30: Penyesalan

132 41 7
                                    

Neo bersandar ke dinding, sebelum duduk dengan gelisah di ranjang. Sungguh tidak bisa dibayangkannya, jika nasibnya jadi serumit ini. Sudah terpisah dengan para sahabatnya, kini malah terpuruk di istana, dengan sikap Ratu Purbararang yang tak lagi manis padanya.

"Sebenarnya, buat apa lomba memilih pasangan untukku itu? Sebab kini kusadari, jika hatiku telah tertambat pada Jayendra. Sayangnya dia telah pergi." Kata Purbararang, yang tampak begitu berduka.

Dia memerintahkan prajurit untuk mencari sosok pria pujaan itu. Tanpa sedikitpun mengingat, bahwa masih ada Neo di istana itu. Pria yang juga sempat berbagi ranjang dengannya.

Nasib Neo, ternyata sangat mengerikan. Tidak diperdulikan oleh siapapun kini, bahkan para dayang dan prajurit enggan melayani.

"Ratu Purbararang tak lagi menginginkanmu, Tuan. Pilihan Ratu adalah Tuan Jayendra!" Kata mereka, dengan sikap ketus.

Ke mana aku harus pergi? Pikir Neo sedih. Rasa sesal yang mengaduk-aduk perasaannya, seakan sampai ke titik rasa putus asa.

Aku harus lari, pikirnya. Seraya mulai memikirkan kesempatan untuk pergi dari istana itu sebelum terusir. Tetapi ke mana? Nasibnya bahkan jauh lebih buruk dari Gajah Messa. Pria itu, setidaknya masih diperlakukan baik, di antar pulang. Atau nasib Jason yang telah pergi bersama Kepala Dayang, demi menyusul Sabda.

"Tetapi, tak ada Jayendra dan Kepala Dayang yang ikut ke istana Gajah Messa. Dua dayang yang ikut, adalah dayang biasa. Satunya besar berotot, satunya pipinya ada tompel." Kata seorang prajurit, yang mau disogok Neo dengan emas dari kamarnya dari pemberian Purbararang.

"Dayang besar berotot dan dayang pipi tompel? Ada memang dayang kerajaan model begitu? Bukannya pada seksi atau cantik ya?" Tanya Neo.

"Ada, mereka biasanya dayang bagian dapur yang sering ngangkut kayu atau membawa tempayan. Wujud mereka memang gagah, atau malah buruk rupa."

Tapi hati Neo berkata lain, dia mendadak teringat postur Jason yang kekar berotot. Dia yakin, Jason dan Kepala Dayang sudah menyamar agar tidak dikenali. Dan tujuan mereka pasti menyusul Sabda yang menurut Kepala Dayang, terpenjara dalam tubuh si Dayang Nilam.

"Bagaimana caranya agar dapat menuju istana Gajah Messa?"

Prajurit itu menoleh, lalu mengernyitkan dahi. "Untuk apa?"

"Hanya ingin tahu saja. Bisa kau antarkan?"

Neo menambah lagi perhiasan emas ke tangan prajurit itu dengan cepat, lalu prajurit itu berbisik. "Sebelum fajar, kutunggu di pintu barat dekat dapur istana. Nanti akan kuberi baju prajurit bekas, sehingga kau bisa mengikutiku untuk ke luar. Tapi, aku minta semua emasmu!"

"Oke, asal kau antar aku besok. Semua emasku akan kuberi." Sahut Neo, berhati-hati, khawatir prajurit itu berbohong.

Tapi prajurit itu memang menantinya di dekat dapur, menariknya ke lumbung, dan menyuruhnya berganti pakaian. Suasana masih penuh kabut, ketika mereka menaiki pedati. Mereka hanya terdiam tak bicara.

Perjalanan tampak begitu jauh, tetapi ketika sampai di depan istana milik Gajah Messa, Neo menyerahkan emasnya lagi pada si prajurit yang langsung memacu pedatinya. Meninggalkan Neo yang kebingungan menghadapi gerbang tinggi besar, dengan para penjaga yang bekerja untuk Gajah Messa.

"Mencari siapa?" Tanya mereka, sambil memperhatikan dari jauh, tingkah seorang prajurit kerajaan yang tampak tergesa memacu pedati.

"Gajah Messa!" Sahut Neo, berusaha terlihat tenang.

"Untuk apa?"

Neo berpikir sebentar, lalu tersenyum. "Menyampaikan pesan dari Ratu Purbararang."

"Kamu siapa?"

"Neo, eh, Nayaka. Saya orang kepercayaan Ratu. Lihat kan tadi? Seorang prajurit mengantar saya. Ini tugas rahasia."

"Berita baik atau buruk."

"Saya rasa, Tuan Gajag Messa akan senang mendengarnya."

Para penjaga gerbang istana Gajah Messa saling pandang, sebelum mengizinkan Neo untuk masuk.

"Tuan Gajah Messa sedang istirahat di kamarnya. Kau bisa bertemu dengannya siang nanti. Tapi kau bisa menunggu di pendopo."

Seorang penjaga mengantarkan Neo menuju pendopo yang tampak sepi. "Tunggulah di sini. Nanti, jika ingin minum ambil di tempayan. Juga jika ingin makan, ada jagung bakar di meja."

"Jika ingin ke WC?"

"WC?"

"Eh, kamar mandi."

"Di tikungan sebelah kiri, ada pancuran air dan tempat pemandian untuk tamu."

"Oh, baiklah."

Neo bergegas menuju bangunan sebelah kiri, ketika penjaga itu meninggalkannya. Tetapi ketika Neo berbelok di tikungan, tiba-tiba dia terjatuh, setelah sesuatu yang keras menghantam kepalanya.

TUNG!

Jason mengacungkan tangan kanan yang memegang centong kayu besar ke udara, sambil tangan kirinya memegang kembennya yang kembali melorot.

"Bisa-bisanya kau nyampe ke sini ya, penghianat. Gara-gara kau, aku jadi repot pakai kemben kek begini bangsat!" Gerutu Jason, seraya menyepak tubuh Neo yang terkapar di lantai.

(Bersambung)

Dokter Jadi Lutung (Terbit SAGO/GONOVEL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang