Dua tahun kemudian....
Rania, mengusap perut buncitnya. Betapa bahagia dirinya, ketika bakal calon bayinya berjenis kelamin laki-laki. Dokter kandungan mengatakan, kemungkinan dia akan melahirkan sebulan lagi. Sebab itu, dia sudah melepas untuk sementara untuk tugas-tugas di kantor pengacaranya. Dia ingin fokus menyambut kelahiran anak pertamanya dengan suka cita.
Seakan tak percaya, dia akhirnya bisa menikah dengan pria pujaannya, Sabda. Sebab, pria itu tampak begitu ragu untuk menikah. Akibat peristiwa mengerikan yang dialaminya bersama Jason dan Neo. Setidaknya, dia butuh waktu setahun untuk meyakinkan diri. Selama itu, mereka hanya bisa bertunangan dulu. Sabda juga perlu menstabilkan jiwa dan pikirannya untuk kembali ke profesinya sebagai Dokter kulit. Dia butuh banyak waktu untuk segalanya, termasuk memperbaiki nama baiknya.
Hubungannya dengan Jason dan Neo, juga menjadi renggang. Ketiganya, bahkan berusaha untuk tidak saling bertemu satu sama lain. Seakan berusaha untuk saling melupakan. Bahkan, Sabda tidak mau mengundang kedua sahabatnya itu dalam prosesi akad nikah mereka. Jason dan Neo hanya diperkenankan hadir saat pesta.
"Keluarga mereka sudah tega melaporkanku ke polisi. Hampir saja aku kehilangan pekerjaanku dan kewarasanku," keluh Sabda, saat Rania mempertanyakan sikapnya dulu. "Pokoknya, mulai detik ini, tidak perlu lagi sahabat-sahabatan. Masing-masing saja!"
Rania, mencoba maklum. Dia berusaha untuk tidak ambil pusing dengan masalah pribadi suaminya. Sejauh itu baik buat jiwa sang suami, Rania setuju saja. Yang penting, hubungannya dengan Sabda mesra. Pria itu, ternyata baik dan bertanggung jawab. Meski dia nampak begitu pendiam, tapi Sabda sangat penyayang.
Dia telah menyiapkan kamar tidur bayi serba biru, untuk anaknya nanti. Bahkan selalu berusaha menemani isterinya, dan menuruti kemauannya. Mertua Rania, juga sangat baik. Mereka memang tinggal bertiga, sehingga Rania tidak terlalu kesepian ketika Sabda sedang sibuk bekerja di rumah sakit.
"Ada tamu," kata Mama, membuat Rania menoleh.
"Siapa, Ma?"
"Entahlah, seorang wanita bernama Lamni Risa. Dia mengaku teman lama Sabda."
Rania lalu melangkah menuju ruang tamu, di mana dia menemukan seorang wanita yang menurutnya sangat cantik memesona. Dia mengenakan gaun beludru hijau dan sepatu putih mengkilat, rambutnya panjang terurai sepinggang. Di tangannya yang terlihat lentik halus, tergenggam sebuah dompet warna kuning gading.
"Saya Lamni Risa, teman lama Sabda." Kata wanita itu, sebelum kembali duduk di sofa setelah dipersilahkan Rania.
"Teman sekolah, kerja, atau..." Rania menatap Lamni Risa. "Atau teman jalan?"
Lamni tersipu,"Tepatnya begitu. Dulu kami pernah bertualang di hutan."
"Oh, ya? Kapan?"
"Dulu sekali. Sudah sangat lama."
"Sekarang kamu masih ke hutan?"
Lamni menggeleng,"Tidak untuk sementara. Tapi mungkin, jika Sabda punya rencana kembali ke hutan, saya ikut..."
"Tidak!" Potong Rania cepat. "Saya tidak mengizinkannya untuk kembali ke hutan. Dia juga saya yakin akan begitu. Mungkin kamu tidak tahu, bahwa dia hampir mati dua tahun lalu karena ke hutan. Saya dan juga dia, pastinya tak ingin hal itu terulang lagi."
"Dua tahun lalu? Apa yang terjadi?"
Rania menghembuskan nafas dengan pelan. Sulit baginya untuk mengenang masa-masa koma Sabda, akibat nyasar ke zaman baheula. Kondisi yang bahkan hampir menyeret suaminya ke kasus hukum. Sebab itu, dia berharap agar kenangan buruk itu bisa terhapus. "Hanya masalah kecelakaan di hutan. Tapi dia selamat," Jawab Rania akhirnya.
Lamni Risa tersenyum,"Syukurlah. Aku selalu berharap agar Guruminda selalu selamat untuk memenuhi janji."
"Guruminda?"
Lamni Risa mengangguk,"Aku menyebut Sabda itu, Guruminda. Di hutan, kami saling memberi julukan."
"Oh ya? Lalu apa artinya Guruminda?"
"Guruminda itu, susah diartikan secara harfiah. Tetapi pastinya dia adalah seseorang yang memiliki tujuan dalam hidup. Penuh daya cipta yang melahirkan segenap kreativitas, bernaluri tajam, dan sarat dengan pemikiran filosofis. Kecerdasannya diperoleh dari kegemarannya yang suka membaca, belajar sejarah, dan berkelana. Termasuk berburu. Tapi dia religius,
dan tidak ingin urusannya dicampuri orang lain."Rania memandang lekat Lamni Risa. Dia mulai bingung dengan wanita itu. Tiba-tiba dengan mudahnya dia datang, berceloteh tentang sosok suaminya seakan mereka pernah begitu dekat dan rapat. Nalurinya sebagai wanita, mulai menemukan sinyal aneh. Meski dia yakin Sabda bukan tipikal pria gatal, tapi Rania paham jika Lamni Risa ini adalah jenis wanita yang lumayan agresif. Agak aneh, ketika hubungan hanya sekedar teman, tetapi memahami secara detil sosok pria tersebut secara detil dan personal. Sangat tidak mendasar jika sekedar kekaguman. Rania yakin, wanita itu pernah dan mungkin masih naksir suaminya.
"Oh, begitu? Sepertinya kamu sangat mengenal suami saya." Kata Rania, dengan tenang namun tegas.
Lamni mengibaskan rambutnya, lalu balik menatap Rania. Di ruang tamu itu, mereka hanya berdua. Lama mereka terdiam, dan saling berpandangan. Sebelum Lamni memandangi perut buncit Rania. "Sudah berapa bulan?"
"Delapan bulan!" Sahut Rania, dengan cepat.
"Saya yakin dia anak lelaki."
Rania tersenyum kecut,"Dokter juga mengatakan itu."
"Dia akan jadi anak yang istimewa, karena turut memikul janji bapaknya pada saya."
"Apa maksudmu?"
Lamni menggeleng,"Tanyakan saja pada Sabda. Dia sudah berjanji. Itu pula yang membuatnya kembali ke masa kini, lalu menikah denganmu. Tetapi dia telah berjanji. Itu masalahnya! Dan dia harus menepatinya."
Rania menghembuskan nafas dengan kuat. Dia sudah tak tahan lagi menghadapi tamu aneh ini. Dengan kesal dia bangkit dan membentak Lamni. "Janji apa?! Kau pernah ada hubungan cinta dengan Sabda?"
Lamni kemudian juga bangkit, dan mereka berdiri berhadapan. "Tidak ada. Dia pernah jadi kekasih Puteri Purbasari. Bukan saya."
"Puteri Purbasari? Siapa itu!"
"Tanya Sabda!"
"Oke, terus kalau yang pernah ada hubungan kasih dengan Sabda itu Purbasari, mengapa kamu yang menuntut janji?"
"Sebab Purbasari sudah bersama kekasihku! Jadi saya juga menuntut Sabda bersama saya. Itu baru adil."
"Barter? Pemikiran macam apa itu. Kau pikir barang?"
"Jangan lupa, saya yang membuat Sabda kembali ke dunianya."
"Kau dukun?"
"Bukan. Saya, adalah kekasih sejati Guruminda. Kami berdua, harus menikah untuk kembali ke Nirwana. Ini takdir."
"Takdir kepalamu! Ke luar dari sini!"
"Jangan marah dulu. Pikirkan anak dalam kandunganmu. Jika Sabda tidak menepati janjinya pada saya. Kau akan kehilangan anakmu!"
"Ke luar!"
"Saya hanya mengatakan jika..."
"Ke luaaaaaaaarrrr...."
Teriakan Rania begitu melengking, membuat mertuanya bergegas datang diiringi pembantu dan satpam yang berjaga di luar. Lamni Risa mendengus, sebelum melangkah pergi dengan tergesa karena ikut diusir satpam.
"Ada apa, Rania?" Tanya Mama Sabda dengan cemas. Dia memeluk menantunya itu, dan bersama pembantu untuk membimbingnya agar kembali duduk di sofa.
Rania tak menjawab. Jantungnya berdegub kencang. Dia mulai merasa kurang waras sejak bertemu dengan Lamni Risa yang aneh itu. Dia tidak cemburu. Tetapi dia serius mengkhawatirkan sesuatu: Keselamatan anak dalam kandungannya!
(Bersambung)

KAMU SEDANG MEMBACA
Dokter Jadi Lutung (Terbit SAGO/GONOVEL)
Fiksi SejarahSabda, adalah seorang Dokter muda yang sangat gemar berburu. Bersama dua sahabatnya, Neo seorang Hair Stylist terkenal dan Jason, seorang Chef macho, mereka kerap menyusuri hutan rimba untuk menembak hewan liar. Tetapi ketika mereka berburu ke hutan...