Sembari menunggu pesanan mi datang, aku mengobrol banyak hal dengan Anjani dan Naufal. Kerinduan yang sudah mengendap selama beberapa purnama ini seakan tumpah di sini, menyisakan binar bahagia yang merekah.
"Ingat, nggak? Kita bertiga dulu pernah punya ide untuk membuat usaha bareng, tapi nggak jadi sampai sekarang," seloroh Anjani di sela-sela keributan yang terjadi di ruangan ini.
"Apa masih penting? Lagi pula, kalau soal ekonomi, kalian sudah pada settle, kan?" timpalku seketika.
Dari cerita kedua sahabatku ini, aku tahu bahwa mereka berdua yang dipercaya mengelola Kalandra Tour and Travel, milik Mas Arvin. Perusahaan jasa itu sudah sangat maju. Maka dari itu, aku yakin gaji mereka berdua lebih dari Upah Minimum Kota.
Kulihat sekilas, Naufal mengucap syukur. Katanya, hasil dari kerja keras di tempat itu, bisa menambah nominal untuk modal nikah. Lain halnya dengan Anjani, gadis itu bukannya bersyukur malah mengeluh tiada henti.
"Apaan? Di sana, kami, tuh, cuma menjadi orang suruhan, Fir. Disuruh segala macam tanpa kenal waktu. Enak kalau punya usaha sendiri. Bisa cuti kapan saja semau kita, kan? Emang dasar bujang tua tak tahu diri itu. Bikin kesal saja," keluh Anjani sambil memonyongkan bibirnya.
Aku pun tertawa geli dibuatnya. Masak iya, Mas-nya sendiri dihina seperti itu. Anjani memang definisi adik yang kurang sopan.
"Siapa bujang tua tak tahu diri itu, Dek?" ujar lelaki yang tiba-tiba muncul tanpa ada kode sebelumnya. Aku kenal suara itu. Suara lembut, tapi penuh intimidasi. Yang aku tidak tahu, sejak kapan lelaki itu berada di sini?
Tepat di samping Anjani duduk, Naufal tak mampu membendung tawanya. Lelaki itu sudah menyadari keberadaan Mas Arvin sejak tadi. Ya, yang barusan datang dan membuat suasana menjadi senyap itu tak lain adalah kakak kandung Anjani sendiri.
Anjani makin salah tingkah. Ia hanya menyunggingkan cengiran polos tanpa dosa yang keluar begitu saja dari bibirnya.
"Bawa sini, Mas! Itu mi pesanan kami, kan?" ucap Anjani untuk mengalihkan pembicaraan.
Mi? Mi apa?
Otakku mendadak lemot. Apa hubungannya mi dengan Mas Arvin? Jangan bilang—?
"Kenapa bengong gitu, deh, Say. Mas Arvin memang pemilik kedai mi yang katamu bikin candu itu. Wajar, kan, jika dia yang mengantarkan langsung ke sini."
Aku sontak mendelik meningkahi kata-kata Anjani yang tidak disaring itu. Pipiku sudah memanas. Rasa malu tak dapat dibendung. Kedai mi itu memang mempunyai aura tersendiri bagiku, bagai ada morfin yang membuatku ketagihan. Akan tetapi, semua itu tidak untuk diumbar ke pemiliknya langsung, kan?
Sebenarnya, aku ingin kabur saja saat ini. Namun, itu tidak mungkin. Ini, kan, tempatku. Apa kuusir saja mereka? Ah, itu lebih tidak mungkin lagi.
"Duduk, Mas!"
Aku menyuruh Mas Arvin duduk di sofa kecil yang berada di pojokan, karena itu satu-satunya tempat duduk yang masih kosong. Mas Arvin hanya mengangguk singkat dan tersenyum tipis.
Manis.
Aduh, pikiranku makin tak terkendali kalau seperti ini.
Setelah itu, Mas Arvin beranjak ke tempat duduk yang kutunjukkan tadi. Namun, sebelum itu, lelaki itu meletakkan pesanan mi yang ia bawa tadi di atas meja.
"Saatnya makan!" celetukku dengan senyum lebar sembari membagi dua boks mi untuk Anjani dan Naufal, dan satunya lagi untukku sendiri. Sebenarnya, menjadi terlalu semangat hanyalah cara pengalihan bagiku. Aku hanya tidak ingin terlihat salah tingkah. Maka dari itu, memulai menyantap makanan, bisa saja membuat perhatian orang-orang di ruangan ini berpindah.
"Mas Arvin, nggak, ikutan makan?" tanyaku pada lelaki yang duduk di depanku ini.
Mas Manis?
Membayangkan saja aku sudah ngilu sendiri. Julukan Vina untuk owner E.A.T Mie ini memang benar. Aku mengakui bahwa kadar manis lelaki di hadapanku ini sungguh pas. Jika dipandang secara lekat, tidak akan membosankan.
Astagfirullah.
Aku segera menyadari kasalahanku. Senyuman dari Mas Manis memang magis, hingga membuat degup jantung kembang kempis. Mataku harus benar-benar diajak puasa kali ini, agar tidak seberani itu menatap sang insan yang belum menjadi hak diri.
"Enakin saja, Rara! Mas tadi sudah makan di kedai. Kalau kurang bilang saja, nanti Mas antar lagi ke sini," ucap Mas Arvin dengan nada serius yang membuatku terharu.
"Ehm!" deheman kompak dari Anjani dan Naufal yang sekonyong-konyong itu sungguh membuatku kaget.
"Jadi, Fira saja yang ditawarin, Mas? Padahal porsiku lebih banyak. Malahan, biasanya double, loh," ledek Naufal dengan melirikku sambil menahan tawa. Apa lagi Anjani, sedari tadi ia sudah terbahak-bahak tanpa bisa dicegah. Hatiku kian tidak karuan. Aku sampai tidak berani memandang Mas Arvin. Dua sahabatku ini memang dari dulu paling jago membuatku tersudut seperti ini.
"Apa, sih, Kalian?" decakku dengan sebal.
"Mari makan!" imbuhku kemudian, tak ingin makin menambah kegaduhan.
Akhirnya, kami memakan dengan hening. Anjani sudah menyerah setelah menyantap kurang dari setengah. Toleransi pedasnya memang sangat rendah. Tak ingin membuat masalah, ia menyodorkan sisanya pada Mas Arvin, meminta Mas kesayangannya itu untuk menghabiskan.
Beda dengan Anjani, Naufal tampak biasa saja melawan rasa pedas pada olahan mi yang disantap. Sedari dulu, lelaki itu memang rajanya makanan pedas. Sehingga, level pedas seperti ini masih belum ada apa-apanya baginya.
"Done," ucap Naufal dengan lantang seraya menaruh boks yang isinya sudah tandas itu. Luar biasa sekali lelaki itu.
Sepertinya, aku sudah kewalahan. Keringatku mulai bercucuran. Air mataku pun sudah menggenang. Pedasnya memang mantap. Meski, membuat tenggorokan panas, tetapi bagiku sangat nikmat. Berkali-kali aku mengibaskan tanganku karena rasanya sudah gerah. Namun, aku suka tantangan. Aku ingin menaklukkan mi super pedas ini dengan bangga. Tinggal sekitar lima suap lagi, aku yakin bisa menghabiskannya.
"Kalau sudah nggak kuat, jangan dipaksa, Ra! Nanti perutnya sakit," ujar Mas Arvin dengan lembut. Aku begitu tersentuh. Jika berurusan dengan lelaki itu, aku memang lemah. Hanya dengan perhatian kecil seperti itu saja, aku hampir lengah.
Mas Akhdan mau ditaruh di mana, Fir? bisik hatiku mengingatkan.
"Dasar modus. Sok perhatian. Giliran adiknya sendiri malah dimarahin pas nggak mau ngabisin tadi," sungut Anjani dengan nada jengkel.
Mas Arvin tidak menyangkal sama sekali. Ia hanya tertawa singkat menanggapi celotehan adiknya itu. Tentu saja, sambil tetap mengunci tatapannya padaku.
Jangan membuatku goyah, Mas! teriakku tanpa suara. Aku hanya bergumam dalam hati saja.
Apa tidak ingat dosa, sih? Di mana otak cerdasnya yang sering menjadi peringkat pertama sewaktu sekolah diniyah dulu. Bukan mahram, Mas! Halalin dulu kek, biar bisa puas menatap, teriak hatiku dengan putus asa.
Duh, bisa-bisanya aku menginginkan untuk dihalalin disaat situasinya sedang secanggung ini. Tingkah Mas Manis kali ini memang benar-benar menyiksa diri.
_______________
To be continued.Selamat membaca. 🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Sapphire (TAMAT)
RomanceShafira Kamil, seorang penulis lepas dan juga merupakan pemilik toko busana muslim ternama di kotanya, yang bernama LMode. Kariernya sebagai penulis dan pemilik usaha sukses. Namun, tidak dengan urusan cinta. Cinta yang sudah dirajut oleh Shafira...