Purbararang memandangi suaminya dan Euis. Dia terduduk di singgasana, sementara suaminya Gajah Messa, dan penari yang dikenalnya sebagai Kerang Kencana, duduk berlutut menunggu titah. Tak jauh dari letak singgasana Purbararang, terdapat juga kursi-kursi untuk para puteri. Di mana terlihat duduk Purbadewata, Purbakancana, Purbamanik dan Purbaleuih, yang turut memandang sinis, kepada sosok penari, dan ipar mereka yang merupakan hulubalang istana.
"Andai adik-adikku tidak memergoki huru-hara di panggung pementasan seni, mungkin aku tidak pernah tahu jika kalian menjalin hubungan!"bentak Purbararang dengan marah, seraya menghentakkan kaki.
"Daulat, sayang...eh, Ratu Purbararang." Gajah Messa langsung bersimpuh. "Tolong percaya padaku. Aku tidak mungkin akan mengkhianatimu. Mana mungkin, aku menjalin hubungan dengan seorang penari."
"Mungkin saja, sebab kau juga tidak bisa menjalankan tugas sebagai suami. Kau lemah, Gajah Messa. Seumur-umur pernikahan kita, kau hanya mampu sekali menyentuhku. Sisanya? Orang lain. Jadi bisa saja kau mencari pelarian di luar, dengan penari murahan ini misalnya." sahut Purbararang, seraya menunjuk Euis yang kini sibuk menangis.
Bukan menangisi hukuman mengerikan yang akan diterimanya. Tetapi justru, ucapan Gajah Messa yang tidak mengakui hubungan merekalah yang membuatnya terluka.
Bagaimana dia lupa, cara pria itu mendapatkan hatinya? Berjuta cara dilakukan Gajah Messa, segala hal yang membuat seorang Kerang Kencana mabuk kepayang. Euis, adalah nama baru yang diberikan Gajah Messa, dan sangat disukainya.
Pria itu memberinya istana kecil yang indah, kemewahan selayaknya isteri pejabat istana. Serta mimpi, untuk mengkudeta Ratu Purbararang suatu hari nanti. "Karena cuma kau yang layak menjadi ratu," bisik Gajah Messa.
Lalu, sekarang apa yang didengarnya dari mulut pria yang dipujanya itu? Justru sebuah hinaan mengerikan. Euis bahkan tak sanggup untuk mendengar pembelaan pria itu lebih banyak, karena dia khawatir akan sakit hati.
"Aku tak pernah mengkhianatimu, Ratuku. Hanya kau yang selalu kupuja. Apapun keinginanmu kuturuti, meski kadang aku sedih karena kau tak sudi kusentuh lagi. Kaulah cinta dalam hidupku. Tak mungkin menukar rasa cintaku itu, pada wanita yang hanya layak jadi alas kakimu?" kata Gajah Messa, tak berhenti mengiba.
"Omong kosong!"
"Tolong, jangan mencemburui penari hina seperti ini cintaku. Aku..."
"Siapa yang cemburu?!" Purbararang melotot. "Sudah miring otakmu, ya? Kau pikir, aku menikahmi karena cinta? Sungguh tidak, Gajah Messa! Kau tak lebih alat untukku untuk menggapai singgana. Sekarang, semua sudah kuraih. Untung bagiku, sebaiknya juga untung bagimu karena nanti juga akan diangkat menjadi Patih. Aku tidak melarangmu tidur dengan banyak wanita, asal jangan perlakukan mereka istimewa. Bisa menginjak kepala. Lihat wanita penari ini, dia malah bertingkah seperti isteri Hulubalang, dan berani membuat marah Nayaka dan Jayendra!"
"Tapi, Ratuku...."
"Diam! Apa yang kau pikirkan saat meniduri wanita ini? Apa yang kau janjikan padanya hingga dia besar kepala?"
"Tidak, Ratu. Aku..."
"Apa?!" sentak Purbararang, kali ini seraya menunjuk Euis yang masih menangis. "Ceritakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi Kerang Kencana. Atau tubuhmu akan dicincang halus, kepalamu dipenggal dan dibakar!"
Tubuh Euis menggigil mendengar itu. Dia langsung merangkak dan bersujud di depan Purbararang. "Ampunkan, Hamba, Ratu! Hamba hanya diperintah Hulubalang Gajah Messa. Hulubalang yang...."
CRAASSSHHH
Gajah berdiri, dengan pedang berlumuran darah. Sementara sesuatu yang bulat penuh darah nampak menggelinding di lantai, dan berhenti di kaki Purbadewata yang langsung meloncat dan menjerit.
Purbararang berdiri dengan marah, dia berteriak dan menunjuk Gajah Messa. "Apa yang kau lakukan, Gajah Messa?"
Tapi Gajah Messa segera kembali berlutut, meletakkan pedang dan memberi hormat. "Aku memang bersalah, Ratuku. Sangat! Aku cemburu pada Nayaka dan Jayendra, yang berhasil meraih hatimu. Jadi aku mengirimkan Kerang Kencana untuk menggoda mereka, semata agar perhatianmu akan kembali kepadaku. Hamba hanya diliputi rasa cemburu, Ratuku..."
Purbararang mengernyitkan kening,"Begitu? Lalu mengapa wanita itu malah kau bunuh?"
"Sebab dia telah bertindak di luar batas. Aku hanya minta dia menggoda Nayaka dan Jayendra, jika tidak berhasil, dia tak perlu memaksa. Tetapi wanita ini malah marah dengan penolakan Nayaka dan Jayendra, dan bersikap tidak sopan pada keduanya. Bahkan tega membawa-bawa jaminan namaku, agar semua orang takut. Tindakan Kerang Kencana sudah di luar batas, Ratuku..."
Purbararang terdiam, lalu melirik adik-adiknya yang tiba-tiba bangkit berdiri dari kursi dan melangkah ke luar balai utama. Sikap keempatnya nampak begitu kesal dan muak pada perilaku Gajah Messa. Sejumlah prajurit dan dayang, tampak sibuk mengangkat jasad Euis yang bersimbah darah. Sementara Gajah Messa tampak masih berlutut di sebelah pedang berdarahnya.
Keempat adik Purbararang melanjutkan langkah untuk kembali ke tempat panggung pertunjukkan seni, menemui Kepala Dayang yang nampak berdiri termenung sambil memegang selendang.
"Pantau terus lelaki jahanam itu. Aku yakin dia berbohong tentang hubungannya dengan Kerang Kencana," bisik Purbadewata, pada wanita itu.
Kepala Dayang mengangguk, lalu menunjukkan selendang menari yang dipegangnya. "Ini selendang Kerang Kencana, Puteri. Saya tahu tentang jenis kain ikat sutera lembut yang seindah ini. Kain ini, hanya dibuat oleh para pengrajin tenun ikat dari Garut. Mereka hanya membuatkan tenun ikat pesanan dari para wanita bangsawan, ataupun pedagang kaya."
"Ah, ya. Tenun ikat kain cerah, bukan? Kita juga mengoleksi kain ini di istana, bersama kain-kain sutra dari kerajaan tiongkok." Purbadewata membelai kain tersebut, lalu menatap Kepala Dayang. "Apa yang sedang kau pikirkan, Kepala Dayang?"
"Pengrajin kain tenun ikat sutra Garut, selalu mencatat nama-nama pemesanan kain mereka, berikut alamat pengantarannya. Izinkan hamba menyelidiki tentang kain selendang milik Kerang Kencana ini, Puteri." sahut Kepala Dayang.
Purbadewata tersenyum, lalu mengangguk. "Bongkar semua kebusukan Gajah Messa. Si bajingan itu jangan sampai jadi Patih. Bisa semakin congkak dan semena-mena. Bahkan dia sering bersikap kurang ajar pada suami iparnya!"
Kepala Dayang menghaturkan sembah, sebelum berlalu sambil mengikat selendang Euis di pinggangnya.
(Bersambung)

KAMU SEDANG MEMBACA
Dokter Jadi Lutung (Terbit SAGO/GONOVEL)
Historical FictionSabda, adalah seorang Dokter muda yang sangat gemar berburu. Bersama dua sahabatnya, Neo seorang Hair Stylist terkenal dan Jason, seorang Chef macho, mereka kerap menyusuri hutan rimba untuk menembak hewan liar. Tetapi ketika mereka berburu ke hutan...