Bab [6] Too Painful

3.6K 206 2
                                    

“Suamimu cemburu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Suamimu cemburu.”

Masayu tersenyum. Satu sisi dia sangsi dengan ucapan Arjuna, namun, satu sisi dia berharap kalau Aditya memang cemburu. Kalau Aditya cemburu, artinya perjuangannya selama ini perlahan mulai berhasil. Dia berhasil meluluhkan hati Aditya, seperti janjinya kepada mendiang sang ibu mertua.

“Anak Mami memang sangat keras kepala. Tetapi, dia pria yang baik, Masayu. Berjanjilah kepada Mami untuk menjaga Aditya setelah Mami tiada.”

Ucapan sang ibu mertua masih terdengar begitu jelas di gendang telinga Masayu. Kata-kata itu terus berputar dalam pikiran serta mengendap dalam ingatannya. Salah satu alasan Masayu tetap bertahan adalah janjinya pada sang ibu mertua. Dan Masayu adalah tipe orang yang berusaha untuk menepati janji. Terbukti, dia masih bertahan meskipun belum ada kemajuan yang pasti.

Ah, Masayu lupa. Sudah ada kemajuan. Kata Arjuna, Aditya cemburu melihat kedekatan mereka. Masayu percaya ucapan Arjuna, setidaknya untuk sekarang.

Malam ini Masayu memasakkan salah satu makanan kesukaan Aditya, yaitu, udang asam manis. Memang, ya, mulai dari kesukaan hingga hal yang dibenci Aditya dan Masayu cukup berbeda, bahkan sangat berbeda. Salah satunya adalah makanan kesukaan.

Jika Aditya menyukai makanan berbau udang, berbeda halnya dengan Masayu. Dia alergi udang dan lobster. Dulu Masayu pernah mencoba untuk ‘menaklukkan’ alerginya dengan cara makan satu ekor udang. Dan kalian tahu apa yang didapatkan oleh Masayu? Dia dirawat di rumah sakit karena kesulitan bernapas.

Sebenarnya, selama memasak pun Masayu sudah merasa agak sesak. Tetapi, apa sih yang tidak untuk orang tercinta?

Bucin detected.

Masayu tampak puas dengan masakannya, tinggal menunggu kepulangan Aditya. Dia akan terus berjuang memenangkan hati sang suami, sampai batas kesabaran yang mungkin tidak ada batasannya.

Bel rumah berbunyi lalu disusul suara tendangan pada pintu. Masayu bergegas menuju pintu utama, setelah melepas apron masaknya.

“Ck! Dasar menyusahkan! Sudah tahu tidak bisa minum wiski, malah nekat minum!”

Janu terlihat kesulitan dalam membantu Aditya yang jalannya sempoyongan. Dia terus mengomeli Aditya yang sedang tidak sadar itu.

“Mas Aditya.” Masayu membantu Janu membawa Aditya ke dalam kamar.

Ouh! Sapi satu ini benar-benar!” gerutu Janu setelah membanting tubuh Aditya ke atas ranjang empuk manusia jelmaan sapi gelondongan itu.

Bagaimana Janu tidak menyebut Aditya sapi? Tampaknya saja ringan, tetapi, sungguh! Janu kesulitan untuk menggendong Aditya. Kalau tidak ingat Aditya itu sahabat sekaligus bosnya di kantor, Janu pasti memilih abai atau menyeretnya tanpa ampun.

“Kenapa bisa seperti ini, Kak?” tanya Masayu.

Dari sudut pandang Janu, dia bisa melihat kekhawatiran dan cinta yang tulus di mata Masayu.

‘Anak ini benar-benar mencintai Aditya.’ Janu membatin lalu melirik sinis Aditya yang setengah sadar. ‘Anak bodoh ini malah menyia-nyiakannya.’

“Kak Janu?”

“Ha—oh, apa? Kau tadi bertanya apa, Ay?” Janu bertanya balik, setelah lepas dari lamunannya.

“Kenapa Mas Aditya minum sampai seperti ini? Biasanya dia tidak semabuk ini,” ujar Masayu.

“Mana aku tahu. Dari tadi pagi dia terus uring-uringan tidak jelas, macam perempuan datang bulan,” oceh Janu, “setelah makan siang, suasana hatinya semakin memburuk. Dan sepulang dari kantor, dia mengajak ke klub elite yang biasanya kami kunjungi.”

“Kak, aku boleh bertanya?”

“Silakan.”

“Kakak ... muslim, kan?”

“I—iya. Kenapa?”

“Bukankah dalam agama kita, meminum minuman beralkohol itu haram?”

Mampus! Janu terdiam, bingung hendak menjawab bagaimana. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Ah, sudahlah. Aku tahu Kakak paham maksudku.” Masayu tersenyum sembari melepas sepatu, kaos kaki, ikat pinggang dan dasi Aditya.

“Aku pulang dulu, ya, Ay. A—ada urusan. Hehe.”

“Iya, Kak.”

“Oh, ya. Besok pagi, tolong ingatkan suamimu untuk mengirim berkas kelengkapan perusahaan kepada pihak MAYA.”

“Baik, Kak.”

Janu cepat-cepat pergi dari kediaman Aditya. Selain benar karena dia ada urusan mendesak, dia pun malu dengan ucapan Masayu. Dia melakukan dosa secara sadar dan sering. Janu memilih melipir daripada semakin malu.

Setelah kepulangan Janu, Masayu masih berada di dalam kamar Aditya.

Menikah atas dasar perjodohan konyol, membuat Aditya dan Masayu memilih untuk menggunakan kamar yang berbeda. Sebenarnya, ini hanya ide Aditya yang harus dan wajib dilaksanakan oleh Masayu. Secara, kan, Masayu hanya seorang pendatang baru dalam kehidupan Aditya. Selain sadar akan posisi, apa lagi yang Masayu bisa lakukan? Tidak ada.

Mereka akan tidur satu ruangan hanya jika Lugas atau para adik berkunjung, atau juga saat keduanya menginap di kediaman Lugas.

“Mas, aku tidak akan bosan mengatakan bahwa aku sangat mencintaimu. Meskipun kau berkata aku gila harta atau apa pun sebutanmu padaku, aku masih dan tetap akan mencintaimu.”

Masayu mulai bermonolog di depan Aditya yang tengah terpejam.

“Aku tidak tahu pasti kapan aku mulai mencintaimu. Rasa ini tumbuh bukan karena janjiku pada mendiang Mami, tetapi, hatiku yang lemah dengan pesonamu, Mas.”

Masayu menunduk sejenak. Rasa sesak itu kembali muncul dan perlahan mencekik paru-parunya.

“Sebenarnya ... aku sudah mulai lelah, Mas. Lelah untuk memperjuangkanmu. Tetapi, Juna tadi bilang kalau Mas cemburu. Itu artinya perjuanganku perlahan mulai membuahkan hasil, kan, Mas?”

“Jangan berharap terlalu tinggi, dasar wanita murahan!”

Masayu terkejut melihat Aditya yang membuka matanya tiba-tiba.

“M—Mas, kau mau apa?” Masayu bangkit lantas perlahan mundur menjauhi Aditya.

Aditya bangkit dengan tubuh yang masih sempoyongan, meraih vas bunga kecil di atas nakas samping tempat tidurnya.

“Karena kehadiranmu, hidupku menjadi porak-poranda!”

Argh! Mas!”

Masayu menghindari vas bunga yang dilemparkan Aditya kepadanya. Namun, dia salah perhitungan. Harusnya dia menghindar ke sebelah kiri dan bukan kanan. Akibatnya, tulang kering kaki kanannya mengantuk sudut meja dengan cukup keras.

Masayu meringis menahan sakit. Namun, tampaknya Aditya masih belum berniat untuk menghentikan aksinya. Dia masih berusaha menyakiti Masayu.

Aditya menghampiri Masayu lalu menjambaknya dengan kasar.

“Apa kau pikir seorang Aditya Nugraha Pradipta mencintai perempuan seperti dirimu?” Aditya menghempaskan tubuh Masayu tepat di atas pecahan vas bunga yang ia lemparkan tadi. “Jangan pernah bermimpi, Nona!”

Argh!” Masayu memekik keras saat kedua telapak tangannya mendarat di atas pecahan vas bunga. Tentu pecahan vas itu melukai tangan Masayu, bahkan beberapa ada yang berhasil menancap dengan cukup dalam.

“Kau hanya perempuan kumuh yang dipungut mendiang ibuku!” sentak Aditya.

Tangan Masayu gemetar merasakan sakit luar biasa di kedua telapaknya. Darah segar menetes dari luka-luka di telapak dan pergelangan tangannya.

“Mas, sadar. Ini bukan Mas Aditya yang aku kenal.” Masayu menatap Aditya memelas. “Mas Aditya dalam pengaruh alkohol! Sadar, Mas!”

Aditya menginjak kaki kanan Masayu yang tadi mengantuk meja. “Aku cukup sadar untuk mengenali wanita gila harta seperti dirimu, Brengsek!” umpat Aditya lantas hendak menendang wajah Masayu.

“Ay, ponselku—astaga! ADITYA!”

Janu berhasil mendorong Aditya, sehingga pria itu gagal menendang wajah Masayu.

“Apa yang kau lakukan pada istrimu, Bajingan!?” sentak Janu lalu melayangkan pukulannya ke wajah Aditya.

“Dia pantas mendapatkannya, Kak!” Aditya masih berusaha menghampiri Masayu, namun, ditahan oleh Janu.

“Hei, sadar, Dit! Dia istrimu! Lihatlah! Dia terluka karena kelakuanmu! SADARLAH, BRENGSEK!” sentak Janu lagi.

“WANITA GILA HARTA MACAM DIA MEMANG PANTAS MENDAPATKANNYA, KAK!” jerit Aditya.

“Dasar tidak waras!” Janu menampar pipi Aditya dengan cukup keras. “Dia istrimu, Bodoh!”

“Dia bukan istriku! Dia hanya wanita murahan—”

“ADITYA!” jerit Janu lalu memukul wajah Aditya hingga pria itu tidak sadarkan diri.

Masayu turut menjerit ketakutan sekaligus khawatir. Dia bergegas menghampiri sang suami yang tidak sadarkan diri.

“Ya Allah, Ay. Kau terluka.” Janu prihatin melihat kondisi Masayu, “ayo, aku obati. Biarkan saja lelaki sialan itu tidur di lantai.”

“Tetapi, Kak. Dia suamiku. Tolong bantu aku menidurkan dia di atas ranjang dulu,” pinta Masayu memelas. “Aku pun ingin mengobati lukanya.”

“Apa kau buta?! Aditya tidak terluka. Justru kau yang terluka, Masayu!” sentak Janu.

Masayu diam membisu dengan wajah pucat pasi. Sorot matanya terlihat memohon dan berhasil membuat Janu berdecak sebal.

“Ck! Baiklah.”

Janu mengambil alih tempat Masayu lalu menggeret Aditya sendirian. Dengan tidak berperasaan, Janu membanting Aditya ke ranjang. Dia pun memosisikan Aditya dengan asal-asalan. Persetan dengan Aditya.

“Aku akan membereskan pecahan vasnya. Bersihkan darahmu, aku akan mengobatimu setelah membereskan kekacauan ini,” titah Juna.

“Tetapi, Kak—”

“Tidak ada bantahan, Masayu!”

Masayu menuruti perintah Janu. Namun, sebelum pergi dia berpesan agar bersikap lembut pada Aditya dan dibalas ekspresi sebal dari Janu.

***

“Maafkan adikku, ya, Ay.”

Masayu menatap Janu yang sedang membalut lukanya dengan telaten.

“Dia melukaimu terlalu dalam. Bukan hanya fisik, tetapi, batin juga,” ujar Janu lantas menatap Masayu yang juga menatapnya. “Kalau bukan karena kau cegah, mungkin aku sudah membunuhnya saat itu juga.”

Masayu terkekeh-kekeh mendengar omelan Janu. “Nanti kalau aku jadi janda bagaimana, huh?” Masayu berlagak merajuk.

“Ini bukan saatnya untuk bercanda, Ay.” Janu menatap Masayu datar. “Aku serius dengan ucapanku.”

Perlahan senyum Masayu luntur.

“Dia sedang dalam pengaruh alkohol, Kak. Kalaupun dia melakukannya dengan sengaja, mungkin ... aku memang pantas mendapatkannya,” ujar Masayu yang bercicit di akhir kalimatnya.

“Apa kau bodoh?” ketus Janu, “aku tidak paham dengan jalan pikiranmu, Masayu!”

“Kau tidak pantas mendapatkan perlakuan buruk seperti yang Aditya berikan padamu!” sentak Janu.

Bentakan Janu berpengaruh pada kewarasan Masayu. Tubuhnya menegang dengan rasa takut yang menyeruak. Masayu terbiasa dengan hinaan, bentakan dan siksaan. Tetapi, percayalah. Rasa takutnya terus membekas dalam otak, hati dan jiwa terdalam Masayu.

Bentakan Janu memulihkan memori buruk yang ingin Masayu lupakan. Bentakan, siksaan, dan hinaan yang dulu selalu ia terima dari sang bibi kembali muncul dan memenuhi gendang telinganya.

Masayu perlahan beringsut mundur menjauhi Janu dengan tubuh gemetar. Janu sadar tindakannya membentak Masayu itu salah besar. Dia mencoba meraih tubuh Masayu hendak ia peluk, namun, perempuan itu terus mundur menjauh darinya.

“Maafkan aku, Ay. Aku tidak bermaksud membentakmu. Aku hanya—”

“A—aku paham, Kak.”

“Ayo, aku bantu ke kamar—”

“Tidak usah, Kak,” tukas Masayu menolak tawaran Janu. “Lebih baik Kakak pulang.”

“Tetapi, Ay—”

“Aku tidak apa-apa, Kak. Terima kasih karena sudah mengobati lukaku.”

“Sama-sama.” Janu menatap Masayu ragu. “Kau ... benar tidak apa-apa?”

Masayu mengangguk.

“Baiklah kalau begitu aku permisi.”

”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
END || Reckless [18+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang