Hinata masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya, langkahnya memelan saat sudah menapaki lantai di kamar mewah itu. Tiba-tiba saja ingatannya melayang kepada kejadian beberapa hari yang lalu.
Dirinya tak percaya bahwa malam itu mereka benar-benar bercinta bak sepasang suami-istri. Padahal nyatanya pernikahan ini hanyalah kekosongan semata dan mungkin malam itu hanyalah lampiasan hasrat sebagai sesama manusia dewasa yang normal dan butuh kepuasan.
Hinata merasa begitu bingung dengan pernikahan ini, mereka tak benar-benar saling menginginkan tapi malam itu Naruto telah melewati batasan yang tak seharusnya mereka lewati. Namun di sisi lain bukankah hubungan suami-istri adalah hal yang layak mereka lakukan? Ah, semua ini membuatnya semakin tertekan dan bingung untuk bersikap di depan pria itu sehingga dia terus menghindar untuk bertemu.
Hinata mengerutkan kening saat mendapati sebuket mawar di atas nakas samping ranjangnya. Dia merasa tak membeli bunga atau mendapat kiriman bunga dari siapapun hari ini, siapa yang mengirimnya?
Namun selembar kartu kecil yang terselip di tengah helaian kelopak mawar segar itu, berisi kalimat permintaan maaf dengan tulisan tangan suaminya, berhasil menjawab pertanyaan di kepalanya. Hinata meraihnya lalu menghirup aroma mawar yang memang dia sukai.
Pikirannya semakin melayang-layang pada ingatan soal malam itu, bagaimana pria itu merajai tubuh dan pikirannya membuatnya meremang. Dia menyentuh kelopak-kelopak bunga itu sambil termenung berdiri di samping ranjang hingga suara pintu terbuka membuatnya menoleh.
Naruto tak menyuarakan apapun saat mendapati istrinya berdiri di sana dan sudah menerima bunga permintaan maafnya soal malam itu. Dia pikir bercinta bukan hal yang tak mungkin mereka lakukan. Tapi sepertinya Hinata menganggap hal itu amat krusial hingga sikapnya berubah secara tiba-tiba beberapa hari belakangan.
Wanita itu pergi bekerja pagi-pagi sekali belakangan ini, lalu meninggalkan cincin pernikahannya di washtafel kamar mandi dan pelayan mengembalikan itu pada Naruto pagi tadi, Hinata sepertinya sangat marah soal malam itu jadi Naruto rasa dirinya perlu meminta maaf. "Kau sudah pulang?"
Hinata mengangguk dan kembali menatap bunga di tangannya. "Terima kasih, untuk buketnya." Dia masih mengamati kelopak mawar itu dengan seksama. Sepertinya ini sudah waktunya untuk bicara, tak mungkin menghindar selamanya.
Naruto menghampiri wanita itu, karena tak menyangka akan dapat ucapan terima kasih. Rumor dari Kepala Pelayan soal istrinya yang suka bunga ternyata benar adanya. "Aku salah memanfaatkan keadaan, kau mabuk dan aku sangat menginginkanmu malam itu." Dia berdiri di hadapan Hinata. "Apa kau benar-benar marah?"
Hinata tak menatap pria itu. "Kalau tidak merasa begitu, kenapa kau perlu meminta maaf?"
Naruto ikut menunduk menatap kelopak bunga itu, dia cukup terlarut saat melihat Hinata membelai kelopak bunga itu dengan lembut dengan jemari lentiknya seolah amat mengasihi pemberiannya. "Kurasa kau sangat marah." Dia tentu akan meminta maaf meski tak memukul atau berbuat kasar pada wanita itu selama pergumulan mereka berlangsung. Justru dia tak bisa mengenali diri sendiri malam itu karena bersikap begitu lembut. Jadi kesalahannya pasti hanyalah karena memanfaatkan keadaan.
"Aku kecewa padamu." Hinata menatap mata pria itu dengan serius. "Kau ingat perjanjian kita soal urusan ranjang?"
Naruto tak menjawab, dia rasa Hinata sedang ingin didengar daripada di bantah saat ini.
"Kutulis bahwa, kita mungkin bisa melakukannya, jika kau dan aku mau. Tapi malam itu aku tidak menginginkannya." Ucap Hinata dengan suara yang tak lagi bergetar seperti pagi itu, saat dia terjaga tanpa busana di ranjang suaminya.
"Sudah beberapa bulan sejak pernikahan, apa kau masih merasa asing denganku?" Naruto hanya ingin tahu, karena dirinya sendiri mulai terbiasa dengan keberadaan wanita itu dalam hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Agreement
FanfictionTiga tahun mungkin bukan waktu yang sangat lama, tapi mampu menjungkirbalikan kehidupan sepasang manusia yang tak saling mencintai tersebut.