Sabda dan Jason hanya bisa menahan nafas. Sedikitpun mereka sulit bergerak sekarang. Ke luar ada penjaga, bertahan di kamar Gajah Messa, jelas tidak mungkin dengan mayat pria itu yang telah terpenggal lehernya. Mana si Jason main bawa-bawa kepala tengkorak yang diyakini milik si Nilam Sari.
"Terobos saja?" Bisik Jason.
Sabda menggeleng,"Tunggu."
Tiba-tiba, mereka mendengar suara ribut di luar kamar. Suara teriakan, bantingan dan pukulan. Sabda dan Jason makin kebingungan. Perlahan, Jason mulai membuka pintu dan mencoba mengintip dari celah, lalu dia mulai berteriak,"Neo, anjing lu!" Serayanya membuka pintu lebar-lebar.
Tapi Neo tak menjawab, pria yang tampak baru sadar dari pingsannya itu, malah tampak sibuk jungkir balik menghajar dua penjaga.
"Berguna juga dia akhirnya," kata Sabda, sambil terus memperhatikan aksi Neo yang bak pahlawan itu. "Tapi, sejak kapan dia jago bela diri?"
"Entahlah, yang jelas kita bisa lari!" Sahut Jason, setelah melihat dua penjaga terkapar oleh Neo.
Neo menoleh, tapi tatapannya tampak dingin dan tajam pada dua sahabatnya itu.
"Eh, kenapa lu?" Gerutu Sabda, seraya melangkah diikuti Jason yang masih membawa buntalan kain putih berisi kepala Nilam dengan kesal.
"Perlakukan kepala itu dengan baik!" Bentak Neo.
Jason melotot,"Eh, sok ngatur! Pengen gue buat pingsan lagi?"
Sabda cepat menarik Jason, agar melangkah bergegas menuju gerbang. Neo mengikuti di belakang, berjalan dengan kaku bak robot dengan mata yang nanar.
"Aduh, kenapa Neo jadi kek zombie begitu? Kesurupan apa ya?" Keluh Sabda, sambil berusaha memperbaiki kemben dengan tergesa.
"Bodo amatlah. Sekarang, pegang ini!" Kata Jason, seraya menyodorkan buntalan kain isi kepala di pelukan Sabda. Sebelum berlari menghampiri 2 penjaga lagi di depan gerbang yang menghunuskan pedang ke arah mereka.
Jason, memang jago taekwondo. Sempat jadi atlet, waktu remaja. Maka, dua penjaga itu bisa dilumpuhkannya dengan mudah.
Sabda meloncat girang, lalu melempar buntalan kain isi kepala itu kembali pada Jason. "Berat nih, bawa!"
"Manja amat lu!"
Sabda cemberut,"Ingat, tubuhku masih wanita."
"Jangan lepar kepala itu! Atau kalian tak bisa kembali dengan mudah!"
Sabda dan Jason menoleh pada Neo, yang melotot marah.
"Betul-betul kesurupan dia. Mungkin si Nilam!" Gerutu Sabda. Jason mengangkat bahu.
"Naik cepat!" Teriak Neo lagi, tapi kali ini menunjuk pedati di depan gerbang. "Kita akan membawa kepala itu ke Lembah Jurig."
"Serah lu dah!" Sahut Jason, sambil melompat ke pedati, diikuti Sabda yang cemberut.
Neo menyusul, duduk di bagian kemudi untuk lanjut melajukan dua ekor kuda dengan cepat.
"Sudah jago berkelahi, jago bawa pedati. Hebat juga kau ya, setelah kubikin pingsan!" Kata Jason, seraya meletakkan buntalan kain isi kepala di bangku. "Kayaknya kau betah di zaman ini, Neo?"
Sabda langsung mencibir. "Awas ya, jika kita belum balik-balik juga semua. Aku ogah balik sendiri. Mati aku difitnah keluarga kalian telah membunuh kalian!"
Jason menghela nafas,"Kita sudah sejauh ini, pastinya perjalanan ini ada akhir. Kita ikuti saja si Neo yang makin kesurupan itu. Tampaknya dia paham jalan ke Lembah Jurig."
"Semoga!"
Lama, mereka berada di dalam pedati. Meski kendaraan itu melaju kencang, seperti terbang. Seakan wilayah Lembah Jurig, memang begitu jauh untuk ditempuh. Berjam-jam mereka terantuk-antuk di pedati, sampai Sabda mulai merasakan angin dingin yang merasuk tulang.
"Dingin banget sumpah!" Teriak Sabda.
"Bisa cari perapian nggak, Neo? Gue kagak pake baju bangsat!" Bentak Jason, sambil memukul pundak Neo yang masih melajukan kereta dengan semangat.
"Berhenti nggak!" Jerit Sabda lagi.
Neo akhirnya menghentikan laju pedati. Tetapi bukan karena suara Sabda, melainkan karena ada pedati lain di depan mereka. Sementara penumpangnya, yang terdiri dari sepasang pria dan wanita tampak mesra berpelukan, tanpa mempedulikan kondisi sekitar.
"Purbasari?!" Kata Jason, seraya menggosok-gosok matanya. Merasa tidak yakin dengan penglihatannya.
Di depan mereka, Purbasari tampak berpagutan mesra dengan seorang pria yang hanya mengenakan kaki palsu dari kayu. Mereka berperilaku, seakan sudah seribu tahun tak bertemu, sehingga begitu bernafsu untuk saling bercumbu.
Sabda lebih tidak yakin dengan apa yang dilihatnya. Dia sungguh tercengang dibuatnya. Inikah puteri cantik yang pernah dipujanya? Seseorang yang rela kehilangan kesempatan kembali meraih tahta, demi dirinya? Puteri yang didengarnya kabur kembali ke hutan, demi mencari dirinya si lutung yang hilang?
Jika cintanya sehebat itu, lalu... mengapa dia bisa begitu mudah mendapatkan cinta baru?
Semurah itukah, para wanita yang pernah dikenalnya itu?Semuanya, hanya membuatnya terluka dan terlupa. Kecantikan mereka bagai tameng dari wajah iblis yang sesungguhnya. "Munafik!" Gerutu Sabda.
Jason mengangguk dan berteriak,"Terus aja lanjot puteri. Sedot teruuus... sosor sampai abis itu bibir sama gigi itu laki!"
Tiba-tiba, Purbasari menoleh. Dia tampak gugup mengelap mulutnya yang penuh ludah. Apalagi ketika melihat sosok Neo dan Jason, serta seorang wanita bertubuh seksi meski wajahnya berbulu hitam sebelah.
"Na...Nayaka? Jayendra?" Tanya Purbasari.
"Masih inget, Tuan Puteri? Kalo sama si Lutung, udang lupa?" Sindir Jason, sambil mencibir.
Purbasari terdiam. Dia melirik Agra Seta, lalu tertunduk salah tingkah. Sebelum kembali memandangi Jason dan teman-temannya. "Di...di mana Guruminda?" Tanya Purbasari.
"Cepat pergi," kata Sabda, sambil mencolek Neo dengan kesal. "Tidak penting melihat orang mesum, kita harus segera mengantar kepala Nilam Sari!"
"Nilam Sari?" Tiba-tiba Agra Seta maju tertatih mendekati pedati. Dia berusaha melongok ke bagian dalam. "Kalian menemukan kepalanya?"
"Kau ini siapa?!" Bentak Sabda.
Agra Seta tersenyum,"A-aku, aku mantan kekasih Nilam Sari."
"Hah?!" Sabda dan Jason berteriak kompak.
Agra Seta mengangguk sedih,"Dulu kami pernah saling mencintai. Tetapi takdir memisahkan. Aku selalu berharap bisa menemukan bagian kepalanya yang hilang. Namun, aku kalah dengan kalian."
"Ini bukan pertandingan. Kami tak ada urusan dengan Nilam Sari. Kami cuma menolong saja, tanpa pamrih."
"Oh, begitu? Luar biasa, aku mengucapkan terima kasih."
Sabda tertawa."Untuk apa? Kau tak ada sangkut pautnya dengan Nilam Sari. Jadi lebih baik kau lanjutkan untuk berciuman dengan Purbasari, yang juga telah melupakan kekasih lutungnya."
Tiba-tiba, pedati kembali melaju, membuat Agra Seta jatuh terjungkal diiringi jeritan Purbasari. Sabda melihat itu, lalu tersenyum puas.
"Aku ikhlas lahir bathin meninggalkan dunia silam yang bangsat ini. Muak aku berada di sini. Aku benci!!!" Jerit Sabda.
Tiba-tiba, petir menyambar di langit. Angin bertiup kencang. Pedati bahkan mulai berputar dan bergoyang.
(Bersambung)
![](https://img.wattpad.com/cover/294189069-288-k34048.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dokter Jadi Lutung (Terbit SAGO/GONOVEL)
Ficción históricaSabda, adalah seorang Dokter muda yang sangat gemar berburu. Bersama dua sahabatnya, Neo seorang Hair Stylist terkenal dan Jason, seorang Chef macho, mereka kerap menyusuri hutan rimba untuk menembak hewan liar. Tetapi ketika mereka berburu ke hutan...