[ 44 ] • Pantas disebut hari penyesalan •

14 4 20
                                    

• Selamat Membaca<3

PART 44

Sudah berkali-kali Rubi mondar-mandir di depan kamar Gladis untuk menyuruh gadis itu keluar dari kamarnya.

Rubi pulang lebih awal, dia khawatir akan kondisi Gladis. Terlebih lagi karena insiden kemarin malam.
Ia mendapat telpon dari Gio malam itu mengenai kondisi Gladis. Rubi jelas takut dan cemas akan keadaan putrinya itu.

Sesaat sampai dirumah, Rubi melihat Gladis terbaring lemah di tempat tidurnya dengan beberapa memar di bagian tangannya juga kedua mata yang memerah, sembab.

Itulah hal yang membuatnya dari tadi bolak-balik di depan pintu kamar putrinya. Karena dari sepulang sekolah Gladis mengunci diri di dalam kamar.

“Tok tok tok!”

“Gladis, nak? Buka pintunya sayang, ini Ayah. Kamu belum makan dari siang. Buka pintunya Gladis,”

Rubi mencoba lagi, namun tak ada jawaban apapun dari Gladis.

Ia menghela napas pelan, bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi pada putrinya. Kenapa sejak kemarin ia sering mengunci diri di dalam kamar.

Tidak mau bertemu Rubi bahkan melihat wajahnya saja Gladis enggan. Rubi berpikir, apa ia membuat kesalahan lagi pada Gladis?
Sampai-sampai putrinya semakin menjauhi dirinya. Rubi capek dengan semua keadaan keluarganya. Gladis semakin tak mau mendekatinya, seolah Rubi memang bukan siapa-siapa.

Kenapa harus sesakit ini di abaikan oleh anak kandung sendiri?

“Gladis, kalau kamu punya masalah, atau sedang banyak pikiran, cerita nak sama Ayah. Ayah akan dengerin seemuuuua cerita kamu. Tolong buka pintunya ya nak, Ayah mohon sama Gladis. Jangan bikin Ayah cemas nak.” ucap Rubi berkata dengan sangat lembut, seolah suara itu berasal dari hatinya sendiri.

Dari luar Rubi malah mendengar isak tangis Gladis. Raut wajahnya semakin cemas akan kondisi putrinya di dalam.

“Gladis, kenapa kamu menangis, sayang? Tolong buka pintunya Gladis. Apa Ayah punya salah sama kamu? Kalau Ayah punya kesalahan yang nggak Ayah sadar, Ayah minta maaf, nak. Ayah belum bisa jadi orang tua yang bikin Gladis bahagia. Ayah sayaaangg banget sama Gladis, walaupun Gladis gak pernah anggep Ayah ada. Ayah mohon buka pintunya Gladis, kalau kamu mau pukul Ayah, pukul nak! Ayah siap terima hukuman dari kamu kalau memang Ayah menyakitimu. Jangan hukum Ayah seperti ini Gladis, Ayah khawatir...” lirihnya dengan lembut.

Rubi berucap itu sambil memegangi dadanya, sesak sekali rasanya.

Di dalam kamar, Gladis malah menangis kencang setelah mendengar semua ucapan Ayahnya.

Ia terus memukuli kepalanya, menjambak dan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia meringkuk di depan pintu kamar dengan keadaan yang terlihat kacau.

Gladis menyesal, Ayah.

Itu yang ingin Gladis ucapkan, tapi lidahnya kaku untuk mengucapkan kalimat itu.

Dia hanya bisa menangis sendirian di dalam kamar. Meratapi penyesalan yang seolah mengerubungi hatinya.
Hati Gladis merasa sangat sakit ketika Ayahnya berucap dengan lembut padanya. Mengapa Rubi sangat menyayangi Gladis sedangkan ia membencinya.

Penyesalan itu akhirnya datang, Gladis tak bisa mengelak pada semua rasa yang ada. Terlalu sakit untuk di rasakan, dan terlalu pahit untuk di ucapkan.

Sejujurnya Gladis menyesal, sangat menyesal. Ia tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf atas semua rasa kebencian yang selama ini ia tunjukkan pada Ayahnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 20, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TULUS : Dan Gadis KaktusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang