Tepat lima hari sejak Hinata dirawat di rumah bersalin itu. Kondisi tubuhnya mulai membaik namun dia masih begitu kacau sekarang karena menutupi ini semua dari suaminya.
Maka dirinya memutuskan untuk kembali ke Tokyo dengan segera karena ingin pergi ke rumah sakit dan berencana memberitahu semua ini, meski dia sangat ketakutan akan reaksi pria itu nanti.
Pintu besar ruang rawat itu terbuka dan wanita itu melangkah masuk, seperti biasa lampu-lampu ruangan itu dimatikan saat malam, menyisakan lampu tempel di dekat kepala ranjang. Hinata tahu betul, suaminya paling tidak bisa tidur dengan lampu menyala maka keadaan gelap gulita ini, dia sudah terbiasa.
Wanita bersurai indigo itu mendekat ke arah ranjang pasien dan mendapati suaminya terlelap namun dengan posisi setengah terduduk di ranjang pasien yang bagian kepalanya ditegakkan. Kondisi pria itu nampak mulai membaik, perban di pelipisnya telah dibuka dan menyisakan luka bekas jahitan tipis yang mulai mengering. Dia menyentuh dada pria itu dengan lembut lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya sebatas pinggul.
Melihat pria itu lagi malam ini, membuat Hinata teringat kembali pada kejadian keguguran yang dialaminya pagi itu, dirinya sangat ketakutan dan tak memiliki seorang pun untuk mengadu.
Apa ini saat yang tepat untuk memberitahu? Namun Hinata tak mungkin membangunkan suaminya hanya untuk membuat pria itu marah, jadi dia di sana, duduk di kursi samping ranjang pasien lalu merebahkan kepalanya sambil memeluk lengan pria itu.
"Maaf aku baru datang kemari." Hinata berbisik pelan, hanya ingin mengucapkan maafnya karena dia tahu suaminya mungkin akan marah karena dirinya menghilang beberapa hari.
Kelopak mata dan kening Naruto bergerak tidak nyaman dan gelisah, dia sesungguhnya tidak tertidur, sejak Tsunade meneleponnya dua jam yang lalu, mengatakan bahwa istrinya sudah berangkat dari Fujisawa menuju Tokyo untuk menemuinya.
Naruto kini merasa bodoh karena malah berpura-pura terlelap bukan bicara dengan wanita itu, namun dia sendiri sedang merasa begitu kalut. Sejak berita keguguran istrinya pagi itu, dia benar-benar kacau. Tiap empat jam sekali dia menelepon Tsunade untuk menanyakan keadaan istrinya dan saat wanita itu di sini malam ini dia tak bisa mengatakan apa-apa.
Nyaris tiga puluh menit Hinata masih merebahkan kepala di atas lengan kirinya jadi Naruto pikir wanita itu telah terlelap. Dia kini tanpa ragu mengusap kepala istrinya dengan tangan kanannya yang mulai membaik.
Hinata tidak tertidur, dia hanya tengah tenggelam dalam pikirannya sambil menangis tanpa suara saat tiba-tiba Naruto membelai kepalanya.
Naruto cukup terkejut saat mendapati wanita itu terjaga dengan air mata di pipinya, dia pikir wanita itu tertidur namun ternyata istrinya itu tengah menangis di lengannya.
Hinata mengangkat wajahnya dan menatap pria itu tanpa mengatakan apapun.
Naruto tak butuh Hinata bicara, dia sudah memahami sepenuhnya kepedihan yang sama-sama mereka rasakan. Dia lalu menarik wanita itu dengan lembut agar dapat memeluknya.
Hinata yang memahami itu langsung bangkit dari kursi dan memeluk suaminya, sesungguhnya memang ini yang dia butuhkan di tengah kekacauan isi kepala dan hatinya. "A-aku.." dia rasa lidahnya kelu dan tak sanggup mengatakannya.
Naruto memejamkan mata dan menenggelamkan wajahnya di pundak wanita itu dengan lelehan air mata yang tak mampu ditahannya. "Aku tahu, Hinata."
Hinata tak mampu mencerna ucapan suaminya, dia hanya menangis terisak di bahu pria itu dan memeluknya erat-erat.
Keduanya tak mampu mengatakan apa yang ada di kepala, hanya bersama-sama menumpahkan rasa kalut di atas ranjang pasien itu.
Naruto memindahkan posisi tangannya dari pinggul Hinata, meraba perutnya. Tempat calon bayi mereka pernah bergelung meski hanya dalam waktu yang singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Agreement
FanfictionTiga tahun mungkin bukan waktu yang sangat lama, tapi mampu menjungkirbalikan kehidupan sepasang manusia yang tak saling mencintai tersebut.