Hinata merasa tubuhnya bukan lagi miliknya karena dia tidak bisa merasakan apapun meski telinganya berfungsi dengan sangat baik saat ini, namun kesadarannya terasa melayang-layang.
"Hinata." Naruto berbisik di telinga istrinya yang tengah berbaring di atas meja operasi.
"Em?" Hinata hanya bergumam, dia tak bisa fokus karena merasa sangat mengantuk, mungkin efek anastesinya.
"Kau tidak boleh tertidur." Naruto masih menunduk untuk bicara dengan wanita itu. Saat perawat mempersilakannya masuk, perut Hinata sudah di bedah. Tiga orang Dokter spesialis tengah mengerubungi istrinya. Awalnya dia sangat shock melihat darah ada di mana-mana, pasti rasanya sangat menyakitkan.
Tapi Dokter terlihat sangat santai, mereka bahkan mengobrol sambil mebedah perut istrinya, maka Naruto pikir situasi ini adalah hal yang biasa bagi mereka, tapi tidak dengan Naruto. Dia butuh membiasakan diri, menghentikan gemetar hebat pada tangannya.
Hinata tak pernah merasa tubuhnya begitu lemas hingga bicara saja rasanya sulit. Paling tidak saat ini dia hanya sanggup bergumam.
"Bayinya belum keluar." Naruto memberi informasi untuk istrinya. "Kurasa sebentar lagi."
Hinata mengangguk pelan, dia menarik napas dengan teratur, mencoba tenang meski seluruh tubuhnya terasa menggigil.
Naruto tak bisa menghentikan degup jantungnya yang menggila. Bukan dirinya yang tengah berbaring di atas meja operasi namun entah kenapa malah dirinya yang merasa ketakutan.
Rasa khawatir sekaligus tidak sabar jadi satu. Tapi dia memutuskan untuk mengajak istrinya bicara, karena dia takut wanita itu tertidur kalau diam saja. "Bagaimana bisa kau nampak cantik di atas meja operasi?"
Hinata tersenyum tipis dan membuka matanya, dia lihat suaminya menunduk di sampingnya. Pria itu mengajaknya berkomunikasi namun dia tak sanggup mengatakan apa-apa.
"Untungnya aku meminta semua Dokter dan Perawat wanita untuk menanganimu." Naruto rasa Hinata belum tahu soal ini, kalau ia memang memberikan request pada rumah bersalin agar memberikan Dokter spesialis dan Perawat wanita untuk menangani proses persalinan istrinya.
Hinata mengerutkan kening "kenapa?" Tanyanya tanpa suara, dia hanya berusaha menggerakan bibirnya yang nyaris bergetar kedinginan, gestur semacam itu harusnya tak dimengerti siapapun, namun suaminya malah menangkap pertanyaannya dengan baik dan menjawab dengan segera.
"Aku takut ada pria lain jatuh cinta padamu." Naruto lalu mengecup pelipis wanita itu.
Hinata rasa tak ada pria yang cukup gila untuk jatuh cinta pada seorang wanita yang perutnya tengah dibuka lebar-lebar dan nyaris mati begini.
"Kalau kau pikir hanya pria gila yang akan jatuh cinta padamu di situasi ini, maka aku adalah pria gila itu." Naruto rasa, dia bisa membaca jelas isi kepala istrinya saat ini. Jika Hinata tidak sedang di operasi, wanita itu pasti sudah mentertawakannya atau memukul dadanya dengan pelan seperti biasa.
Hinata tak bisa menahan tarikan di sudut bibirnya. Kalimat itu terdengar manis namun juga menggelikan di saat yang bersamaan, pria itu memang selalu punya cara untuk menggodanya.
Naruto mengusap kening istrinya dengan lembut selagi menunggu bayi-bayi mereka lahir.
"Bersiaplah untuk bayi pertama." Tsunade mengeluarkan retraktor dengan sekali tarikan dan membiarkan Dokter spesialis mengangkat bayi pertama untuk keluar.
Hinata merasa dadanya sesak karena ditekan kuat-kuat oleh Dokter. Dia bahkan memejamkan mata dengan kening menyerenyit. Meski separuh tubuhnya mati rasa, dia bisa merasa sesak itu begitu nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Agreement
FanfictionTiga tahun mungkin bukan waktu yang sangat lama, tapi mampu menjungkirbalikan kehidupan sepasang manusia yang tak saling mencintai tersebut.