06: Dangau Asmara

212 56 16
                                    

Dangau itu, sejenis gubuk kecil yang mengalir air sejuk pegunungan di salah satu bagian sisinya. Itulah, yang kemudian menjadi tempat bersenda gurau bagi Sabda dan Purbasari. Sambil melakukan pengobatan.

Kunyit yang ditumbuk Sabda, kemudian dibalurkan Purbasari ke tubuhnya. Baru kemudian dia mandi di pancuran air. Selalu begitu, setiap hari. Sampai kulitnya betul-betul mulai memperlihatkan perbaikan, terlihat kembali mulai halus.

"Kunyit memiliki kandungan curcumin dan polifenol yang mampu meredakan peradangan pada tubuh. Ini mungkin sedikit bisa menolong, karena di sini belum ada apotek yang jual salep.
Penyakit Scabies alias gudis atawa kudis ini, tidak bisa langsung sembuh. Penting juga untuk membersihkan lingkungan, pakaian dan menjaga pola makan." terang Sabda.

"Maksudnya?" tanya Purbasari.

"Makan berpantangan! Hindari dulu makanan yang memicu reaksi alergi seperti susu, kacang, telur, makanan laut, serta berlemak."

"Itu saja?"

"Makanan kaya lemak jenuh, menganduk gula dan garam. Karena makanan ini dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh."

"Oh, aku memang belum belajar ilmu kebal. Harus berguru ke padepokan Gunung Lawu yang begitu. Biar tidak mempan dibacok."

Sabda bengong, lalu menghembuskan nafas. "Bukan kebal yang itu. Maksudnya, dari penyakit."

"Emang bisa? Bergurunya sama siapa?"

Sabda tersenyum,"Bergurunya di Fakultas Kesehatan."

"Di pegunungan mana?"

"Di Kampus."

"Oh, Olimpus? Yunani?"

"Kamu paham Yunani?"

"Semua padepokan itu bukan hanya belajar ilmu kanuragan, tetapi juga mempelajari sejumlah peradaban."

"Oh ya?"

"Ya, kami juga mempelajari tentang Dewa-Dewi Yunani di puncak Olimpus. Tetapi Tuhan mereka, Dewa Zeus. Hal serupa terjadi pada perkembangan pemikiran dan zaman. Setiap wilayah, mungkin memiliki nama dewa yang berbeda-beda. Tetapi sebenarnya, itu cuma sebutan. Contohnya, peradaban Yunani ada Bapak para dewa yang disebut Zeus. Kalau di Romawi, disebut Jupiter. Di Karuhun, kita memiliki Sunan Abah. Yunani, memiliki Ibu Para Dewa, yakni Dewi Hera. Nah, di Karuhun, kita menyebutnya Sunan Ambu. Lalu Sunan Abah dan Sunan Ambu, memiliki anak bernama Sang Hyang Guruminda. Bukankah itu kamu?"

"Eh, oh, eh..."

"Lalu Olimpus bagi kami, sama dengan puncak Salakanagara. Gunung tempat berdirinya kerajaan pertama bernama Salaka Nagara. Wilayah suci, tempat keturunan bidadari Nawang Wulan dari Kahyangan, yang kecantikannya menurun pada anak keturunannya."

"Secantik dirimu?"

Purbasari menggeleng,"Bukan aku. Tetapi kakak sulungku yang bernama Purbasari. Dia punya darah keturunan Dewi Nawang Wulan. Serta memiliki kecantikan yang bukan alang kepalang. Sangat mengagumkan!"

"Kakakmu yang kau bilang jahat itu?"

"Begitulah. Kecantikannya setara dengan kejahatannya."

"Tak habis pikir, kau saja sudah sangat cantik sekali. Bagaimana dengan wujud kakakmu itu?"

Purbasari tersipu,"Aku tidak secantik dia."

"Ah, kau tercantik di dunia bagiku." Sabda mengedipkan mata, sambil menggaruk-garuk keteknya.

"Kalau di Kahyangan, pasti bidadari di sana jauh lebih cantik kan?"

"Ya... gimana, ya. Kayaknya sih. Eh, apa kamu betul-betul yakin bahwa aku ini si Guruminda?"

Dokter Jadi Lutung (Terbit SAGO/GONOVEL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang