¹²

270 53 0
                                    

Last CHRISTMAS
- winrina ver -
.
.
.

12

°•°•°•°•°•°•°

Winter POV

Kami pulang dengan penuh keheningan. Dia sedikitpun tak pernah berbicara padaku setelah kami meninggalkan bioskop. Bahkan yang lebih buruk dari itu, mataku mengangkapnya berkali-kali menyeka air matanya secara diam-diam. Karina-ku menangis dan itu karenaku.

Dibalik kemudi, aku begitu kesulitan untuk melakukan apapun yang ingin aku lakukan. Meski hanya sekedar menghapus cairan bening di pipinya, tapi dia tak akan membiarkanku melakukan itu. Ia terus menghindariku.

Tapi aku juga tak bisa mengabulkan permintaannya. Sebuah janji yang ia inginkan adalah sesuatu yang cukup sulit untuk aku lakukan. Janji adalah hutang, maka aku harus menepatinya tidak peduli apapun yang terjadi. Sangat berat.

Bukan karena aku tidak ingin terus bersamanya, terus disisinya dan menjalani hidup sebagai pasangan untuk waktu yang sangat lama. Atau bahkan sampai kami merasa bahwa tidak akan ada perpisahan setelah itu. Sungguh, didalam hatiku aku begitu menginginkannya.

Tapi aku memiliki alasan untuk menolak. Aku mempunyai suatu rahasia yang mampu menghancurkan semuanya. Aku mempunyai ketakutan dan kekhawatiran yang begitu besar. Dan siapapun tak akan tahu, bahkan Karina-ku. Hanya aku.

Aku hanya tidak ingin ia begitu terluka karena janjiku. Ketika pada akhirnya aku tak bisa memenuhinya, ketika aku harus meninggalkannya tanpa aku ingini. Keadaan dan takdir, itu cukup mengerikan untukku.

Satu lagi, aku tak pernah ingin menyakitinya. Bahkan menghancurkannya – perasaannya juga harapan serta mimpi yang ia miliki untuk kami berdua.

Keheningan memang selalu membuatku memikirkan hal-hal yang begitu jarang muncul didalam otakku, dan sekarang semua itu naik ke permukaan. Aku bahkan memikirkan apa yang akan kami hadapi kedepannya, atau mungkin keputusan-keputusan yang harus aku ambil dengan penuh keterpaksaan.

Huhh…

Aku menghela nafas kasar sesaat setelah menghentikan mobilku dan memarkirkannya dengan baik. Kami sampai di apartemen miliknya, dan untuk pertama kalinya perjalanan 25 menit yang kami lalui terasa begitu lama dan cukup menegangkan.

Mataku menatap ke arahnya ketika ia dengan begitu buru-buru keluar dan menutup pintu mobil cukup keras. Karina eonnie meninggalkanku tanpa mau menatapku sedikitpun ataupun mengucapkan satu patah kata apapun. Aku tahu ia marah dan kecewa.

Tapi aku menyusulnya, aku tak akan membiarkan ia berjalan seorang diri menuju unitnya. Karena aku adalah seorang wanita yang bertanggungjawab pada apapun yang berada didalam genggamanku.

Aku akan mengantarnya sampai didepan unit yang ia tinggali. Bukan masalah jika dalam beberapa menit setelahnya aku harus turun lagi dan segera pulang. Aku tidak menginap bukan karena masalah yang kami miliki sekarang, namun aku mempunyai meeting penting besok pagi. Aku harus mempersiapkannya dengan baik, aku harus melakukan yang terbaik untuk perusahaanku.

“Aku pulang dulu ya? Maaf sudah membuat suasana hatimu begitu buruk hari ini. Aku akan mengunjungimu lagi dengan segera. Aku akan memperbaiki semuanya. Beristirahatlah dengan baik, selamat malam sayang” aku mencium bibirnya sekilas.

Ia hanya mengangguk kecil tanpa menjawab sedikitpun. Bahkan tanpa menatapku. Sepertinya ia masih begitu enggan untuk berbicara denganku.

“Sampai bertemu lagi” ucapku sembari mengusap puncak kepalanya dengan lembut. Aku juga berusaha untuk memberinya senyuman terbaik meskipun ia tidak melihat itu.

.
.
.
.
.

Aku melangkah pelan untuk kembali ke tempat dimana mobilku berada. Hanya tinggal beberapa langkah lagi maka aku akan sampai dan bergegas menuju ke apartemenku. Masih ada cukup waktu untuk mempersiapkan semuanya. Tapi…

Dug… dug… dug…

Tidak, tidak mungkin. Ini tidak boleh terjadi.

Langkah kakiku berhenti secara tiba-tiba dengan memegang dada yang kini berdebar dengan begitu cepat. Pikiranku melayang, sedikit tidak percaya.

Dug… dug... dug... dug…

Detakan itu semakin kencang dan cepat. Untuk sesaat aku tertegun, mematung di tempat.

Dug dug dug dug dug…

“Akhh…” aku meringis. Rasanya semakin menyakitkan, dadaku seperti tengah ditekan dengan batu yang begitu berat dan besar. Atau mungkin seperti tertikam belati yang sangat tajam. Tepat dan sangat pas mengenai sasarannya.

Nafasku tak lagi beraturan. Bahkan aku sedikit kesulitan untuk melakukannya dengan baik. Perlahan air mataku mulai menggenang, lalu jatuh dengan lambat mengalir memalui pipi. Salah satu keakutanku benar-benar akan terjadi, perasaan yang tidak pernah hilang sejak dulu.

Haruskah terjadi secepat ini? Tapi bagaimana bisa?

Last CHRISTMAS -winrina ver-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang