SATU

4.5K 437 7
                                    

Irene meneguk air putih di hadapannya. Alunan musik saksofon yang mengalun harmonis tidak lantas membuatnya larut dalam ketenangan. Sebaliknya, ia malah duduk gelisah di kursi sambil berkali-kali menengok layar ponselnya.

"Permisi, apa sudah mau memesan, Nona?" tanya seorang pelayan laki-laki dengan ramah.

"Tunggu beberapa menit lagi, ya," jawab Irene bersama senyum masam.

"Baik, Nona."

Sudah yang kedua kalinya pelayan itu menghampiri Irene. Sebenarnya, Irene mulai merasa tidak enak. Pasalnya, ia sudah duduk di sana hampir setengah jam yang lalu, tetapi belum memesan apa-apa selain segelas air putih yang bersemayam di meja.

Irene menyambar ponselnya kesal, hendak menghubungi tunangannya yang tidak kunjung menampakkan batang hidung. Namun, belum sempat telponnya terhubung, seorang pemuda muncul menghampiri Irene.

"Suho, kamu ke mana saja? Aku sudah menunggu daritadi," gumam Irene berusaha meredam kesal.

"Kan sudah kubilang aku masih ada meeting, tapi kamu tetap mau makan bersama malam ini. Mana tempatnya jauh dari kantorku, jelas aku terlambat," keluh Suho.

Irene melemparkan tatapan tajam. Namun, ia sadar dirinya tidak akan menang dalam perdebatan ini. Diapun menarik napas dan menghembuskan pelan, kemudian memanggil salah seorang pelayan.

"Silahkan, ingin memesan apa, Tuan dan Nona?" kata pelayan tadi sembari menyerahkan buku menu.

"Khusus di malam Valentine ini, kami menyediakan beberapa menu spesial."

Suho yang sibuk membolak-balik menu di tangannya sontak melempar pandangan ke arah Irene. Irene terlihat sibuk dengan menu di tangannya seolah menghiraukan perkataan si pelayan.

Setelah keduanya memesan beberapa menu makanan, pelayan itupun berlalu. Suho kembali menatap Irene.

"Boleh aku bertanya?" Suho angkat suara.

Irene mengangguk.

"Apa kamu mengajakku makan malam karena ingin merayakan Valentine bersamaku?" tanya Suho.

Irene terdiam. Ya, ia akui memang benar ia bersikeras mengajak Suho makan malam bahkan sampai rela menunggu lama karena ingin merayakan Valentine dengannya. Tetapi, haruskah ia mengatakannya secara terang-terangan. Lagipula, sungguh suatu hal yang lumrah jika merayakan Valentine bersama tunangan. Lalu, mengapa Suho mempertanyakan hal itu.

"Oh, come on, Irene. Kita bukanlah sepasang kekasih yang saling mencintai, jadi untuk apa merayakan Valentine bersama," tukas Suho seolah bisa menebak pikiran Irene.

Tenggorokan Irene tercekat. Ucapan Suho berhasil menampar batinnya.

Hubungan mereka memang tidak seperti pasangan kekasih lainnya. Mereka bertemu, berkenalan bahkan bertunangan atas kehendak keluarga mereka. Irene tahu persis bahwa Suho sama sekali tidak memiliki perasaan terhadapnya. Namun, Suho bereaksi terlalu berlebihan malam ini.

"Kamu jangan besar kepala. Aku hanya ingin makan malam ditemani seseorang. Aku tidak suka makan sendiri," dusta Irene, berusaha terlihat baik-baik saja.

Suho mengangkat sebelah alisnya.

"Baguslah kalau memang seperti itu," sahutnya.

Irene tidak bisa menampik sesak di dadanya, tetapi ia berusaha tetap tenang. Dia memang sangat mahir dalam hal ini. Lagipula, ini bukan pertama kalinya Suho bersikap seperti ini. Sejak awal hubungan mereka, pemuda itu memang tidak pernah sekalipun bersikap manis padanya.

REACH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang