04: Ngebet Pulang

238 57 18
                                    

"Lu sebenernya pengen balik normal atau memang pasrah jadi lutung, sih?" teriak Jason.

"Iya nih, kagak mikirin nasib temen!" sambung Neo.

Sabda yang masih sibuk menggaruk badannya, hanya cemberut kesal. Dia tak mau mengalah. Malah merasa kedua temannya sudah sangat egois karena punya pikiran untuk meninggalkannya."Jadi cuma segini arti persahabatan kita? Gegara gue berubah jadi lutung, maka bagusnya ditinggalin saja?"

"Kan kita pulang mau beli obat ke apotek. Kita kasih ke si cewek burik itu, biar kamu juga lepas dari kutukan. Kalau  kita semua terkurung di sini, pulangnya kapan? Pelanggan salonku yang seleb-seleb itu, bisa pindah ke salon tetangga, sementara si Jason besok itu ada jadwal syuting tayangan Mama Chef di stasiun TV. Tolong mengertilah!" sahut Neo.

"Kalian yakin bisa ke luar dari sini?"

"Ya, setidaknya kita berusaha dulu!"

"Berusaha sampai kapan? Sudah tiga hari kita nongkrong di sini. Kita sudah berusaha kabur, lari... tapi tetap juga muter-muter di sini. Sadar nggak kalian ini sih? Kita berada di dunia pararel mistis. Kita tak bakal ke luar, jika belum menjalani takdir di sini. Jadi harap bersabar!"

"Lu sih, pake acara nembak lutung!"

Sabda mendelik ke arah Neo, membuat pemuda itu cepat memalingkan muka. Jason lalu mengajaknya menjauh, sambil menepuk pundak Neo agar bersabar. Sudah cukup ngeri mereka melihat Sabda normal yang marah, pasti lebih mengerikan jika Sabda yang berubah jadi lutung mengeluarkan emosinya. Tiga hari mereka di sana, dan sudah melihat betapa makin menakutkannya sikap Sabda. Dia selalu makan buah dan sayur mentah. Bahkan sering sekali ngemil dedaunan. Lebih aneh lagi dia mulai lincah bergelantungan di pepohonan dengan mengeluarkan suara melengking nyaring. Seperti sengaja mencari perhatian Puteri Purbasari yang sering duduk di jendela sambil menebar senyumnya.

"Cocok banget tuh, cewek burik sama cowok lutung. Entah gimana nanti anaknya, mungkin spesies baru." gerutu Neo, kesal.

Jason tertawa,"Udah, jangan dibahas. Namanya juga takdir. Jodohmu adalah cerminan dirimu, hahaaa! Oh, takdir memang kejaaam..."

"Takdir yang turut menyulitkan kita! Dia yang jadi lutung, kita ikut-ikutan di sini terkurung."

"Iya, aneh ya? Padahal udah berapa kali kita berusaha kabur? Kok balik-balik masuk ke sini. Seakan Desa Buana Panca Tengah ini, adalah poros bumi. Kita yang berputar, wilayah ini tidak!"

"Serem kan?"

"Warga desanya sih baik. Makanannya juga enak-enak. Tapi suasananya, asli nakutin! Kek film horor. Banyak asap putih berbau kemenyan, udara dingin, hingga suara-suara aneh dari dalam kuil yang bentuknya udah kek candi itu."

"Jadi penasaran masuk ke sana. Kata Pak Judika, ada kitab ramalan tokoh suci Gunung Pancar di sana. Tiba-tiba, naluri maling gue meronta-ronta..."

PLAK!

Neo menurunkan tangannya, sementara Jason meringis membelai pundaknya yang baru merasakan pukulan. "Jaga pikiran kriminal lu, ya! Mau kita kena azab jadi lutung juga?"

"Aku cuma penasaran, itu Pak Judika kan tak berhenti mengatakan tentang kitab ramalan. Jadi aku cuma ingin membuktikan ucapan Pak Judika..."

"Judika! Judika! Ja-ni-traaaaa!!!"

"Eh, iya. Jatmitra!"

"Janitraaaaaaa.... Allahu Akbar!" Neo mengusap dadanya. "Lu dulu langsung SD, apa TK dulu lu ambil jurusan motong buncis, terus lanjut SMA ya? Abis, kayak sulit banget mencerna."

"Lha, emang gue lambung bisa mencerna?"

"Nah itu lu paham urusan lambung, kagak salah."

"Kan gue Master Chef, masa gue nggak paham urusan lambung manusia yang bakal diisi oleh masakan gue? Lu kira, tukang masak itu cuma hafal nama bumbu dong? Kita bahkan belajar takaran makanan agar tidak meracuni kesehatan orang. Meski orang itu punya mulut jahat kayak lu!"

Dokter Jadi Lutung (Terbit SAGO/GONOVEL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang