15. Ingin

255 44 0
                                    

Kesalahan di masa lampau tak ingin Praya mengulang kembali, kesempatan yang tak seharusnya disia-siakan menjadi pembelajaran yang akan dibawanya sampai mati. Demikian Suhita adalah salah seorang perempuan yang sangat Ia cintai, sekalipun terdapat pembedaan kasih sayangnya terhadap Diyatri serta putri sulung yakni Anggini.

"Tuan, kita sudah sampai. Tampaknya istri tuan sudah menunggu sedari tadi."

Praya menggeser arah pandang, mengikut ucapan sang ajudan memberi interupsi. Memang benar, istrinya yang lain sedang menunggu di depan pintu. Wajahnya berseri, seakan kebahagiaan Diyatri adalah lama penantian kepulangannya yang sudah terbalas.

Lagi-lagi helaan napas kasar mewakili, pada rasa sama sekali tidak bisa dibohongi. Bukan keinginannya kala itu menikahi Diyatri, tetapi Ia sudah berjanji kepada Ibunda untuk menikahi seorang gadis yang bukan pilihannya. Praya tentu tak bisa menolak, apalagi mengelak. Sebagai seorang lelaki taat akan janji, Ia tidak akan ingkar. Sekalipun setelah peristiwa itu, kian menambah rumitnya keadaan.

"Kangmas, aku sudah masak lauk kesukaanmu. Anggini juga ikut memasak demi kau, suamiku."

Diyatri membuka obrolan, senyum sumringah masih bertengger cakap di wajah. Praya baru saja turun dari kereta kuda, lekas memberi perintah kepada bawahan untuk menurunkan tiga buah peti berukuran besar dari tempatnya.

"Ku lihat hanya kereta kuda mu saja di halaman depan rumah, apa Tuan Arsa tidak mampir?" Kembali buka suara, Diyatri bertanya. Mengupas rasa keingintahuannya muncul begitu saja, sekaligus mengisi bahan pembicaraan dengan Praya yang tak ditemuinya selama tiga purnama.

Bersamaan tiga peti memiliki warna cokelat gelap pelan-pelan dibawa masuk, rupanya Anggini juga sedang menunggu di dalam. Tanpa kata segera Ia membuka, satu demi satu peti kayu dilihatnya dengan mata berbinar.

"Tuan Arsa memang ikut pulang kemari, yang sangat mendesak karena lahan padinya sudah panen. Bahkan bberapa anak buahnya dari ibu kota, juga turut ikut membantu, "

Diyatri melenggut ria, kedua mata memandang putri semata wayang asik dengan buah tangan yang dibawa Praya.

"Rama! Rama memang terbaik! Aku senang dengan apa yang Rama bawa kali ini."

Tangan kanan Anggini meraba, menilik jeli kain jarik halus bukan main. Sedang tangan kiri, asik memegang perhiasan berupa kalung, gelang binggel, hingga sumping. Dalam hati Ia menjerit bangga, keluarganya sungguh kaya memiliki perhiasan sangat jarang dipunya. Kalau sudah seperti ini, ada niatan sesekali untuk dipamerkan kepada para tetangga.

"Pilihlah dari tiga jenis perhiasan itu untuk kau miliki, Anggini. Aku memberikan ketiganya secara adil, walaupun dengan bentuk berbeda. Satu untuk ibumu, satu untuk Gandes, dan satu untukmu."

Raut muka berubah lesi, kekesalan merambat ke lubuk nurani. Ucapan ayahanda cukup membuatnya dongkol dalam sekejap, baru saja Anggini mengucap banyak terima kasih atas pemberian istimewa kali ini. Namun tatkala nama sang adik yang disebut, pupuslah sudah dirinya menikmati hari.

Anggini tersenyum kecut, tangan kiri segera melepas sepasang sumping berwarna keemasan diiringi pandangan tidak rela.

"Ba-baik Rama, kalau begitu kalung ini akan jadi milikku."

Tepat di hadapan, Diyatri menggaruk lehernya yang tak gatal. Setelahnya kembali menyibukkan diri dengan mengambil nasi serta lauk-pauk untuk Praya. Demikian perjalanan dari Ibu kota cukuplah lama, yakni memakan waktu satu setengah hari. Diyatri juga mengerti duduk selama berjam-jam dalam kereta, sangat tidak nyaman yang bisa dipastikan tubuh teramat lelah dan pegal serta bokong akan terasa sakit dan nyeri.

Tidak lama suara langkah kaki mendekat, Praya yang baru saja menyesap jahe dan menggigit gula merah terpekur melihat Gandes. Salah seorang putri yang sudah lama tak dilihat  membuatnya tidak fokus mengerjakan segala apa pun. Kali terakhir pertemuan malam itu cukup mengganggu, dari rasa bersalah akibat permintaan putrinya yang sama sekali tak bisa Ia penuhi.

Cinta Terjalin SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang