Tepat dua hari lalu, baru saja Ki Uyut menyelesaikan pekerjaannya. Yakni membersihkan beras dari gabah yang siap dijual dalam kurun waktu satu purnama nanti oleh sang majikan. Majikannya tak lain Tuan Arsa, sang pemilik sawah yang mempercayai Ki Uyut menjaga lahannya dengan luas seperempat hektar. Lahan sawah tersebut tidak jauh letaknya dari rumah, sehingga tidak terlalu memakan waktu ketika sudah jadwalnya Ia datang untuk mengurus dan membenahi lahan padi.
Sudah lima tahun lahan sawah itu dititipkan, hafal betul pula bagaimana cara menjaga dan melindungi sawah dari hama. Ilmu pengetahuan yang pernah digunakannya saat muda, tentu tidak akan mudah terlupa begitu saja. Bahkan di detik-detik umur telah menua, amat bersyukur Ia dapat memenuhi kebutuhan hidup dari keahlian bidangnya selain menjual potongan-potongan kayu dengan hasil pendapatan yang justru tak seberapa.
Sekiranya ketika kematian diujung tanduk nanti, tak perlu susah payah dirinya wafat dalam keadaan lapar dan haus. Yang Ia inginkan dari matinya raga ini adalah untuk tidak terpaku pada kurangnya harapan akan sesuatu bersifat gatra.
Langit sore lagi-lagi mulai menghampiri, menemani Ki Uyut dari lelahnya tenaga telah habis tak tersisa. Tubuhnya tampak ringkih, dipaksa bangkit dari tikar yang tergelar terdapat tumpukan gabah di sana. Selah mengambil sebuah kendi, dipeluknya erat air minum yang tersisa sembari berjalan tatih mendudukkan diri di sebuah dangau.
"Sang Hyang Jagat! Terima kasih engkau telah memberikan aku kenikmatan hidup berupa air minum yang ku tenggak, meski nyatanya masih ada hal-hal yang kurang patut tidak ku syukuri."
Kemudian, angin sepoi datang bergulir pelan. Pakaian kini dikenakan tak luput dari keringat berkibar kesana-kemari, sesekali mengambil napas dalam, Ki Uyut memandang sendu warna jingga bumantara.
"Aku memang membenci tempat ini, tapi tidak dengan keindahannya. Demikian pemandangan seperti ini cukup mengingatkanku akan masa lalu,"
Diungkapnya sebuah rasa, pada alam Ia menyatakan betapa gundah dan sedihnya hati dari kenangan buruk terus terngiang dalam ingatan. Kedua bola mata tak lagi menatap langit, justru lebih asik menatap kedua kaki tanpa alas yang kotor akan tanah.
"Kau tidak pantas mengungkap kebencianmu terhadap alam, kau bahkan lebih kotor dari kotoran hewan. Alam adalah sesuatu yang suci karena Sang Hyang memberkati, tidak seharusnya dicela apalagi oleh orang sepertimu."
Seketika angin berhenti berhembus, pepohonan yang sempat melambai ria kembali diam seperti semula. Suara berat sangat dikenali cukup membuat seluruh tubuh membeku, tanpa disadari pun kedua tangan bergetar hebat.
Kendi kesayangannya jatuh, air minum tumpah hingga tak ada lagi isi barang secirit. Ki Uyut sendiri merasakan degup jantung berdebar kencang, menyadari ketakutan dirasakan yang sudah-sudah kini kembali hadir. Tentu saja tidak mungkin lekas hilang selama beberapa waktu dekat, ketakutan dan kecemasannya pada satu sosok-sedari dahulu telah mencuri perhatian juga rasa penasarannya.
"Mendengar perkataanmu kelewat lancang ini pastilah aku tidak terima. Bagaimana kalau kedatanganku sore ini memberimu sedikit pelajaran,... Kawindra?"
Detik itu pula, belum sempat Ki Uyut buka suara—lebih dahulu Bahuwirya mendorong dalam satu hentakan tangan kanan tanpa bersentuhan. Menyebabkan orang tua itu terpental dan terjerembab dalam kubangan sawah, terpaksa diri mengeluarkan cundrik kecil upaya menghindar dan melindungi diri dari serangan. Sosok pria yang tak dijumpai selama sepuluh abad ini, tanpa belas kasih menghajarnya habis-habisan. Membuatnya dirundung kehancuran seakan tertulis sudah pada guratan takdir, hidupnya terus digulir oleh karma buruk.
Dari tubuh yang dilempar belasan kali, tak lagi mampu Ki Uyut kembali bangkit. Energinya tuk hari ini sudah habis tanpa sedikit pun tersisa. Amukan Bahuwirya akan persoalan di masa silam dapat Ia rasakan, melampiaskan kepada dirinya sendiri sebagai bantalan empuk sangat tepat untuk dihantam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Terjalin Senja
FantasyBahuwirya tak pernah berharap ia jatuh cinta pada gadis lugu yang terus menatapnya dengan rasa penasaran. Bagaimana ketika gadis itu mendekatinya, bertanya padanya, serta mengajaknya berbicara pada suatu hal yang selama ini belum ia rasakan di dunia...