05: Purbararang

230 54 14
                                    

Dia memang wanita tercantik di Kerajaan Pasir Batang. Saat dirinya mengenakan mahkota Ratu, yang mestinya dimiliki adiknya, dia sebenarnya memang terlihat jauh lebih sempurna. Secara pandangan mata, dia jauh lebih layak. Tetapi jika menggunakan hati nurani, sebenarnya tidak.

Purbararang, mulai duduk gelisah dari singgasana, dia lalu melirik ke arah suaminya, Gajah Messa yang tak kalah gelisahnya. Dua orang utusan Prabu Tapa Agung mengantarkan surat yang membuat suami isteri itu kalang kabut.

Ternyata, Tapa Agung telah mengetahui perbuatan Purbararang yang telah mengusir Purbasari dari tampuk pemerintahan. Berita itu sampai, ketika Tapa Agung dan pengikut setia perjalanan spiritualnya, bahkan belum mencapai puncak Gunung Salaka Nagara, tempat leluhur mereka. Amarah pria tua itu seketika menggelegak, hingga membuatnya sulit untuk terus berjalan tegap dan menapak.

Dalam perjuangan mencapai ritual kesucian, jika ada rasa amarah, maka Tapa Agung tidak akan bisa menggapai tujuan moksa. Perjalanan suci itu akan menjadi sia-sia belaka. Sebab itu, Tapa Agung menyuruh dua pengikutnya mengantarkan surat kepada Purbararang. Isi surat tersebut, berupa kata pepatah leluhur, yang jika diartikan bisa membuat bulu roma Purbararang berdiri tiba-tiba.

"Kudu akur jeung dulur hadé jeung baraya."

(Harus rukun dengan saudara)

Jelemamah kumaha amal-amalan,
sabab melak bonténg bakal jadi bonténg, melak cabé bakal jadi cabé.

(Manusia akan memanen dari apa yang dia perbuat. Jika berbuat baik akan menuai kebaikan, jika berbuat buruk akan menuai keburukan).

Purbararang lalu bangkit dan berkacak pinggang dengan marah.

"Apa sih keinginan Kakek tua itu? Katanya sudah memutuskan untuk bertapa menjemput moksa? Sudah menyerahkan tahta? Kok masih ribut mengurusi Kerajaan? Jelas aku yang terbaik dalam memimpin kan? Tak mungkin, Kerajaan Pasir Batang dipimpin orang penyakitan macam si Purbasari si terkutuk itu?"

Gajah Messa mengangguk,"Itu sudah jelas. Tak mungkin seorang Raja ataupun  Ratu yang sakit, dapat memimpin kerajaan. Peraturannya begitu."

"Nah, mestinya Ayah tak boleh melanggar peraturan yang sudah sejak ratusan tahun ditetapkan. Bahkan sebelum dia lahir. Semua raja dan ratu yang sakit-sakitan, wajib mundur dari tahta. Apalagi yang kena penyakit terkutuk. Bisa menular!"

"Tapi sayang, apakah penyakit Purbasari itu bersifat permanen?"

Purbasari menoleh dengan cemberut,"Maksudmu?"

"Bukan begitu. Berita soal peralihan tahta ini sudah sampai di telinga Ayahmu, saat beliau belum sampai puncak Salaka Nagara. Aku khawatir, beliau bisa kembali, juga Purbasari yang mungkin sembuh dari penyakitnya. Apalagi kata prajurit sering memata-matainya, Purbasari katanya sering berendam di dangau. Tubuhnya tidak membusuk lagi, hanya kulitnya masih mengerikan."

Purbararang terdiam. Seketika dia kembali gelisah, dan berjalan hilir mudik. "Aku sudah memikirkan ini. Sudah! Sebab itu dia kukirim ke hutan Gunung Pancar, agar dimakan binatang buas. Tapi sepertinya, dengan tubuh sebusuk itu, tak ada satupun binatang buas yang berselera memakannya."

"Gunung Pancar adalah gunung mistis. Binatang di sana juga mungkin ghoib. Kecuali para lutung di sana. Tapi lutung kan, tidak memakan manusia?" sahut Gajah Messa.

"Lutung?"

Gajah Messa bangkit, dan melangkah mendekati istrinya. "Prajurit mengatakan, Purbasari sering terlihat mandi berdua dengan seekor lutung di dangau. Tapi ini bukan sembarang lutung. Lutung itu konon bertubuh tinggi besar!"

"Lu-lutung apaan seperti itu?"

"Entahlah sayang, mungkin rajanya dunia perlutungan. Mungkin juga jenis lutung raksasa, atau mungkin juga hanya seekor lutung yang sedang obesitas."

"Dan mereka akrab?"

"Begitulah. Bahkan menurut prajurit, mereka bertingkah seperti sepasang kekasih."

"Hah?! Sudah sinting si Purbasari. Lelaki banyak, malah milih lutung. Ternyata, fetis dia tuh binatang. Lebih mengerikan ternyata fantasi seksualnya. Lutung! Gila, hahaa..." Purbararang terbahak.

"Tetapi hal itu, bisa jadi sebuah kemudahan bagi kita."

"Maksudmu?"

Gajah Messa tersenyum, dia lalu berjalan pelan memutari isterinya. "Menurutmu, apa bisa Purbasari menjadi ratu, jika ternyata dia pernah bercinta dengan seekor lutung?"

Purbararang terpana, matanya terbeliak. Lalu tiba-tiba dia kembali terbahak-bahak. "Kau benar! Kau benar!"

"Biar aku yang urus itu, sayang!"

"Inilah alasan mengapa aku menikahimu, Gajah Messa. Kau sangat cerdas, hahaaa...."

Tawa Purbararang terus menggema, meski wanita itu telah meninggalkan ruangan pertemuan raja dan terus melangkah menuju taman bunga dengan bahagia.

Dari jauh, Gajah Messa hanya memandangi isterinya dengan senyum. Sebelum dia berbalik arah, dan melangkah pada bagian sisi istana yang berbeda. Seorang prajurit lalu mempersiapkan kuda untuknya. Tak begitu lama, kuda putih itu telah melesat jauh ke luar istana. Melewati perbukitan terjal berliku, juga aliran sungai nan jernih dan rumpun-rumpun bambu. Hingga sampailah Gajah Messa di sebuah  rumah indah yang mirip sebuah istana kecil, lengkap dengan pengawal pula yang sigap membuka gerbangnya.

Ketika Gajah Messa turun dari kuda, tiba-tiba seorang wanita muda dan cantik datang perlahan mendekatinya.

"Kekasih hatiku, Euis. Purnama yang menggantung di langit penuh bintang. Aku sungguh merindukanmu, sayang..." teriak Gajah Messa.

Wanita yang dipanggil Euis, langsung memeluk pria itu dengan erat. "Kau terlalu lama di istana itu, sayangku."

Euis, adalah cinta sejati dalam kehidupan Gajah Messa. Meski dalam kehidupan pria itu, selalu ada banyak wanita lain juga untuk memuaskan nafsunya, termasuk isterinya, Purbararang.

"Maafkan, sayang. Aku harus berurusan dulu dengan si Purbararang. Setidaknya drama pernikahan palsu kami dipercaya orang."

"Lalu, bagaimana dengan pernikahan kita sendiri?"

"Tak perlu kau tanyakan itu, sayang. Kita hanya perlu sedikit sabar, untuk menguasai Kerajaan Pasir Batang. Para wanita bodoh di kerajaan itu akan mati satu persatu, akibat saling memperebutkan tahta. Lalu setelah semuanya mati, maka aku akan mengambil alih semua, tanpa perlu berperang dengan sesungguhnya..."

"Dan aku jadi Permaisurimu?"

"Pasti."

Keduanya berpelukan. Erat. Seakan coba meyakini bahwa mereka kelak akan bisa menguasai Kerajaan Pasir Batang. Meski mungkin, tidak sekarang.

(Bersambung)

Dokter Jadi Lutung (Terbit SAGO/GONOVEL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang