2. Terlantar

804 100 1
                                    

Sosok laki-laki itu masih menatapnya, bahkan setelah Gandes berpindah tempat dibantu olehnya dengan gerakan lamban penuh kelembutan. Pun Ia tak ingin berpikiran macam-macam, tidak ketika orang yang hidup di hutan tanpa busana itu terus mendekat hingga wajah nyaris bersentuhan.

Gandes mengerutkan kening dalam-dalam, menjerit dalam hati apa yang sedang dialami. Apa ada orang dengan rasa penasarannya hingga berbuat tak sopan seperti ini? Ayolah, meski Gandes belum dewasa seperti ibu tirinya tentu ia paham mana yang boleh dilakukan dan tidak. Sedang lelaki ini? Ia tak bisa berbuat banyak karena kakinya terkilir.

"Ja-jangan terlalu dekat denganku. Ka-kau harus menjaga jarak dariku, a-apa kau paham?"

Lagi-lagi, sang empu terus memandang Gandes penuh tanya. Raut wajahnya terlihat kaku, sehingga dapat disimpulkan lelaki satu ini tidak pandai menggambarkan berbagai macam ekspresi.

"A-ada apa?"

Hujan masihlah mengguyur Hutan Lingkih, sudah memakan waktu berjam-jam lamanya seakan tiada tanda untuk reda. Justru kian kencang seiring angin menyapu bahu Gandes makin merinding gigil. Penuh kehati-hatian, diletakannya ranting kayu telah basah tersebut. Kemudian, rambutnya yang dikepang dua segera dilepasnya cepat.

Gandes tidak membawa pakaian lain selain selendang yang sudah diberikannya pada lelaki itu, sehingga mau tidak mau menggunakan rambut untuk sementara menutup bahunya yang tak tertutupi apa pun.

"Ng-ggrr.."

Sontak, Ia terjungkit kaget. Memandangi orang di hadapannya tengah menggeram rendah. Gandes merasa tak yakin, bahwa benar-benar ada manusia seperti kera yang sama sekali tidak bisa berbicara apalagi tak mengenakan pakaian yang pantas. Jika dipikir-pikir, berasal dari mana satu manusia ini?

Demikian menatap lamat, memerhatikan bagaimana sang empu bicara. Percaya atau tidak, nampaknya lelaki di hadapannya ini tampak kesulitan ingin mengungkap kata. Sehingga yang terlontar dari mulutnya berupa geraman layaknya hewan buas.

Ah, maklumi saja. Orang yang baru ditemuinya siang ini adalah orang yang ditemuinya tanpa busana, pastilah tinggal di hutan ini lebih dari dirinya perkirakan. Jadi, tidak heran dia tidak mengerti apa yang Gandes ucapkan-apalagi ketika lelaki ini ingin mengungkap kata.

"Tidak perlu banyak bicara kalau kau saja tidak bisa. Lain kali akan aku ajarkan padamu bagaimana berbicara dengan intonasi dan nada yang benar. Bukan sekedar geraman saja," Gandes menegakkan tubuh, tersenyum kecil pada seorang lelaki yang terlihat lebih tua dari usianya.

Sesekali kedua netra tak berhenti menatap langit, bibirnya seiring waktu bergetar menahan ngilu. Kedua tangan kian diangkatnya memeluk bahu, yang terkadang mengelusnya satu sampai dua kali. Pohon lebat nan rindang yang disinggahinya saat ini, memang cukup upaya menghindar dari air hujan. Tapi tidak dengan sepoi angin yang bergerak lantam.

Hari semakin siang, bahkan mulai menyingsing sore. Di batas garis cakrawala, Gandes dapat melihat berwarna jingga bahwa matahari akan segera tenggelam. Meski terlihat samar, ia dapat pastikan itu bahwa jika dirinya tidak kembali sekarang juga--sang ibu pasti sudah siap meluapkan amarah kepadanya.

"Gawat.." Tanpa sadar, dirinya berujar pelan. Yang disadari sigap oleh lelaki yang anteng duduk di sebelahnya. Matanya memang sedari tadi menatap Gandes, telinganya yang luar biasa tajam itu juga tidak lepas mendengar segala keluh kesah gadis itu lontarkan. Walau bibirnya tak bisa berbicara untuk saat ini, amat sangat mengerti apa yang gadis itu pikirkan.

Laki-laki itu perlahan maju, mendekati kedua kakinya sedang dalam keadaan diluruskan. Gandes yang belum menyadari akan keberadaan sang empu, tersentak menjerit kaget.

"Sang Hyang Jagat! Kau mengagetkanku!"

Lagi, Gandes berteriak. Menguras tenaga yang tak perlu. Tanpa peduli, lelaki yang tak diketahui namanya itu mendekat. Memegang kakinya pelan dan diputarnya paksa.

Cinta Terjalin SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang