14. Pendusta

284 51 1
                                    

Dada yang naik turun, kian mereda tatkala melihat Ki Uyut memutuskan berbalik badan. Berjalan pincang menjauhi Bahuwirya sembari membuang muka kasar. Dari perilaku satu ini Ia sudah bisa menyimpulkan, bahwa segala apa pun cara yang dilakukan agar orang tua itu buka mulut hanyalah sia-sia. Lantas raut wajah diiringi serangai kembali menghias, digigitnya tangan kanan ibu jari. Bahuwirya segera menunduk, darah yang muncul dari pori-pori kulit ditempelkan pada tanah. Kata demi kata terucap menjadi sebuah mantra, komat-kamit tanpa suara mulut bergerak. 

Angin bergerak kian kencang, awan gelap kian kelam ditemani serintik air turun dari langit. Kilat demi kilat muncul menunjukkan diri. Kekuatan berwarna putih berbentuk garis lurus dari awang-awang ke bumi, hadir dalam waktu satu kejapan mata tepat pada tanah yang dipijak Bahuwirya. Hal itu justru menjadi perhatian makhluk lain kini sedang menyoroti, darah yang jatuh menetesi tanah tercium menjadi sesuatu asing untuk dikenali. Seketika cahaya emas berpendar mengelilingi tubuh, mereka tahu bahwa orang tanpa busana itu baru saja membuat sumpah. 

Sayangnya Ki Uyut tak menyadari, fokusnya teralihkan pada Gandes tampak terpekur dari balik pintu. Dari sapuan angin bergerak kencang, Ia menghiraukan. Yang perlu dipastikan adalah, sudut pandang gadis itu tentang dirinya. Untuk tidak merasa curiga apalagi alasan Ki Uyut menentang keras pertemuan Gandes dengan lelaki itu. Ia sudah berjanji pada dewi bulan untuk terus menjaga, menjaga sesuatu berharga yang dapat mengguncang dua dunia.

"Aku sudah memberi waktu yang terbilang lama untukmu, tetapi dirimu sendiri enggan mengatakan kebenarannya. Jika pun demikian, aku tidak akan segan kepada sosok manusia tidak tahu diri sepertimu. Selamat menikmati kutukan ini yang akan bertahan selama 5000 tahun mendatang."

Kemudian, bak terbawa angin dan debu Bahuwirya hilang sekejap. Meninggalkan Ki Uyut terpaku dari posisinya dengan pandangan mata kosong. Sial, dalam hati berbicara. Kejadian pagi dini hari bukanlah kemauannya, Ia sendiri juga bingung pada pilihan harus dijalani, ada beberapa perkara yang justru tidak gampang diucapkan. Ini bukan persoalan karma buruk atas dirinya sendiri, tapi akan hal lain menyangkut nyawa seseorang. Sekiranya walau Ia telah menjadi pendosa, satu kali saja dalam seumur hidup amat ingin menyelamatkan satu jiwa yang terikat dari takdir membelenggu. 

Meski sangat jauh dari kata penebusan, Ia berharap kesempatan terakhir yang diberikan Sang Hyang Widhi bisa membawa berkah. Yakni berbuat baik meski dengan jalan hidup kelewat hampa.

-

Di hari-hari selanjutnya kejadian itu masih saja terbayang, persoalan yang amat ingin Gandes ketahui semakin membebani diri untuk terus berpikir. Ketika dirinya tertangkap basah oleh Ki Uyut menguping pembicaraannya secara monolog, tak lagi orang tua itu marah atau bahkan angkat bicara. Pula Gandes tak berani menegur saat beliau memutuskan untuk kembali ke rumahnya tanpa pamit.

Sembari menggigit jari Gandes keliru akan pemikirannya sendiri, kalau sudah begini apakah sebuah tanda bahwa Ki Uyut tidak mempermasalahkan dirinya dengan Prada? Tetapi perkataan Ki Uyut macam orang tak waras kala itu tak seperti demikian.

"Hei dungu! Kemari! Aku ingin bicara denganmu," 

Dari teras rumah, teriakan Anggini cukup mengusik ketenangan Gandes yang terpekur dalam lamunan. Namun tanpa membantah atau sekedar mendumal, segera langkah kaki memasuki rumah. Kali ini Ia bisa menebak apa yang ingin dibicarakan kakaknya itu, apalagi kalau bukan mengenai Prada yang sudah beberapa waktu ini Gandes tak berkunjung.

Dengan pakaian jarik cokelat terang, Gandes patuh bertimpuh. Duduk pada posisi kedua kaki terlipat ke belakang serta kedua tangan diletakkan di atas paha, sesekali mata menatap Anggini duduk di kursi tengah memainkan ujung rambut terkepang rapi.

Dalam satu tarikan napas, Ia menghela panjang. Mau bagaimana pun Anggini adalah kakaknya, adalah orang dengan umur lebih tua darinya. Sekali pun sikap atau perilaku cukup Ia akui kurang patut dicontoh, tetap hati berkata harus menghormatinya. 

Cinta Terjalin SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang