5. Pedih

492 75 4
                                    

Hari-hari akan kembali sepi seperti biasanya. Karena Rama mereka, yakni Praya Wikrama harus segera kembali ke Ibu kota atas perintah seorang penggawa istana dan memintanya untuk membuatkan tungku lebih banyak yang akan digunakan untuk proses pembuatan senjata. Mendapat keuntungan hal tersebut tentu Praya tidak menolak, setelah atasan dari pihak istana datang ke rumahnya kemarin sore–segera lelaki paruh baya itu menyiapkan kebutuhannya sampai dini hari.

Mengetahui kabar tersebut, Diyatri terpaksa harus rela sang suami pergi untuk bekerja demi menghidupi kehidupan mereka. Baik untuknya, Anggini, dan Gandes.Tak ingin pula mencegah keuntungan sang suami kini tengah mengguyur berkah.

Kedua kakak-beradik itu memandang kereta kuda sang Rama kian menjauh. Anggini berharap penghasilan yang akan didapat Praya nanti dapat dibagikan kepada ibunya serta dirinya sendiri. Seperti membawakan lebih banyak perhiasan dan kain jarik dengan motif cantik, misalnya. Sedang Gandes, perempuan jelita dengan hati lugu itu hanya memandang sendu. Meski beberapa hari lalu Rama menamparnya, bukan berarti Gandes membenci. Hanya saja, Ia menyayangkan perlakuan Rama kepadanya hanya karena biung Diyatri.

Tidak lama setelah itu, Diyatri kembali masuk ke dalam rumah. Membiarkan kedua putrinya—ralat—putri tunggalnya menatap kepergian Praya penuh sayang. Sebelum benar-benar masuk ke dalam rumah pun, Diyatri melempar tatapan sinis. Mata setajam pisau itu kemudian terputus, ketika kaki meneruskan langkah dan berniat kembali melakukan kegiatannya tak lain menghitung uang yang diberikan suaminya di pagi buta.

"Gandes, jika Rama akan kembali. Ketika dia memberikanmu barang baru, ku harap kau menolaknya. Katakan saja padanya itu untukku. Atau tidak, Ki Uyut yang sering kali kau beri bantuan itu akan ku perhitungkan sampai dia enggan meminta bantuanmu lagi dan tak akan menyusahkan kita."

Demikian Gandes mengalih pandang, menatap Anggini tak percaya. Hanya hal sepele—haruskah Ki Uyut jadi sasarannya? Ini tidak masuk di akal! Ki Uyut hanya kakek tua renta, tidak seharusnya Anggini melibatkan perkara macam ini menjadi ancaman. Apa kakaknya terlalu asal berbicara sehingga tidak memikirkan akhirnya akan seperti apa, huh?

"Anggini--kau terlalu berlebihan. Yang benar saja! Apa kau tidak tega-"

"Aku tidak ingin berdebat dengan orang bodoh dan idiot sepertimu! Perlu kau ingat-ingat ucapanku itu, aku tidak akan bermain-main pada sesuatu hal yang ku inginkan, Gandes. Jadi... menurutlah."

Anggini, kakak tirinya. Benar-benar gila! Bahkan Gandes tidak peduli jika Rama akan memberinya hadiah. Jika Anggini sungguh menginginkan semua perhiasannya itu, tak ragu Gandes lekas memberi. Gandes bukanlah Anggini, tentu dirinya tidak akan serakah itu untuk mengambil yang bukan miliknya.

Menjelang malam, semua baik-baik saja hari ini. Tiada lontaran kasar, apalagi perlakuan ibu dan anak itu untuk mengerjai Gandes. Di dalam kamar, ditempelkannya dagu pada kusen jendela. Memandang bulan tampak asyik memamerkan sinarnya di luasnya bumantara tanpa ujung. Bulan dengan bentuknya yang sempurna bulat itu, laun menimbulkan seutas senyum di bibir Gandes.

Bulan pun tak pernah lelah menerangi gelapnya langit, membantu sebagian makhluk yang butuh penerangan. Meski tahu makhluk malam bisa melihat tanpa membutuhkan cahaya, bulan tetap melakukannya tanpa perlu pengakuan. Bebas bersinar tanpa merasa sungkan.

Ingin rasanya Gandes bersinar layaknya bulan, berani melangkah tanpa perlu takut apa pun resikonya. Bebas kemana pun dirinya pergi, tanpa perlu takut kepada sang ibu yang terus-menerus menyiksanya. Serta Anggini yang selalu mengganggunya.

Kira-kira... kapan dirinya ini terlepas dari ikatan keluarga yang menyiksa? Hidup dengan tentram adalah impiannya.

-

Dua Minggu kemudian, adalah waktu Praya pergi meninggalkan rumah. Ketika matahari sudah muncul, embun pagi telah mencair menjadikan kekhawatiran tersendiri bagi seorang kakek tua menunggu pintu di hadapannya terbuka.

Cinta Terjalin SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang