24: Persiapan Nikah

173 46 8
                                    

Sabda tak bisa menolak, ketika Puteri Purbadewata membawanya menuju kaputren Puteri Purbaendah yang baru saja mendadak melahirkan. Kunjungan Ratu Purbararang di tempat itu, sebenarnya ada alasan politis. Karena Puteri Purbadewata sedang membawa Nilam Sari.

"Kita akan menyingkirkan Gajah Messa, malam ini. Semoga kelahiran anak ketigamu ini, bisa membuang sial istana." kata Purbararang, seraya tersenyum melihat bayi cantik, keponakannya itu.

Purbaendah ikut tersenyum. Sebenarnya, dia diperkirakan melahirkan sekitar dua minggu lagi. Namun setelah melihat keributan di panggung seni, ulah Kerang Kencana, Nayaka dan Jayendra, dia mendadak kontraksi sehingga dibawa dengan tandu ke kaputrennya.

Dibanding saudaranya yang lain, Purbaendah memang paling subur. Beranak terus. Sebenarnya dia telah empat kali melahirkan, tetapi bayi perempuan itu meninggal. Sejak itu, Purbaendah memang menjauh dari aktivitas keputrian. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di Kaputren, merasa tidak terlalu penting mengurusi istana dan kerajaan. Bahkan dia tidak peduli lagi, siapa yang berhak memimpin kerajaan. Tetapi setelah kini melahirkan anak perempuan, dia mulai sedikit peduli dengan nasib Purbasari.

"Kakang Ratu, soal ... itu, adinda Purbasari. Apa tidak ada keinginanmu untuk... berbaikan?" tanya Purbaendah.

Purbararang melotot, dia tampak kurang senang dengan pertanyaan itu. "Apa maksudmu?"

"Aku yakin Purbari tidak akan mengudetamu, Kakang Ratu. Itu bukan sifatnya. Tapi membiarkannya lari dan memusuhi, apa kau tak berpikir jika dia justru sedang menyusun kekuatan menyerang? Selamanya kau tidak akan aman, juga kami. Purbasari kita ketahui bukan orang bodoh bukan?"

Purbararang terdiam. Dia mulai memikirkan hal itu. Sisi bathinnya juga gelisah akibat pertikaian yang justru diawalinya. "Entahlah, aku juga sedang memikirkan untuk cari jalan terbaik."

"Tetapi kau tidak membunuhnya, kan? Bagaimanapun dia adalah adik kita."

Purbararang tertawa,"Tentu tidak. Jangan khawatir. Aku membencinya karena sikap tidak adil Ayahanda."

"Syukurlah."

Purbadewata tiba-tiba masuk, di belakangnya menyusul Sabda yang wajahnya separuh cantik dan separuh berbulu. Namun tubuhnya mulus seksi.

"Jadi dia si Nilam Sari itu?" Purbararang tersenyum. "Tubuhnya aduhai memang, hanya wajahnya..."

"Cocok bukan?" tanya Purwadewata.

Purbararang mengangguk,"Baiklah, urus saja!"

Purbadewata lanjut bangkit, lalu memberi kode pada Sabda untuk mengikutinya.

"Kita akan ke mana, Puteri?" tanya Sabda.

"Kau akan menikah, jadi harus di rias."

"Ni-nikah, dengan siapa?"

"Gajah Messa!" bentak Purwadewata, seraya mendorong tubuh Sabda untuk duduk di antara para dayang yang siap meriasnya.

"Si Gajah Messa? Itu kan laki? Wah, bener-bener istana kaum homo ini. Laki dikawini laki. Aneh!" protes Sabda.

Purba dewata menatapnya tajam, membuat Sabda bergerak mundur. "Memang kau lelaki? Sejak kapan kau lelaki?"

"Saya Sabda, Puteri. Bukan Nilam Sari. Raga saya saja yang Perempuan. Saya ini lelaki sejati." teriak Sabda.

"Apa maksudmu? Jangan berani melawan. Kau bisa mati! Sekarang, kau duduk dan berhias di sini." Sentak Purbadewata, sebelum bergegas pergi.

Sabda tak bisa bergerak lagi, seluruh dayang menyeretnya untuk dihias layaknya pengantin. Semakin dia berontak, semakin banyak bedak tepung dipoles dimukanya. Sanggulnya yang semula rapi, dilepas, lalu rambut panjangnya di sisir untuk dipasang sanggul melati. Karena Sabda terus mengamuk, maka sanggul itu jadi miring.

"Apa-apaan ini? Kalian mendandani orang kok jadi kayak reog begini? Pernah kursus rias pengantin nggak? Kalau belum pernah, jangan sembarangan deh!"

Suara itu, begitu lantang terdengar. Membuat semua mata memandang, termasuk Sabda yang kini mukanya penuh tepung, sementara sanggulnya miring-miring.

"Jasoooooon!" teriak Sabda, dengan suka cita.

(Bersambung)


Dokter Jadi Lutung (Terbit SAGO/GONOVEL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang