18: Terluka

160 48 24
                                    

Purbasari merasakan sakit dan pusing, tetapi dia sulit bergerak. Tubuhnya tergeletak di atas balai bambu, sementara dadanya diikat kain putih tebal yang warnanya telah bercampur darah. Dia tak ingat apapun, hanya merasa sakit di bagian dada.

"Duduklah, Puteri. Kau sedang terluka."

Suara itu, berasal dari seorang pria yang berjalan dengan kaki kayu palsu. Dia kemudian sibuk menumbuk daun-daun pada lumpang kayu, sambil memperhatikan Purbasari.

"Siapa kau, dan apa yang dilakukan Sukriya padaku?"

"Aku adalah Agra Seta, Puteri. Pria malang yang hidup sendirian di hutan belakang sini. Aku menemukan Puteri tergeletak bersimbah darah. Tak ada orang lain, selain anda, Puteri. Saya mengenali anda sebagai Puteri, dari mahkota khas para anak Prabu Tapa," sahut Agra Seta.

"Dari mana kau tahu, soal mahkota ini?" Purbasari menunjuk mahkotanya yang ternyata telah diletakkan di sebelahnya.

Agra Seta tersenyum,"Aku sempat mengenal Purbararang. Dia memakai mahkota sepertimu dulu. Oh, ya...aku dengar, dia kini menjadi seorang ratu?"

Purbasari menghela nafas,"Dia merampas posisi itu dariku."

"Dia sejahat itu, Puteri?"

"Begitulah."

"Padahal dulu, dia gadis yang baik..."

Purbasari melirik Agra Seta yang masih terus menumbuk dedaunan. Pria itu, meski terlihat berbaju lusuh, sebenarnya memang terlihat sangat tampan. Sayang, dia tidak memiliki kedua kaki, hingga harus berjalan dengan kaki palsu dari kayu yang tertatih dan timpang.

"Bagaimana kau bisa berada di tempat ini, Agra Seta?"

Agra Seta menoleh, tersenyum, lalu kembali menumbuk dedaunan. "Kita bernasib sama, Puteri. Sama-sama karena Purbararang."

"Dia juga memperlakukanmu buruk?"

"Bukan. Justru dia sangat baik. Tetapi Prabu Tapa tak suka dengan hubungan kami, jadi aku terpaksa kehilangan beberapa organ tubuh."

Purbasari terdiam. Dia mulai teringat tentang kisah cinta pertama Purbararang dengan seorang atlet berkuda yang tiada tandingan. Tapi saat itu, dia masih terlalu kecil. Hanya saja, titah Prabu Tapa untuk memotong kaki dan kelamin pria itu, terus diulas di istana. Semata agar tak ada lagi puteri-puteri Sang Prabu yang bisa dimanfaatkan seorang pria.

"Kau... si atlet berkuda yang mengkhianati Purbararang, bukan? Dengan Nilam Sari, yang kepalanya dipenggal Gajah Messa?"

Agra Seta menghentikan tumbukan daunnya, lalu meraih bambu dan meminum air di dalamnya. Dia merasa tak nyaman mendengar kalimat itu. "Aku mendengar kisah itu, setelah terbuang jauh ke sini. Sungguh bukan sesuatu yang ingin kudengar. Tetapi jujur, aku ingin mengunjungi Lembah Jurig. Aku ingin melihat sendiri, apa benar kekasihku menjadi Hantu Kepala Buntung?"

"Kisah itu sangat melegenda kini. Nilam Sari kehilangan kepalanya, dan hanya Gajah Messa yang tahu di mana dia menyembunyikannya."

"Pria itu, juga akan merasakan karmanya. Aku juga tidak menyukainya. Aku membencinya! Karena dia telah tega membuang kekasihku si Guruminda ke Lembah Jurig"

"Si lutung itu?"

Purbasari melirik Agra Seta lagi,"Bagaimana kau tahu?"

Agra Seta mendadak terkekeh,"Aku dulu pernah melihatmu bersama lutung itu di dangau hutan, Puteri. Kalian kuketahui masuk ke Buana Panca Tengah, desa yang tak kasat masa."

"Tak kasat mata?"

"Desa itu, antara ada dan tiada. Saat pikiranmu kalut, kau bisa melihat desa itu. Tetapi jika pikiranmu normal, kau hanya bisa melihat wilayah itu seperti kampung yang telah ditinggalkan penghuninya, rusak terbengkalai dan telah dihuni semak belukar."

"Kau pernah tinggal di kampung itu?"

"Ya, aku juga pernah ditolong Janitra. Tetapi setelah aku sembuh, aku tak melihat pria itu lagi, berikut Desa Buana Panca Tengah."

"Abah Janitra yang dicari Sukriya?"

"Sukriya... itu mungkin seseorang yang telah menusuk dada anda dengan belati?"

Purbasari menyentuh kain tebal di dadanya, dia merasa sakit, begitu juga hatinya. "Sukriya, menipuku. Dia bilang, jika aku mampu menulis hajatku di halaman terakhir kitab asli Ki Anom Ksatria, maka aku bisa bertemu kembali dengan Guruminda."

"Mungkin, dia telah berhasil menulis hajat hidupnya lebih dulu."

"Benarkah?"

"Ya, mungkin saja."

"Hajat hidupnya ingin kembali bersama Abah Janitra!"

"Anda sudah tertidur lebih dari dua hari, Puteri. Akibat luka itu. Dan selama dua hari ini, aku melihat kembali Desa Buana Panca Tengah. Juga melihat Janitra, tengah dikejar-kejar seorang wanita tua berkemben putih, seperti kemben para pengurus kuil."

"Itu Sukriya."

"Wanita tua yang menusukmu itu, telah menulis di kitab Ki Anom Ksatria. Tetapi mungkin tidak tuntas. Sebab dia memang bisa bertemu kembali dengan Janitra, namun sikap Janitra malah begitu tampak membencinya."

Purbasari tiba-tiba tersenyum, dia tiba-tiba merasa lega mendengar nasib si licik Sukriya. "Dia telah mendapatkan balasannya. Baguslah! Lalu, apa aku bisa menulis juga di kitab itu?"

Arga Seta lalu bergerak mendekati Purbasari, duduk dengan tenang di kursi kayu. "Tidak bisa lagi, Puteri. Kitab itu telah sirna. Sudah tidak ada lagi di dalam kuil itu. Mungkin ikut jadi tak kasat mata, seperti Buana Panca Tengah."

"Tapi aku ingin ke Lembah Jurig, aku ingin mencari Guruminda!"

"Kita bisa memakai jalur lain, Puteri."

"Kita?"

"Ya, karena aku juga ingin ke sana mencari Nilam Sari."

"Tapi dia telah jadi hantu."

"Aku tak peduli. Aku hanya butuh izinmu untuk ikut berkuda bersamamu, Puteri..."

Purbasari menghela nafas. Dia merasa kembali bersemangat.

(Bersambung)

Dokter Jadi Lutung (Terbit SAGO/GONOVEL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang