CHAPTER 51

744 90 2
                                    

Di dalam mobil yang hening tidak ada percakapan yang dimulai oleh ibu dan anak itu. Suara dari radio mengisi keheningan itu dengan rintikkan air hujan yang mulai lebat di luar sana.

Sesekali Shuhua melirik Chaeyoung yang duduk di sampingnya, menatap ke luar jendela dan melamun. Tatapannya kosong sekali, beberapa kali ia menghela napasnya berat.

"Kau baik-baik saja, Chaeng? Ada yang sakit?" tanya Shuhua khawatir.

Chaeyoung menoleh menatap Shuhua dengan bibirnya yang pucat. Ia menggeleng lemah juga tersenyum tanda bahwa ia sedang baik-baik saja.

Sungguh Chaeyoung tidak ingin Shuhua terus menerus mencemaskannya. Ia tahu selama ini Shuhua begitu mencemaskannya. Pekerjaannya sering berantakan, jadwal juga harus dirombak dan ganti hanya karena dirinya. Ia hanya menyusahkan ibunya.

"Kau pucat sekali, sayang!" Shuhua menyentuh pipi Chaeyoung dengan sebelah tangannya, dingin yang ia rasakan.

"Gwaenchana, eomma. Jangan panik seperti itu," ucap Chaeyoung pelan, menepis lembut tangan Shuhua darinya.

"Andwe!" Shuhua segera mematikan pendinginan itu.

Suhu dingin lah yang menyebabkan Chaeyoung pucat. Gadis itu tidak kuat dengan dingin.

"Kenapa tidak bilang kalau dingin?!" Shuhua masih sangat panik. Tak bisa dipungkiri keadaan Chaeyoung benar-benar membuatnya sangat takut.

"Aku tidak dingin, eomma. Aku bahkan tak bisa merasakan apa-apa saat ini." Chaeyoung mengembuskan napasnya kasar, matanya memerah.

Memang seluruh tubuhnya serasa mati rasa. Ia tidak bisa merasakan apapun. Sejak tadi Chaeyoung terus meremas kedua tangannya yang kebas dan pandangannya semakin buram. Bahkan saat ini menatap Shuhua saja ia tidak bisa fokus, semua yang ada dipandangannya samar dan bayang-bayang.

"Kau membuat eomma takut, Chaeng," lirih Shuhua pelan. Ia kembali fokus dengan jalan dan mencengkram stir kemudinya kuat-kuat sebagai pelampiasannya.

Ia tidak sanggup melihat kondisi Chaeyoung yang semkain hari semakin melemah seperti ini.

Chaeyoung mengambil tangan Shuhua lalu mengenggamnya erat. Kehangatan mulai menjalar ke tubuhnya. Chaeyoung tidak berhenti tersenyum ke arah Shuhua yang sedang berkaca-kaca, senyum yang begitu tulus juga pasrah.

Ia genggam tangan ibunya dengan kuat-kuat, takut bila ini adalah terakhir kalinya ia memegang tangan Shuhua. Wanita terhebat di dalam hidupnya.

"Gomawoo-yoo, eomma."

Suara Chaeyoung terdengar sangat lembut namun bergetar. Menahan tangisannya agar tidak pecah. Ia tidak mau membebani Shuhua lagi. Chaeyoung tahu selama ini Shuhua terluka dan sedih karena keadaannya. Shuhua terkekeh pelan, airmatanya mengalir karena ia tidak sanggup menahan lagi.

Sentuhan Chaeyoung di tangannya membuat ia takut, sungguh takut. Dingin. Genggaman lemah itu membuat Shuhua merasa akan kehilangan harapan juga putri satu-satunya.

"Ck, jinjja. Terimakasih untuk apa heum?" sahut Shuhua dengan suara yang tertahan. Berusaha tersenyum.

Shuhua melirik Chaeyoung sekilas lalu kembali menatap lurus ke depan. Mengerjapkan matanya karena pandangannya kabur sebab airmata yang mengumpul dipelupuk matanya.

"Terimakasih sudah melahirkan aku dan perkenalkan indahnya dunia ini padaku, eomma."

"Mianhe... aku belum bisa membanggakanmu dan menjadi apa yang eomma mau. Selama hidup aku hanya menyusahkanmu dan menghabiskan uangmu saja, aku sungguh tidak berguna."

THANKYOU, LALISA (CHAELISA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang