7. Raja Berang

570 78 2
                                    

Prada mencoba menghiraukan kehadiran banyak makhluk di sekitar, dari mereka yang terus mengawasi dua insan berwujud manusia. Sebagian dari mereka bertanya-tanya, siapa gerangan lelaki nan tampan dengan auranya yang kuat. Kekuatan dengan cahaya warna keemasan berpendar di seluruh tubuh. Pula seorang gadis tengah menunduk malu dibalik punggungnya mencuri perhatian.

Dari hal tersebut, kedua bola mata merah juga tak henti menatap. Prada sesekali berdeham upaya menghilangkan situasi canggung antara dirinya dengan sosok genduruwo yang senang sekali bersembunyi di antara pohon bambu. Tak jarang, mereka menganggap tempat itu sebagai rumah.

Rupanya penghuni pohon bambu tidak beralih sampai disitu, perawakannya dengan bulu lebat serta kepala yang memiliki tanduk. Justru berani selangkah lebih maju mendekati seorang gadis jelita dengan mata sembab tepat di belakang Prada. Ya, sosok di balik pohon bambu itu menyukai perempuan.Terlebih, tipe seperti Gandes.

Hujan kembali deras, mengharuskan Gandes mundur sepetak langkah. Dari air hujan itu, tanpa sungkan menciprati wajah Prada tengah berdiri di hadapannya. Dan sekarang, Ia benar-benar menggigil kedinginan. Perasaan penuh sesal menyelimuti hati karena telah salah bertindak. Seharusnya, dirinya tak boleh pergi begitu saja. Seharusnya, Ia bisa menghadapi tanpa perlu menangis sesegukan sembari berlari menuju hutan. Patutlah Gandes tersenyum saat dua orang itu berbicara mengenai dirinya, tanpa perlu merasa tak enak hati dan sebagainya.

Bukankah Ia terbiasa akan hal itu? Jadi untuk apa merasa sakit dan kecewa? Perpaduan dua rasa tak dikendati teramat campur aduk dalam benak rupanya.

Kemudian, kedua netra memandang sekitar. Rimbunan pepohonan membantu hutan menjadi sedikit terhalang dari hujan, adalah sesuatu yang tak pernah Ia pikirkan dari praduga. Gandes menyadari, terkadang di malam hari Hutan Lingkih akan tampak sangat menyeramkan ketika sinar rembulan raib dari dirgantara. Seperti yang terjadi saat ini, selain air langit tiada sedikit pun cahaya muncul di balik awan. Bulan seakan enggan menunjukkan diri, seperti halnya seseorang merasa enggan menunjukkan jati diri di kala kesedihan melingkupi.

Trak!

Suara patahan bambu membuatnya segera mengalih fokus. Tanpa diduga Prada dengan mudah mendorong salah satu pohon bambu sampai patah, batang pohon jatuh ke kiri merusak pohon bambu lainnya. Demikian hal tersebut tak lepas dari pandangan. Sang Hyang Jagat, ulah apa lagi yang diperbuat Prada baru saja? Tidakkah cukup dalam keadaan seperti ini membuatnya canggung untuk melakukan hal apa pun?

"Ada apa, Prada?" Kali ini, memberanikan diri Gandes membuka suara. Mencoba mencermati raut wajah sang lawan bicara meski percuma selain memperlihatkan daun telinga di temaramnya malam.

"Ti--dak, kau tak perlu mengkhawatirkan apa pun. Pohon itu untuk keperluanku nanti sebagai kayu bakar api unggun."

Selepas itu, Gandes tak lagi membalas. Ia merasa cukup tahu diri untuk tidak berbicara panjang lebar pada laki-laki baru dikenalnya.

Prada yang hanya mengenakan selendang hijau di pinggangnya, tak kalah mengundang atensi. Membuat mereka yang 'tak terlihat' itu berdecih tak suka. Merasa tak sopan karena diri mereka sendiri mengganggap makhluk yang beradab, memiliki etika sebagaimana berperilaku layaknya seorang bangsawan.

Sandang adalah hal utama, ada gerangan apa dengan satu anak manusia itu. Yang tak risih berpakaian hanya seutas kain? Laki-laki mana saat ke hutan tidak mengenakan busana? Begitulah kira-kira prasangka penghuni Hutan Lingkih pikirkan.

-

Hingga keesokan hari, Gandes memutuskan untuk ikut bersama Prada ke sebuah gua dengan jalan agak menanjak dari perbatasan antara desa dan Hutan Lingkih. Memilih ikut ketimbang membuat repot Prada berkali lipat karena jalannya begitu gulita. Yakni menghantarkannya kembali ke rumah yang belum tentu biung serta kakaknya mau menerima.

Cinta Terjalin SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang