02. Sekelumit Amarah

42 9 4
                                    

Sepulang dari kafe buku Bait Ilmu tadi sore, aku langsung berdiam diri di rumah. Bersantai sejenak dengan Bapak dan Ibu di ruang keluarga, sekadar membahas hal-hal random yang terjadi di depan mata. Dari mulai menceritakan tentang sinetron kesayangan Ibuk yang sedang happening akhir-akhir ini. Berlanjut pada keseruan Bapak berbagi kisah perihal tingkah unik para pelanggan di toko.

"Tadi heboh banget di toko, ada pasangan muda yang ribut soal warna seragam untuk lamaran. Sampai lama banget, nggak ada yang mau mengalah. Kamu nanti jangan kayak gitu, ya!"

Aku hanya menimpali dengan tawa singkat saja. Seaneh apa pun sikapku, aku belum pernah kepikiran untuk melakukan keributan di tempat umum.

Bapak memang pemilik toko kain yang beroperasi di pasar besar di kota ini. Sudah sejak berpuluh tahun yang lalu toko itu berdiri. Dari cerita Bapak, awal mula membuka toko kain ini saat Bapak dan Ibu baru saja menikah. Jatuh bangun sudah dilalui, hingga mereka mampu bertahan pada titik ini.

"Tidak ada keberhasilan yang instan, semua butuh kerja keras dan semangat yang tinggi. Selain itu, hatinya juga harus lapang, kalau seandainya apa yang diharapkan tidak selaras dengan pencapaian. Berduka boleh. Asalkan, setelah itu, harus bangkit lagi."

Itu nasihat Bapak beberapa tahun yang lalu, yang saat ini masih menjadi acuan untukku terus berdiri ketika badai menghantam tanpa terkendali.

Menyoal urusan bisnis, jiwa pengusaha Bapak tertanam dari Simbah. Kebiasaan beliau membantu mengoperasikan beberapa toko kelontong milik Simbah, membuat Bapak sedikit demi sedikit mengerti dunia usaha. Sejak saat itu, Bapak ingin menjadi pribadi yang mandiri setelah berkeluarga. Beliau tidak ingin menggantungkan diri pada Simbah, sehingga bapak memilih untuk membuka usaha sendiri, meskipun dengan jalan yang ditempuh berbeda.

"Bu, Pak ... aku ke kamar dulu, ya. Badannya sudah terasa pegal," ucapku sambil meringis, seolah-olah merasa kesakitan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00, aku pamit masuk ke kamar duluan. Setelah itu, aku pergi ke kamar mandi kecil yang berada di sudut kamar. Selepas membersihkan diri, aku berjalan menuju ranjang, sekadar merebahkan badan untuk meredam lelah yang tak berkesudahan.

Keadaan kamar terasa lapang, karena memang furnitur di dalamnya tidak banyak. Hanya ada lemari dua pintu yang berada di sisi kanan ranjang, serta satu nakas kecil di sebelahnya. Lalu, di sebelah kiri ranjang terdapat satu meja kerja dengan rak buku yang berada tepat di atasnya. Bagian ini adalah tempat terbaikku saat sedang mengulik inspirasi.

Namun, sebenarnya bukan itu yang ingin kudeskripsikan tentang kamar ini. Seharusnya ada ‘dia’ yang menemani di sini. Berbagi cerita tentang berbagai hal menjelang tidur seperti yang kuidamkan dulu. Entah mengapa, khayalan masa silam itu tiba-tiba berkelebat dalam ingatan. Tentangnya yang berjanji menyemai mimpi bersama, tetapi ia patahkan. Harapan itu pupus. Sebab, romansa yang dirajut itu tak berjalan mulus.

“Kapan rencana mau ke rumah?”

Itulah kata tanya yang meluncur dari bibirku kala itu. ‘Ke rumah’ yang kumaksud adalah dengan ia datang menemui orangtuaku untuk meminta diriku langsung pada mereka. Salah satu upaya lelaki masa lalu itu menunjukkan keseriusan.

“Satu tahun lagi. Berarti ... selepas kamu wisuda.” 

Ucapan lelaki itu sungguh meyakinkan. Saat itu, aku begitu saja percaya. Tidak ada keraguan yang menyelimuti rasa. Sebab, kami berdua sudah saling mengenal sejak kecil, jadi aku seratus persen yakin. Kebersamaan yang lama, bahkan sejak sebelum mengenal sebuah rasa, ternyata tak mampu membuatku mengenal lebih dalam sosoknya.

Sehingga, ketika dia berkata ‘selepas wisuda’, itu memang benar adanya. Namun, ‘wisuda’ menurut versinya sungguh berbeda. Aku baru paham bahwa makna ‘wisuda’ sesungguhnya adalah ‘wis udah’, artinya selesai sudah semua perkara, termasuk perihal rasa antara aku dan dia.

Kamu jahat banget!

Sekelumit amarah itu pernah meraja, tetapi semua sia-sia. Percuma meluapkan amarah. Toh, tidak ada yang bisa diubah. Meskipun, sekuat hati digenggam, jika sudah takdirnya pergi tak mungkin ia bertahan di sisi. Oleh sebab itu, penerimaan akan garis hidup yang kali ini dijalani harus diperkuat lebih baik lagi.

Ada yang bilang, “melepaskan adalah cara terbaik untuk mencintai.”

Aku lupa siapa yang mengatakan demikian. Namun, kata-kata itu berhasil membuatku berkaca. Aku harus selalu meyakinkan diri bahwa aku sudah melakukan yang terbaik. Aku harus menghargai keputusannya. Tidak selalu terlihat benar jika aku memaksakan keadaan. Sebab, setiap orang mempunyai seninya masing-masing untuk bahagia, termasuk dirinya; yang bisa lebih baik tanpa menyertakanku dalam kisah hidupnya.

Aku ingat masa-masa patah itu berulah. Aku betah berdiam diri di kamar seharian tanpa melakukan apapun. Begitu keluar kamar, mata sembap yang terlihat. Saat itu, aku begitu tertampar oleh kata-kata Ibu.

“Kayak ndak punya Gusti Allah saja, Nduk.”

Petuah sederhana dari Ibu kuresapi. Ternyata, ada yang salah dalam diriku. Aku begitu menjatuhkan pengharapanku pada insan, bukan pada Tuhan yang membuat kepastian. Kurenungi sekali lagi, selama ini ibadahku memang keliru. Aku terbiasa menjalani ritual tanpa melibatkan hati untuk menghadirkan Tuhan dalam sebuah penghambaan. Sehingga, ketika ada harapan yang tidak sesuai ekspektasi, aku selalu menyalahkan keadaan yang menimpa diri.

Aku hebat. Aku berharga. Aku nggak boleh lemah.

Kata-kata itu terus kurapal dalam hati, agar tidak terlalu larut dalam rasa galau yang tak kunjung berhenti.

Semenjak itu, aku mulai menata kembali hidupku. Meski sebagian jalan yang kutempuh terbilang tidak benar. Aku sengaja menutup komunikasi dengan cara mematikan nomor ponselku. Jika ada yang bertanya, aku selalu beralasan bahwa kartuku rusak, padahal yang berantakan hatiku. Aku hanya ingin menyelematkan diri dari orang-orang yang menyebabkan luka hati. Jujur, aku memang pengecut. Namun, itu adalah satu-satunya cara yang ampuh untuk kembali sembuh.

Tak terasa, sudah dua jam lamanya aku berkutat pada cerita masa lalu. Aku baru teringat kejadian mencengangkan sore tadi. Sampai di rumah, aku merutuki kelincahan bibirku yang tidak terkendali.

“Mau bantu memulai?”

Bisa-bisanya aku menawarkan diri begitu pada Mas Akhdan. Sedangkan, kala sendiri seperti ini, aku masih mengingat sosok Adam yang lain.

Bodohnya aku.

Hatiku kembali tak karuan. Beragam tanya muncul satu per satu dalam pikiran. Isi kepala rasanya penuh. Sebab, kata demi kata beradu di dalamnya, seakan-akan ada peperangan sengit yang sedang berlangsung. Sungguh, ketakutan perihal cinta yang tidak berujung kembali menghantui diriku.

Bagaimana, dong? Kan, sudah telanjur bilang sama Mas Akhdan tadi, untuk memberinya satu kesempatan. Enggak mungkin kalau ucapan itu ditarik ulang, kan?

Aku berguling di kasur sembari menyelami isi hatiku. Jujur, aku takut kalau suatu hari nanti, aku menyesali keputusan serampangan yang kubuat kali ini.

________________
To be continued.

Part-nya yang ini agak sedikit. Semoga pada suka. ☺

Dear Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang