16. Usai

278 49 2
                                    

Baru permulaan, tahap ini mulai memasuki cerita aslinya. Sabar ya, perlu muter otak biar cerita ini sinkron. Aku sendiri nggak mau punya karya yang sedikit nggak srek dihati/terdapat kekurangan. Meski aku tahu di dunia ini tidak ada yang sempurna, aku hanya ingin ceritaku enak dibaca dan tidak mengganjal di hati.

Seperti Cinta Bertakhta misalnya, (˵ ͡° ͜ʖ ͡°˵).

Btw, akhir paragraf bau-bau spoiler ya. Aku mau keluarga ini kena dampratnya, Hahaha.

--------

Tapi dari semua keinginan, Gandes urungkan. Tak lagi melakukan hal konyol yang lagi-lagi akan menimbulkan lain masalah. Mengingat Anggini memintanya menemui Prada, tentulah Ia tidak akan melupakan janji telah dibuat.

Dari jari-jemari saling memilin erat, Gandes menundukkan pandangan. Tiada keberanian untuk bersitatap, luruh sudah niatnya kembali menyanggah. Karena apa pun juga yang Ia katakan, Biung Diyatri akan kembali menarik kesimpulan bahwa dirinya adalah orang menyusahkan. Hidup seperti hama, bahkan mengganggu kebahagiaan seseorang yang tak seharusnya ada Gandes di sana.

Keadaan yang runyam, semakin panas tatkala Burung Gagak berkicau. Hewan itu berada di atas lemari pakaian Gandes, ocehannya cukup nyaring sampai-sampai Biung Diyatri menatap membeliak lebar.

"Kau! Kau memelihara Burung Gagak!? Apa kau tahu kehadiran burung ini!? Mengapa dirimu lebih buruk dari hewan itu, huh!?"

Di lain sisi Anggini terfokus mendengar suara langkah kaki, dengan mundur selangkah diperhatikannya siapa gerangan yang datang. Anggini bisa menebak itu, rama muncul dari bilik kamar yang dihuni bersama biungnya. Tahu Praya datang, segera Ia menurunkan tangan Diyatri yang menunjuk-nunjuk murka.

"Mengapa kau tidak mati saja bersama ibumu, hanya dirimu membuatku tak bisa menikmati hari-hari dengan anak dan suamiku!" Kalimat yang diungkapkan cukup menyakitkan, Gandes bahkan bingung sekedar menampilkan ekspresi selain menahan tangis kian menyesakkan jika terus ditahan.

Sementara itu, kehadiran Praya dari balik pintu membuatnya segera mengalih pandang. Di keluarga ini, dirinya merasa tidak dianggapnya sebagai keluarga. Hanya sebatas orang asing yang hidup di rumah mereka, bahkan tak jarang pun Biung Diyatri memberinya jatah makan sisaan dari bekas piring mereka. Beliau mengungkap, dilakukan seperti itu agar tak lagi menambah cucian piring dan hemat makanan. Dari hal tersebut, Gandes mencoba tidak mempermasalahkan.

"Ada apa ini? Ada masalah apa hingga dirimu semurka itu kepada Gandes. Apa hal di pagi cerah timbul kebisingan? Aku merasa gagal menjadj kepala keluarga jika tak bisa mengayomi keluargaku sendiri untuk hidup harmonis."

Praya datang, siapa pun mengerti kalimat itu ditujukan kepada Diyatri. Ada saja pertengkaran yang tak pernah usai, menjadi sebuah tanda tanya mengapa sang istri begitu memojokkan Gandes dari hari ke hari. Apa Diyatri sedari dahulu tak menyukai anak kandung dari istri keduanya?

Ah, lupakan. Praya mengatakan kepada Diyatri bahwa Gandes adalah anak yang Ia adopsi. Fakta lain, Ia telah menyembunyikan barang bukti bahwa Gandes adalah anak kandungnya sendiri. Demikian Diyatri tak bisa dibohongi, keadaan yang seharusnya terkendali justru bertambah runyam.

"Tidak akan ada asap jika tidak ada api, Aku akan selalu marah setiap melihat wajahnya. Tidak bisakah kau mengusir anak ini!?" Intonasi nada tinggi bisa diartikan Diyatri sangat gondok, terlebih merasa sakit hatinya mengetahui Praya menyembunyikan satu kebohongan.

"Diyatri! Jangan seenaknya kau bertindak! Akulah kepala keluarga di sini! Hormati aku sebagai suamimu!" Praya berucap tegas, yang didengar baik oleh Anggini dan Gandes hanya menunduk diam. Pertengkaran yang semula hanya ibu dan anak, kini terjadi kepada istri dan suaminya.

Cinta Terjalin SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang