Dinginnya malam berhembus kencang tak mengurangi suasana tegang, sembari kedua tangan dilipat depan dada lebih banyak diam Bahuwirya tanpa mengucap sepatah kata. Bersamaan Suraya dan Gantari kini berdiri sejajar, memperpendek jarak dan mempermudah untuk ketiganya berbicara. Kehadiran dua orang di hadapan saat ini tentu tak mengherankan lagi bagi Bahuwirya, kedatangan mereka adalah tanda bahwa seseorang berasal dari dalam istana memintanya kembali masuk ke dalam kursi perebutan takhta.
Ralat, merebut kembali posisi yang seharusnya adalah miliknya.
Nyatanya sudah memakan beberapa selang waktu Bahuwirya urung angkat bicara, menjadi sebab Suraya berinisiatif. Diawali dengan dehaman keras, upaya menetralkan suara dan digaruknya telinga sesekali.
"Kau.. Aku yakin kau akan kembali ke istana, ada maksud tersendiri kau menikahi manusia itu. Kekuatan yang tersegel di tubuhnya... kau mengincarnya, benar?"
Gantari mulai berpunggung tangan, gelagatnya sedemikian rupa sebagai respon ikut menyimak akan perkataan dilontarkan. Bagai juru bicara lelaki itu mewakilinya, melenggut pelan bahwa Ia menilai Suraya cukup terampil dalam menyampaikan pesan dan pendapat.
Bahuwirya memandang fokus ke arah lain, seakan mengindahkan sang lawan bicara kini mencoba mengulur sabar. Kalau saja kehadirannya tak ditunggu-tunggu upaya permasalahan dapat segera terselesaikan, masa bodoh Suraya akan hal ini dan lebih memilih menghabiskan waktu dengan mengasuh anak Gantari.
"Lalu apa urusanmu? Kalau pun Aku mengincar kekuatannya, apakah berarti diriku harus kembali ke istana? Aku tidak berkehendak."
Kolotnya luar biasa.
"Apa alasanmu sehingga tak ingin kembali menginjakkan kaki di sana? Bukankah itu rumahmu? Tempat lahirmu? Mengapa kau lebih memilih tinggal di dunia fana ini-"
Mengepal erat tangan kiri Bahuwirya, kedua netranya lagi-lagi memandang tajam Suraya. Decapan sinis keluar dari bibir tipisnya.
"Untuk apa? Apa untungnya bagiku? Menjadi raja? Menjadi raja bersamaan para petinggi itu dan duduk sejajar denganku? Bukankah itu sangat lucu?"
Merasa tidak mengerti Suraya akan penuturan Bahuwirya sejemang, apa yang terjadi pada seorang lelaki di hadapannya sehingga bersikap seperti ini? Bukankah seharusnya seseorang sepertinya lebih condong tidak menyukai Nawasena?
"Jangan bilang... Kau menyalahkan para petinggi termasuk menteri. Bahuwi-"
"Jangan sebut namaku, brengsek. Aku hanya ingin hidupku tidak diganggu oleh siapa pun. Termasuk kalian. Pergilah."
Terbengong keduanya melihat sang pangeran kembali masuk ke dalam gua, diiringi decapan heran Gantari setelah mereka terduduk memandang bulan purnama tampak muncul benderang. Sudah ditemukan orang yang dicari selama ini, nyatanya sangat berbanding terbalik dari harapan. Pun kalau sudah begini, siapakah orang yang cukup memiliki keberanian upaya melengserkan kedudukan Nawasena? Kalau menteri dan petinggi kerajaan saja terlanjur mutlak memilihnya tanpa keraguan.
Lantas Suraya mengerut, mulutnya komat-kamit tanpa suara.
Petinggi kerajaan... Mahika...Mungkinkah...
"Gantari, mendengar ucapannya baru saja bukankah ada sesuatu yang janggal? Bisakah kau katakan secara gamblang?"
Gantari menggeleng, ditegaknya tubuh menghadap arah timur hutan.
"Tidak tahu, Aku masih belum berani menyimpulkan. Lebih baik kita segera kembali ke Mahika agar bisa mempersiapkan rencana dengan matang. Lagi pula, keberadaan pangeran sudah dahulu diketahui."
Selanjutnya, Gantari berjalan menjauhi gua. Meninggalkan Suraya dihinggapi kebingungan, terus mengerut dahi Ia memperhatikan bulan menggantung samar. Keanehan terjadi semenjak kematian Ratu Akandra, demikian Raja Atharya jatuh perlahan dari kedudukannya sebagai raja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Terjalin Senja
FantasyBahuwirya tak pernah berharap ia jatuh cinta pada gadis lugu yang terus menatapnya dengan rasa penasaran. Bagaimana ketika gadis itu mendekatinya, bertanya padanya, serta mengajaknya berbicara pada suatu hal yang selama ini belum ia rasakan di dunia...