BAB 41

69 7 0
                                    

~*~*~

Sekolah tampak sepi tanpa kehadiran sang kepsek kesayangan. Seakan sekolah ini tidak bernyawa lagi. Nada yang biasanya mengantar makanan untuk Guntur, hari ini langsung masuk kelas karena pagi tadi Guntur berpesan jika ia izin.

Meski kedekatan mereka dibilang baru kemarin, tapi jujur Nada merasa harinya ada yang kurang, mungkin ia rindu di omelan Beruang kutub itu. Memang dasar, saat ada ngomel tapi saat jauh jadi rindu. Yah, jadi lebay kan.

Tapi yang menjadi teka-teki adalah kenapa Guntur tiba-tiba izin tidak masuk sekolah? Padahal kemarin ia terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ia sakit karena capek setelah mbolang seharian. Jelasnya ia tidak ada jam istirahatnya.

"Nad, Nada!" panggil seseorang yang sedari tadi dibuat bingung dengan calon adik iparnya, ngelamun mulu kerjanya.

Brak!

Tangan mulus Anita mendarat tepat di meja Nada, hingga wanita itu terkejut pakek banget.

"Astagfirullah ... apaan sih?" ketus Nada.

"Yah, kok malah marah. Kamu dari tadi ngelamun mulu, mikirin apa sih?" tanya Anita lalu duduk di sebelah Nada.

"Nggak ada,"

"Jangan bilang kamu lagi mikirin Guntur ya ..." ledek Anita dan itulah kenyataannya.

"Nggak," jawab Nada malas mengurusi kejahilan Anita.

"Yaudah, aku baru aja mau nawarin ke rumahnya,"

"Kapan?" sahut Nada tanpa sadar.

"Cccciiieeee ... keciduk kan? Dulu aja katanya ogah, sekarang,"

"Terserah,"

Nada sekarang mirip anak kecil yang tidak mendapat permen gratis. Tapi lebih mirip seperti Guntur saat marah.

"Yaelah, punya adik ipar kok ngambekan sih?"

"Yaudah, entar pulang sekolah ikut aku ke rumah Guntur."

Nada berbalik semangat, "Oghey!"

~*~*~

Sesuai perjanjian, kini Nada nebeng ke rumah Guntur. Matanya terasa berbinar-binar ketika melihat kemegahan ruma milik Guntur. Yang membuatnya terasa mahal adalah nuansa asri serta arsitektur nya yang begitu mendalam.

Di dalamnya terdapat lantai dua, sama seperti di rumahnya. Nada sempat tidak percaya jika rumah sebesar ini hanya di huni dua orang. Sungguh sangat nyaman, meski sedikit tapi terasa hangat. Terlebih lagi sambutan dari Nanda yang juga terkejut dengan kedatangan Nada.

"Assalamualaikum, Ma." salam Nada seraya mencium punggung tangan Nanda.

"Waalaikumsalam, kenapa ndak bilang kalau mau main, Habibah." ucap Nanda.

Namun Nada hanya cengengesan, tidak mungkin kan, ia bilang kalau kemari karena kepo akan kondisi Guntur.

'Kayaknya satu keluarga sindrom memanggil Habibah.'

"Nada khawatir sama Guntur, Ma," sahut Anita sembari menyenggol pundak Nada.

"Oh iya, Guntur kebiasaan kalau bilang cuma setengah. Sampai mantu Mama khawatir." gurau Nanda mencoba menghibur Nada.

Nada hanya menahan pipinya yang mulai panas.

'Apa suhu di sini jadi tinggi?'

"Tadi Guntur_"

"Ada siapa Ma?" tanya seseorang yang kini berdiri di lantai dua, ia mematap Nada secara intens dari atas sana.

~*~*~

SATRU || EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang