Bab [68] Emotional Turmoil

640 60 5
                                    

Annyeong, Yeorobun
💜💜💜💜💜💜💜

Jujur aja, gue mau minta maaf kalau update cerita akhir-akhir ini lambat banget🥲💔

Gue lagi sibuk ikut seleksi PPG (Pendidikan Profesi Guru). Alhamdulillah, hasilnya sangat sesuai dengan yang gue harapkan. Gue lolos seleksi PPG dan-mungkin udah jodoh gue kali, ya, LPTK tempat gue kuliah nanti di kampus yang sama dengan tempat gue mengenyam pendidikan S1. Alias apa? Kampus gue sendiri
🤣🤣🤣

Seneng sekaligus sedih, Yeorobun🙃
Ya gimana ya🥲 Gue pengen ganti suasana, tetapi Allah kasih rejekinya di Madiun lagi, yeay🎉

Kok ambil profesi? Bukannya udah bisa jadi guru, ya?

Alasan gue ambil profesi, ya, buat upgrade diri biar jadi guru yang lebih baik lagiaamiin.

Mohon doanya buat kelancaran, baik kelancaran kuliah sama kelancaran ini cerita🙏🏻 insyaallah, bentar lagi tamat.

Oh, ya.

MISALNYA—sengaja gue capslock-ada Spin off buat Reckless, kalian pengen Spin off nya siapa?

Mohon dijawab, Yagesya💜

“Jika masa itu tiba, semua ada di tanganmu, Masayu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Jika masa itu tiba, semua ada di tanganmu, Masayu.”

Masih segar dalam ingatan Masayu soal nasihat dari Lugas. Mendengar tentang Juan bertemu dengan bajingan keparat berstatus ayah mereka, membuatnya tidak bisa untuk tidak memikirkan tentang apa yang terjadi di masa mendatang. Orang yang melukai batin Masayu dan Juan telah kembali. Keparat tidak tahu malu itu kembali sembari membawa maaf dan penyesalan—katanya.

Jangan ditanya bagaimana hancurnya perasaan Masayu, ketika melihat dan mendengar tangis Juan yang sangat menyayat hati. Adik kecil yang dia jaga sepenuh jiwa dan raga, tadi meluapkan seluruh sampah dalam hatinya. Semua yang dia pendam, tumpah begitu saja. Meledak seperti sebuah bom waktu. Melempar puing-puing kebencian mendalam kepada satu sosok, yaitu, Adnan Jauza Rahmani.

“Bajingan tua itu benar-benar menjijikkan,” gumam Masayu pelan, lantas berdecak.

Harusnya Rahmani sialan itu menjadi cinta pertama Masayu dan sosok pahlawan kebanggaan Juan. Namun, karena terlalu menuruti hawa nafsu sesaat, dia malah menjadi iblis terburuk bagi Masayu dan Juan.

Masa itu Masayu berusia tujuh tahun. Dia masih ingat betul bagaimana kondisi mendiang sang mama. Wanita yang sangat Masayu cintai menekan dada sebelah kiri, tampak kesakitan dan kesulitan mengontrol diri. Dalam hitungan detik, sang mama ambruk tepat di ambang pintu kamar. Masayu dan Juan kecil langsung berlari menghampiri sang mama. Ada tangan kecil dengan tangis nyaring, berharap sang mama lekas bangun. Juan kecil terus menangis tanpa memedulikan keadaan sekitar. Dia berteriak memanggil sang mama. Tangan kecilnya mengusap wajah Azhari yang perlahan kehilangan deru napasnya.

Sementara Masayu, ia dalam posisi duduk bersimpuh dengan mata menyorot tajam. Dia sampai melupakan bahwa sang mama dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Gadis kecil itu menatap ke arah dalam kamar, melihat dua manusia laknat yang satunya sibuk mengenakan pakaian. Kemudian yang satu lagi hanya berdiri kaku menatap ke arahnya. Dia tidak berniat mendekat untuk membantu. Manusia tidak tahu diri itu malah berdiri dengan wajah yang sedikit menggambarkan bahwa mama Masayu sedang bersandiwara.

Apakah kalian tahu siapa manusia biadab tersebut? Tentu saja Adnan Jauza Rahmani.

Adnan pikir Azhari bersandiwara untuk menarik atensinya. Oh, ayolah, seberapa terkenalnya pria berengsek itu? Kalau dibandingkan dengan selebriti haus atensi, Adnan tidak mendapat nama sedikit pun.

Soal memaafkan, jujur saja Masayu tidak mau—bahkan sangat tidak sudi. Mengingat betapa bejatnya sang ayah, membuat sakit yang berusaha dipendam oleh Masayu malah muncul ke permukaan. Rasa sakitnya masih sangat terasa, pedihnya sangat menyiksa dan penderita setiap detik masih basah dalam benak.

Tolong, siapa pun kalian, ajarkan kepada Masayu bagaimana cara untuk memaafkan Adnan. Memang, semua orang pantas mendapatkan maaf. Namun, bagi Masayu hal tersebut tidak berlaku bagi Adnan.

Masayu hanya bisa termenung dengan isi kepala yang sangat berisik. Dia tidak bisa menyembunyikan ekspresi suram di raut wajahnya. Maka dari itu, dia memilih untuk kembali ke kamar, ketimbang menghabiskan waktu bersama Aditya, Janu, Radeva, Juan dan Nathan. Masayu pikir kalau dia butuh kesunyian untuk menjinakkan gejolak rasa sakit dalam hatinya.

Amukan emosi memaksa Masayu untuk berdiam diri dalam kegelapan. Jangankan lampu balkon, lampu kamar penginapan pun tak ia nyalakan. Ia takut kalau lampu dinyalakan, orang-orang tahu bahwa api amarah tengah berusaha membakar diri Masayu.

“Anak dari bajingan sialan seperti dirimu tidak pantas untuk hidup!”

Cairan bening yang sejak tadi ditahan oleh Masayu, pada akhirnya menetes juga. Teriakan menyakitkan dari Melissa masih melekat dengan kuat dalam pikirannya. Malu, marah, sedih dan segala perasaan tidak mengenakan berbaur menjadi satu. Bukan hanya kala itu, tetapi sampai sekarang Masayu masih merasakannya.

Tidak pernah satu malam pun Masayu tidur dengan nyenyak. Mau sebanyak apa pun dia berdoa, mimpi yang merupakan representatif dari trauma masa kecilnya tersebut, akan selalu datang dan menghantui tidurnya. Di setiap malam—bahkan di setiap Masayu mulai terlelap. Dia pasti akan tenggelam dalam mimpi perwujudan rasa sakit semasa kecilnya tersebut.

Masayu memejamkan mata, membisikkan istigfar untuk diri sendiri demi ketenangannya. Lebih dalam bagi Masayu mengingat masa lalu, maka, akan lebih menyakitkan dan berakibat buruk pada kondisi kesehatannya.

“Jangan membenci Papa kalian, ya?”

Ah, sial benar. Suara itu kembali terdengar setelah sekian tahun. Kalimat terakhir dari Azhari yang Masayu dengar sebelum kematian menjemput sang mama. Walaupun waktu itu Masayu sibuk menelepon ambulans, dia masih mendengar dengan jelas kalimat lirih sang mama. Setelah selesai menelepon ambulans, Masayu kecil mengalihkan atensi pada sosok bajingan yang sama sekali tidak pantas disebut sebagai seorang ayah.

Satu hal yang Masayu benci dari dirinya, yaitu, mengalir darah seorang Adnan Jauza Rahmani. Kebencian telah mendarah daging dalam diri Masayu. Tidak ada toleransi bagi para pengkhianat. Namun, zaman sekarang banyak pengkhianat yang memegang mandat. Bukankah manusia begitu lucu? Oh, tentu saja, karena manusia adalah komedi sesungguhnya.

“Bukankah langit malam ini sangat indah?”

Jelas saja Masayu tersentak karena dia benar-benar tidak menyadari kehadiran Aditya di sampingnya. Masayu lekas membuka mata dan melihat presensi Aditya yang duduk manis, sembari menatap ke arah langit malam yang begitu indah dengan jutaan bintangnya.

“Mas, bagaimana bisa—sejak kapan kau ada di sini?” Masayu melontarkan pertanyaan sembari berusaha mengontrol degup jantungnya. Beruntung dia tidak memiliki riwayat serangan jantung.

“Apa aku mengejutkanmu?” Aditya menggaruk tengkuknya. “Maaf.”

Aditya menatap sang istri. “Aku takut kau kenapa-kenapa. Maka dari itu, selang beberapa menit kau pergi, aku menyusul dan duduk diam di dalam kamar sembari mengawasimu,” ungkap Aditya.

Masayu terkejut mendengar pernyataan Aditya barusan. Entah kenapa dia terharu ketika mendengar pernyataan Aditya. Tidak, Masayu pikir dia bukan tipikal orang yang mudah bawa perasaan. Namun, tingkah Aditya kali ini berhasil mengalirkan sedikit listrik dalam jiwa terdalamnya.

Oh, Allah, jangan bilang Masayu kembali jatuh cinta kepada Aditya. Atau mungkin cinta itu belum sepenuhnya kering, melainkan tengah menunggu disiram oleh sang pujaan.

“Aku tahu kau sedang tidak baik-baik saja. Mungkin ini terlalu cepat, tetapi kau boleh membaginya denganku. Atau kalau kau merasa belum nyaman bercerita kepadaku, aku siap menunggu sampai kau siap membaginya denganku,” ujar Aditya yang masih menatap lembut sang istri.

Cahaya bulan lebih dari cukup untuk menyinari wajah cantik istrinya. Aditya yakin, kalau lampu dinyalakan, Masayu bisa melihat wajahnya yang tengah bersemu merah. Adegan seperti ini seperti cikal-bakal adegan pergulatan yang cukup panas semalam suntuk. Membayangkan saja membuat Aditya merinding seketika.

Seperti tersadar dari lamunan kotor, Aditya mencubit paha sendiri guna menyadarkan kewarasannya.

‘Aditya sialan, bisa-bisanya kau berpikir seperti itu di saat istrimu tengah gundah gulana,’ batin Aditya memaki diri sendiri.

“Mas.”

“Iya, Sayang?” sahut Aditya.

Masayu diam sejenak. Panggilan Aditya barusan kembali menggugah desiran menyenangkan dalam hatinya.

“Ada yang bisa aku bantu?” tanya Aditya dengan lembut.

Oh, Aditya ini benar-benar penggoda ulung. Masayu dibuat gugup oleh suara lembutnya. Pantas saja banyak perempuan cantik yang melamar menjadi sekretaris pribadi Aditya. Rupanya para perempuan itu berhasil terpancing pada salah satu pesona Aditya yang tidak bisa ditolak.

“Sayang?” panggil Aditya sekali lagi. “Apa panggilan ‘Sayang’ terasa aneh untukmu? Bukankah itu hal yang lumrah, apalagi kita adalah sepasang suami-istri.”

Masayu masih tidak merespons Aditya. Dia ini memang kampungan. Baru saja dipanggil ‘Sayang’, sudah membeku dan salah tingkah tidak karuan.

“Atau kau lebih suka panggilan ‘Papa-Mama’, seperti remaja tanggung zaman sekarang?” Aditya masih melanjutkan ocehannya. Selain ingin menggoda sang istri, ia pun berniat mengurangi kesedihan Masayu. Entah manjur atau tidak, yang terpenting Aditya telah berusaha.

“Berhenti menggodaku, Mas!” sungut Masayu dengan rasa panas menjalar di kedua pipinya.

“Ah, aku suka panggilan itu.” Aditya malah melanjutkan godaannya.

“Mas Aditya!”

Aditya tertawa sembari beranjak dari duduknya. Dia berdiri tepat di depan Masayu, mengulurkan tangan berniat mengajak sang istri untuk ikut berdiri juga.

Dengan wajah tertekuk kesal, Masayu meraih tangan sang suami. Kini keduanya berdiri saling berhadapan.

“Aku tidak tahu masalah apa yang menghancurkan kecerahan di wajahmu secara tiba-tiba. Mungkin aku ikut andil di dalamnya. Namun....” Aditya merentangkan tangan. “...aku ingin kau menumpahkannya kepadaku. Hitung-hitung sedikit mengurangi kesedihanmu.”

Lagi dan lagi. Masayu tidak bisa berkata-kata melihat tingkah Aditya. Malu rasanya jika dia harus memeluk Aditya. Padahal mereka sudah resmi menjadi suami-istri, bahkan sejak tiga tahun lalu. Namun, dalam urusan sentuhan fisik macam, tidak pernah terjadi.

“Kelamaan,” dengkus Aditya sembari menarik pelan Masayu ke dalam pelukannya.

Setelah tiga tahun, akhirnya Masayu benar-benar merasakan cinta Aditya. Pelukan hangat sang suami ini benar-benar membuatnya terlena. Perasaan cinta yang sejak dulu ia pupuk dan sempat layu, sepertinya mulai malam ini kembali mekar dengan daun serta bunga yang baru.

Baru beberapa menit berpelukan, Aditya dan Masayu terciduk oleh Janu yang datang sembari menyalakan lampu kamar juga balkon.

“Apa kalian mau bercinta?”

.
.
.
.
.
.
.

"Semua orang berhak bahagia. Termasuk kalian."

***

Bersambung....

END || Reckless [18+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang