaget dari tidurnya, kelopak matanya terasa sangat berat untuk membuka karena seperti biasa selama satu minggu terakhir dia selalu menangis sebelum tidur.

Suara rengekan pelan terdengar dari sisi kiri ranjangnya dia melihat putranya juga terjaga dengan raut sedih siap menangis.

"Hey, Bolt terbangun?" Hinata lalu mengusap surai putranya dan menata kembali selimut yang dikenakan oleh Hima.

Putrinya terlelap dengan tenang di tengah, syukurlah hanya Bolt yang terbangun.

"Bolt sedikit demam." Hinata lalu menyalakan lampu tidur di atas nakas dan mengangkat tubuh putranya ke atas pangkuan.

Balita laki-laki itu lalu memeluk sang Ibu di atas pangkuan sambil menenggelamkan wajah di atas dadanya.

Hinata menyusun bantal-bantal untuk menjaga putrinya tidak terjatuh dari ranjang sebelum pergi keluar kamar membawa Boruto, dia sebetulnya tak begitu khawatir karena Hima selalu tidur dengan tenang dan tak banyak bergerak. Setelah memastikan semua cukup aman, dia harus membuat kompres untuk meredakan demam Boruto.

"Bolt terbangun?" Hiashi menoleh saat mendengar seseorang membuka pintu kamar.

Saat Hinata melangkah keluar kamar dia mendapati ayahnya ada di ruang tengah, masih sibuk dengan agenda kerjanya. "Bolt demam."

Hiashi meletakan agenda kerjanya dan bangkit berdiri dari sofa. Dia menghampiri putrinya lalu mengecek suhu tubuh cucunya dengan punggung tangan. "Berikan penurun panas." Tuntun Hiashi.

"Bolt memiliki alergi, aku tidak bisa memberikannya obat penurun demam." Hinata melangkah ke dapur untuk membuat kompres air hangat.

Hiashi mengusap lembut kepala cucunya yang nampak lemas di pelukan Hinata. "Jika demamnya besok pagi belum turun, kita harus membawanya ke rumah sakit."

Hinata mengangguk, dia meletakan kompres hangatnya di kening Boruto. Ah, jika anak-anak demam biasanya Naruto akan menemaninya terjaga sepanjang malam, mengganti kompres dan menggendong anak-anak secara bergantian.

Seminggu dirinya pergi, Hinata sebetulnya tak pernah merasa benar-benar tenang, dia sedih dan takut. Entah apa yang suaminya tengah lakukan di Jepang setelah dia membawa anak-anak seperti ini.

...

Naruto termenung menatap tanaman bunga matahari yang mulai tumbuh lebat di halaman belakang kediamannya. Pria itu telah termenung di sana selama satu jam penuh, mengingat pembicaraannya dengan Hinata beberapa waktu lalu, saat wanita itu memintanya mengganti tanaman mawar di sana agar anak-anak tidak terluka jika mereka sudah bisa berjalan.

Pria itu memejamkan mata dan menghela napas lelah, dia sudah pergi ke manapun untuk mencari anak dan istrinya selama seminggu penuh ini, melakukan segala hal untuk mencari mereka namun yang dia dapatkan adalah surat perceraian yang diajukan oleh istrinya ke pengadilan.

Pengacara keluarga Hyuuga yang mengurusnya sedangkan istrinya masih menghilang entah di mana.

'Apa benar kau menginginkan ini semua?' Naruto rasanya tidak percaya, kalau Hinata benar-benar ingin berpisah karena sejauh yang dia ingat, wanita itu telah mencintainya sama besar seperti dia mencintai wanita itu.

Wanita itu telah menjelma jadi sosok istri dan ibu yang sempurna di rumah, terutama sejak anak-anak lahir. Kalau dipikir-pikir rasanya memang tidak mungkin Hinata mengajukan perceraian lebih dulu apalagi saa wanita itu selalu khawatir soal masa depan anak-anak kalau mereka berpisah.

Jadi dia sangat yakin bahwa perpisahan ini sebenarnya keluarga Hyuuga yang menginginkannya.

Kepergian wanita itu dari rumah, membuatnya benar-benar kalut. Dia bingung, kenapa semua justru harus berakhir saat hidupnya tengah berlangsung dengan sangat sempurna sebelumnya.

AgreementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang