BAB 44

77 11 0
                                    


~*~*~

Senja telah berganti dengan indahnya langit malam. Keramaian di taman ini tidak biasanya. Ya, bukan anak kecil yang tengah bermain, tapi para muda mudi yang lagi kasmaran. Terlebih lagi taman ini banyak tempat yang so sweet. Lampu beraneka ragam menghiasi setiap meja bundar di sana. Suasana yang damai sangat cocok untuk mengungkapkan segalanya.

Seperti halnya Guntur yang kini tengah duduk bersama wanita cantik meski penampilannya tidak terlalu islami. Wanita itu tampak menenangkan hati pria yang ada di hadapannya. Ia adalah sahabat sekaligus teman curhat bagi Guntur.

"Coba tarik napas," pintanya sembari memperagakannya caranya.

Guntur sendiri langsung menuruti permintaannya,

"Coba tenang ya,"

"Thanks Din," sahut Guntur.

Adinda Putri Wahidah, ia adalah sosok yang berharga bagi Guntur, sekaligus seseorang yang selama ini ia sembunyikan dari Nada. Dan malam ini, ia ingin mengatakan segalanya kepada Nada. Siapa Dinda? Apa hubungannya dengan Guntur? Segalanya akan diluruskan malam ini.

"Apa mungkin Habibah akan memaafkan ku?" ucap Guntur khawatir dengan keadaan Nada setelah mendengar segalanya.

"Dia wanita yang baik, Ntur. Aku yakin ia pasti bisa memahami keadaan mu saat ini." balas Dinda dengan penuh kepercayaan.

Apa Dinda pernah bertemu Nada? Jawabannya tidak. Tapi, ia diam-diam mengamati Nada saat bermain dengan anak-anak kecil di taman ini. Baginya mencari wanita seperti Nada itu sangatlah langkah, yang benar-benar tulus bukan hanya modus.

"Tapi beberapa hari ini, Habibah sering diam dan menjauh dari ku? Ia berbeda, apa dia tahu sesuatu?"

Sebelum Guntur mulai mengada-ada, Dinda segera membungkam mulut Guntur agar berhenti beropsi yang tidak-tidak.

"Udah, jangan berpikir yang aneh-aneh." ucap Dinda sembari menggenggam erat tangan kokoh itu.

"Sekarang prioritas mu hanya mengatakan segalanya yang selama ini kamu sembunyikan dari Nada. Hanya itu, masalah terima atau tidak. Kita serahkan kepada Tuhan."

"Aku benci, dasar penghianat!"

"Iya,"

Setelah sedikit tenang, Guntur menatap jam yang menunjukkan pukul 9 malam. Padahal ia meminta bertemu dengan Nada jam 8, meski sudah larut tapi belum ada tanda-tanda kedatangan Nada. Pesan maupun telepon tidak satu pun dari mereka memberi kejelasan. Apa Nada mengalami masalah di jalan?

Dinda sendiri berjalan menjauh karena ada telepon dadakan. Setelah itu ia kembali sembari menatap Guntur tidak enak.

"Eemmm ... Ntur, maaf nih, aku ada tugas mendadak. Maaf banget, aku harus pergi."

Terlihat wajah kecewa yang terlukis indah di wajah insan ciptaan_Nya. Namun panggilan Dinda kali ini gawat darurat dan tidak ada yang menggantikan.

"Iya, nggak papa." balas Guntur dengan senyum dusta.

"Maaf ya," pinta Dinda seraya angkat kaki dari tempat itu.

Sebelum bayangan Dinda menghilang, Guntur sempat menanyakan sesuatu padanya. Dinda sendiri membalas dengan suara tidak terlalu keras.

"Ntar kalau udah keluar, pasti aku kasih ke kamu langsung, bye!" kurang lebih seperti itu.

Kini hanya ada kesunyian. Guntur akan terus menunggu kedatangan Nada, meski tanpa sebuah kepastian.

Malam semakin larut, bahkan langit sendiri mengerti situasi hati Guntur yang tengah bertempur. Ia merogo saku celananya. Sebuah kotak kecil berwarna biru itu ia simpan dan nantinya akan ia pakaikan pada pemilik hatinya.

"Ya Allah ... Engkau tahu tentang segalanya. Hamba hanya ingin mengatakan segalanya yang selama ini hamba simpan rapat-rapat. Engkau juga mengetahui bila hamba hanya mencintai nya, bukan orang lain."

"Ya Rabb, hati yang lemah ini kembali bisa merasakan cinta, setelah Engkau datangkan ia dalam hidup hamba. Hati ini bisa mencintai atas restu Mu. Tapi mengapa Engkau memberikan waktu yang tidak tepat ini?"

"Hamba tahu bila tidak semua kisah bisa berakhir bahagia, bila memang ini sudah jalan yang Engaku berikan. Hamba rela melepasnya dengan ikhlas. Hamba hanya tidak ingin wanita yang hamba sayangi menangis atas kepergian ... Insya Allah ... hamba ikhlas melepas Habibah."

Sebuah tetesan air mata yang sedari tadi menggenang, jatuh di atas sebuah cincin permata biru. Jika saja orang yang ia tunggu datang, pasti sekarang cincin itu akan melingkar di jari manisnya.

Hujan turun deras, membasahi sekujur tubuh Guntur, dari atas sampai bawah. Dinginnya air hujan membuka kembali pikirannya yang kacau.

Jam menunjukkan pukul 11 malam, kini keteguhan hatinya telah kalah akan kenyataan. Tidak ada lagi yang harus ia tunggu dan pertahankan. Sekarang, keputusannya telah bulat.

~*~*~


SATRU || EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang