41. Pertemuan

138 40 5
                                    

Sebenarnya, Sabda sedang berusaha mencari Janitra. Apalagi, kondisi Jason dan Neo semakin parah. Keduanya tiba-tiba masuk rumah sakit dengan kelamin yang terlanjur membusuk. Infeksi parah yang dapat membahayakan organ tubuh lainnya.

"Lakukan apapun, agar kami kembali normal. Tolong, Sabda! Aku yakin, penyakit ini ada hubungan dengan kejadian peristiwa kita nyasar di hutan dan masuk ke zaman silam." Kata Neo, sambil menoleh pada Jason, yang terkapar lemas tak berdaya di ranjang sebelahnya. Mereka minta dirawat pada ruangan yang sama, untuk memudahkan kondisi perawatan medis dan mental secara bersama.

Tak ada yang mampu memahami, mengapa ada dua pria yang memiliki alat vital yang tiba-tiba membusuk bengkak dan penuh nanah. Seakan habis dipukul dan diinjak-injak, atau terkena duri, kawat, bambu dan sebagainya yang membuat infeksi.

"Aku sedang berusaha mencari seseorang, yang mungkin bisa menolong kita." Ujar Sabda, seraya duduk di kursi, di antara ranjang kedua sahabatnya. "Kasus kalian ini langka. Ini bukan penyakit kelamin biasa. Entah apa yang kalian lakukan ketika berada di zaman silam itu, hingga kelamin kalian rusak begini."

Neo melirik Jason sesaat, lalu menghela nafas. "Kami di sana, berhubungan seksual dengan Purbararang, kakaknya Purbasari."

"Kalian gila!" Gerutu Sabda. "Di situasi mengerikan seperti itu, masih bisa memikirkan syahwat?"

"Situasinya waktu itu...ah, kau tahulah!"

"Tahu apa? Sepanjang hari aku cuma jadi lutung, lalu kemudian jadi wanita. Tak ada pikiran untuk menyetubuhi lawan jenis. Boro-boro!"

Neo mengangkat bahu,"Kita semua stres di sana, bukan? Kadang butuh hiburan untuk pura-pura beradaptasi dengan takdir yang keliru."

"Apa semua hiburan itu tentang seksual?"

"Apa kubilang seperti itu? Itu salah satunya! Andai ada yang lain, tapi kan tak ada pilihan."

"Alasan! Kalian memang gatal urusan wanita sejak lama."

"Lalu, apa kami juga harus menyalahkan dirimu yang tega menembak seekor lutung dulu?"

"Hei, kita memang sedang berburu!"

"Kau bukan berburu, saat itu kau sedang emosi. Lalu kau kena azab, dan imbasnya kita."

"Ah, kalian juga membuat masalah awal di Bumi Panca Tengah! Urusan wanita, lupa? Sampai kita harus disumpahi Janitra."

Neo menatap Sabda,"Kau ingat Tetua Adat itu?"

Sabda mengangguk,"Aku menemukan buku tentang versi lain cerita Lutung Kasarung dan Purbasari di perpustakaan kota. Kau tahu, isinya mirip dengan kisah kita. Bahkan, penulis bukunya bernama Janitra."

"Tidak mungkin..."

"Begitulah. Aku juga jadi sulit percaya awalnya. Tetapi aku yakin bisa bertemu dengan si Janitra itu."

"Apa dia reinkarnasi?"

"Mungkin."

"Apa rencanamu?"

"Entahlah. Aku merasa yakin jika orang itu bisa memberiku petunjuk!"

Sabda meninggalkan Neo dan Jason beberapa saat kemudian, lalu melangkah melewati lorong rumah sakit tempatnya bekerja menuju ruang kerjanya. Tetapi di tikungan, dia mendadak menghentikan langkah. Seseorang yang tidak dia inginkan, tiba-tiba telah berdiri menantinya.

"Apa kabar, Guruminda?" Tanya wanita itu, seraya mengibaskan rambutnya dan tersenyum dengan pongah. "Apa kau lupa dengan janjimu?"

Sabda terdiam mematung. Sulit dia lupa wajah asli seorang Dewi Nilam Sari alias Hantu Tanpa Kepala. Wajahnya betul-betul rupawan, meski menakutkan. Bukan seperti Nilam yang mengikutinya pulang ke Jakarta dan mengalami kecelakaan, atau seperti si Kepala Dayang. Bukan. Wajah asli Nilam Sari betul-betul tak terbayangkan, saking memesonanya. Wanita itu, bahkan lebih cantik dari Purbasari dan Purbararang.

Tetapi siapa yang mau mencintai hantu? Purbasari dan Purbararang yang terlihat hidup saja jadi mengerikan karena menyadari mereka orang-orang dari masa silam. Apalagi sosok Dewi Nilam Sari, yang di masa lalu saja sudah terlanjur jadi hantu?

"Jangan ganggu aku, Nilam Sari. Kembalilah ke alammu. Dunia kita berbeda." Sahut Sabda.

Nilam tertawa,"Dunia yang mana bisa berbeda? Apa kau punya dunia sendiri dari manusia lainnya?"

Sabda menghembuskan nafasnya dengan kesal, dia sudah bersiap mengucapkan kalimat pedas pada wanita itu, ketika tiba-tiba datang Dokter Ardan, Dokter Kepala Rumah sakit mendekati mereka.

"Sudah berkenalan dengan Dokter Anestesi kita yang baru, Dokter Sabda?" Tanya Dokter Ardan, seraya berdiri di antara Sabda dan Nilam yang tampak tersenyum manis.

"Dok-Dokter Anestesi?" Mata Sabda terbelalak, dia hampir jantungan mendengarnya.

"Ya," Dokter Ardan mengangguk."Kebetulan, Dokter Nilam ini satu almamater dengan saya. Adik tingkat paling cantik dulu di kampus, kaget juga saya ternyata dia sampai sekarang belum menikah."

"Ah, Dokter!" Nilam tampak tersipu malu.

Dokter Ardan menjawil pundak Sabda dengan jenaka,"Aku menyesal keburu menikah. Kau juga pasti menyesal kan, Dokter Sabda? Dulu, mana ada dokter rumah sakit ini yang bening. Sekalinya ada, kita sudah keburu kawin."

Sabda nyengir, hatinya gelisah. Dan semakin risau saat melihat senyum Nilam yang membuatnya ingin muntah.

Nilam sekarang jadi dokter? Bagaimana bisa? Ini tak mungkin, bathin Sabda lelah.

(Bersambung)

Dokter Jadi Lutung (Terbit SAGO/GONOVEL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang