Bab [28] Just Want To Sleep For A While

3.6K 183 0
                                    

⚠️PERINGATAN!⚠️

⚠️ADEGAN TIDAK UNTUK DITIRU!⚠️
⚠️MOHON BIJAK DALAM MEMBACA⚠️

.
.
.
.
.
.
.

Satu minggu berlalu dan Masayu belum memiliki keberanian untuk kembali ke rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Satu minggu berlalu dan Masayu belum memiliki keberanian untuk kembali ke rumah. Dia tidak takut berada di rumah sendirian, tetapi, lebih takut bertemu dengan Aditya. Masayu takut rasa sesak itu kembali muncul dan mencekik kewarasannya lagi.

“Kau hanya perempuan kumuh yang dipungut mendiang ibuku!”

Sebulir air mata kembali menetes dari kelopak seindah purnama itu. Sorot mata kosong dengan wajah yang cukup pucat. Raga itu memiliki jiwa, namun, entah kenapa seperti kosong tak berpenghuni.

Hati Masayu itu rapuh. Mau tidak mau dia harus kuat saat dua hal paling berpengaruh dalam hidupnya kembali mendera. Seperti hujan yang turun bersamaan, trauma masa lalu Masayu kembali menyapa kewarasannya.

“Baru begitu saja sudah menangis?”

Perempuan paruh baya itu berdiri angkuh di depan Masayu yang menangis dalam diam, karena liontin pemberian mendiang sang ibunda telah hancur terinjak.

“Lagi pula kau tidak pantas mengenakan benda peninggalan keluarga Aksara. Karena apa? Karena kau hanya anak haram mendiang kakakku!”

Masayu yang waktu itu belum genap delapan tahun, harus mendengar ucapan kasar dari Melissa Dwi Aksara, sang bibi. Dia tahu kalau sebenarnya keluarga pihak ibunya tidak menyetujui pernikahan ibu dan ayahnya. Dia mengetahui semua itu dari sang paman, Erick Aryan Zareesh. Pria baik hati yang bekerja di Kalimantan itu, jarang pulang ke rumah hingga tidak tahu bagaimana sulitnya hidup kedua keponakannya di tangan sang istri.

“Ayu, Juan, kalian harus saling menjaga. Jangan saling menyakiti. Dan Juan, kakakmu itu perempuan, jaga dia sampai kapan pun, meskipun kakakmu nanti sudah menikah. Paham?”

Dua anak kecil itu mengangguk lucu, mendengar nasihat dari Erick. Dua pasang mata itu penuh binar khas kepolosan anak kecil. Erick tersenyum haru sembari mengutuk Adnan dalam hatinya. Pria sialan itu dengan teganya meninggalkan dua anak tidak berdosa ini, demi jalang tidak tahu diri yang berniat menyedot semua hartanya.

Masayu yakin bahwa ada banyak orang yang memiliki nasib lebih buruk darinya. Namun, salahkah jika Masayu menyerah sampai di sini? Hidupnya terlalu sulit sampai membuatnya lupa kapan terakhir kali dia benar-benar bahagia.

“Kakak, suatu hari Adek bakal bekerja dan mencari uang yang banyak, biar Kakak gak perlu bekerja keras lagi. Kita nanti bahagia bersama-sama, ya. Tidak perlu ada Papa. Hanya Adek sama Kakak.”

Senyum Juan masih terbayang dalam benak Masayu. Adik kecilnya tengah mewujudkan kalimat yang pernah dia ucapkan sewaktu berusia sepuluh tahun. Juan, adik kecil Masayu, kini sudah besar dan Masayu rasa, dia bisa hidup sendiri tanpa ada sosoknya.

“Bukankah menyerah adalah hal yang manusiawi?” lirih Masayu.

Masayu duduk di samping meja yang ada di dalam kamar. Dia meraih vas bunga kecil di atas meja lantas menghancurkannya.

Tok! Tok! Tok!

“Masayu-ssi. Apa kau baik-baik saja di dalam?”

Masayu diam sejenak.

Mwo hae, Hoseok-a?”

“Aku seperti mendengar sesuatu yang pecah di dalam.”

Eo? Aniji. Aku tidak mendengar apa pun. Mungkin kau salah dengar.”

“Ah, kau benar, Namjoon-a.”

“Ya sudah, ayo, kita ke ruang tamu. Seokjin Hyeong sedang mengomeli Magnae line.”

“Lagi? Oh, astaga.”

Suara percakapan berbahasa Korea itu berhenti. Langkah kaki pun terdengar menjauhi daun pintu kamar yang ditempati oleh Masayu.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Masayu meraih pecahan vas bunga yang ia rasa cukup tajam. Ya, setidaknya cukup tajam untuk dia membuat lukisan indah di lengan kirinya.

“Maaf, ya, Juan. Kakak hanya ingin tidur sebentar. Nanti, kalau Kakak ingat, Kakak akan bangun lagi.”

Begitu kalimat yang Masayu katakan. Setelahnya, dia mulai menggores benda tajam itu ke lengannya sendiri. Beberapa sayatan kecil tercipta begitu indah di sepanjang lengan kirinya.

Kalian ingin tahu rasanya?

Rasa perih dari goresan benda tajam itu hanya bertahan satu detik. Setelahnya, perasaan tenang apalagi saat melihat darah yang menetes semakin deras, membuat Masayu tersenyum puas. Kesenangan yang sesat itu membuat jiwa Masayu seolah melayang-layang di atas awan penderitaan tiada akhir.

Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hamba-Nya. Namun, Masayu hanya seorang manusia hina yang memiliki hati yang begitu rapuh. Tidak, Masayu tidak menyalahkan takdir yang telah Allah siapkan untuknya. Tetapi, dia hanya ingin tidur sebentar. Dia hanya ingin ‘melarikan diri’ sebentar dari dunia fana.

Masayu hanya ingin tidur. Itu saja.

Dengan langkah gontai, Masayu menuju kamar mandi dengan tangan kanan menggenggam pecahan vas kaca berlumuran darah, serta tangan kiri yang terus meneteskan darah segar hingga mengotori lantai sepanjang jalan menuju kamar mandi.

Masayu masuk ke dalam bathtub setelah menyalakan kran airnya. Dia membiarkan air membasahi tubuhnya, mengabaikan rasa perih yang menyerang luka-luka di lengan kirinya.

Air dalam bathtub telah berubah menjadi warna merah yang berasal dari darah Masayu. Pada sentuhan akhir aksinya, Masayu mengiris nadi yang ada pada pergelangan tangan kirinya. Kata orang, jika kita mengiris nadi yang ada di pergelangan tangan, kita bisa merasakan tidur yang nyenyak.

Darah semakin deras keluar. Air dalam bathtub benar-benar berwarna merah pekat. Pandangan Masayu semakin memburam. Dia membuang pecahan vas yang dia bawa ke sembarang arah.

Pada penghujung percobaannya untuk ‘tidur’, Masayu menyamankan posisinya. Dia mulai menenggelamkan diri pada bathtub yang sudah terisi penuh dengan air.

Yang terakhir Masayu dengar hanya suara pintu didobrak dan seseorang berteriak-teriak. Namun, Masayu tidak peduli dan memilih untuk tidur. Berjuang sendirian sejak kecil, membuat jiwa Masayu benar-benar lelah. Dia lelah dengan segalanya dan lelah dengan takdirnya sendiri.

‘Rasanya begitu nyaman untuk tidur,’ batin Masayu, ‘benar, ‘kan, Ma?’

.
.
.
.
.
.
.

“Semua orang berhak bahagia. Termasuk kalian.”

***

Bersambung....

END || Reckless [18+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang