Sang mentari bersinar begitu terik siang ini. Bulir bening di sela pori-pori perlahan menitik. Kalau seperti ini, aku menyesali keputusanku menolak dijemput oleh Mas Akhdan. Namun, semua sudah terjadi, aku harus menikmati.
Aku memang sempat berdebat panjang dengan Mas Akhdan tadi pagi. Aku memutuskan untuk pergi sendiri saja ke rumah Mbak Farah, tempat diadakannya janji temu para anggota komunitas penggemar buku.
Awalnya Mas Akhdan menolak. Namun, aku memaksa. Rasanya tidak enak harus merepotkan lelaki itu. Pasalnya, letak rumah Mbak Farah berada di tengah-tengah antara rumah Mas Akhdan dan tempat tinggalku. Demi efesiensi waktu, keputusan untuk pergi sendiri-sendiri adalah yang paling tepat. Itu, sih, menurutku.
Suasana rumah Mbak Farah sudah terbilang ramai. Ada beberapa kendaraan roda empat dan dua terparkir di depan rumah minimalis modern itu. Awalnya, aku ragu mau masuk. Setelah sekian lama tidak ikut serta, banyak orang asing di sana. Apalagi, ini, kan, khusus anggota saja yang diundang.
Duh Gusti, aku, kok, baru sadar, sih? gerutuku dalam hati.
Aku berdiam diri cukup lama di area parkir, antara mau masuk atau berbalik arah saja. Itu yang berjejal dalam pikiran. Aku sungguh bingung, sekaligus malu.
Bagaimana jika aku hanya akan menjadi pengganggu jalannya acara saja? pikirku.
"Baru sampai, Dek?"
Suara Mas Akhdan mengagetkanku. Entah darimana munculnya lelaki itu, tiba-tiba saja sudah berdiri gagah di dekat motorku.
"Iya, Mas. Aku malu banget. Takutnya, aku nanti dikira penyusup," ujarku ragu-ragu.
"Ya, enggak, dong. Kan, Mas yang ngajak. Bilang aja kalau kamu teman istimewanya Mas," timpal Mas Akhdan disertai senyuman.
Belum sempat aku memprotes, lelaki itu sudah menarik tasku. Mau tidak mau, aku mengikutinya di belakang, sembari menutupi semburat merah di pipi, akibat ulah lelaki itu.
Di depan pintu, tampak wanita cantik berbalut gamis warna nude dipadu dengan jilbab senada sedang berdiri dengan sangat anggun. Ia menyambut kami dengan ramah sambil tersenyum semringah. Bukan 'kami', lebih tepatnya sikap ramah itu ditujukan padaku. Sebab, Mas Akhdan sudah sejak tadi tiba di rumah ini.
"Asalamualaikum. Fira, ya? Kenalin, aku Farah," tukas Mbak cantik itu dengan senyum merekah.
Ya, benar. Namaku Shafira Kamil. Orang-orang biasanya memanggilku Fira, kecuali satu orang saja yang menyebutnya berbeda. Rara. Ya, 'orang itu' selalu menyapaku demikian.
"Waalaikumussalam, iya, mbak," jawabku singkat, seraya menjabat tangan Mbak Farah dan cipika-cipiki, sapaan khas perempuan.
Seusai bersapa dengan Mbak Farah, aku melihat sekeliling. Ternyata, Mas Akhdan sudah masuk duluan. Aku ditinggal sendirian. Tak ada pilihan lain, aku mengekor Mbak Farah saja. Toh, aku belum paham anggota lainnya.
Setelah perkenalan singkat dan basa-basi sejenak dengan orang-orang yang sudah berkumpul di ruangan, aku menuju ke belakang, menyusul Mbak Farah.
"Mau dibantuin apa, Mbak?" ucapku setelah kudapati wanita cantik itu sedang menyiapkan kudapan.
"Bantu bawa saja kudapan ini ke depan, Fir!"
Setelah mendengar instruksi Mbak Farah, aku segera beranjak ke depan, membawa serta beberapa piring berisi kudapan, yang sebelumnya sudah kutaruh di nampan.
"Permisi, Mas. Monggo dinikmati suguhannya!" kataku seraya mengembangkan senyuman.
"Ini, ya, Dan?" ujar salah satu teman Mas Akhdan, yang aku lupa namanya siapa.
Aku sontak terdiam. Rasanya ingin menghilang saja dari ruangan. Meski sudah berani memulai untuk lebih dekat dengan Mas Akhdan, bukan berarti harus dipublikasikan saat ini juga. Rasanya aku ingin menenggelamkan diri segera, untuk menutupi rasa malu yang sudah mengudara.
Mas Akhdan belum sempat menjawab. Dari luar rumah, terdengar suara seseorang mengucapkan salam. Nadanya begitu menggema di telinga. Meski lama tidak bersua, tetapi aku masih hapal suara itu.
Lalu, jawaban serempak dari para anggota komunitas pun menggelegar.
"Sendirian saja, nih, Pak Bos," celetuk Si Mas berkemeja navy yang duduk di dekat pintu.
Lelaki yang selalu kuhindari ini hanya membalasnya dengan senyum tipis saja. Setipis pengharapanku padanya yang harus berakhir tragis.
Eh, apa, sih, aku?
Kulirik sekilas, lelaki itu berkeliling menyalami teman-temannya yang kebanyakan lelaki itu.
Anggota inti komunitas ini, wanitanya yang aktif memang hanya satu, Mbak Farah. Katanya, yang lain sudah pada menikah. Sehingga, sudah jarang ikut serta. Apalagi, jika sudah sibuk dengan urusan domestik, bakal susah untuk pergi ke luar rumah.
Tiba pada giliranku. Aku masih membisu, tak berani melihat atau sekadar mengangkat kepalaku.
Dari derap langkah yang kudengar, lelaki itu perlahan mendekat.
"Rara?"
Sekadar mendengar sosok itu menyebut namaku, aku sudah kaku. Hatiku berdebar tak menentu.
Dia adalah Mas Arvin. Arvin Kalandra. Seseorang yang pernah kukagumi di masa lalu. Sumber inspirasi dari lahirnya puisi-puisiku. Lelaki ini memang bukan sosok yang beberapa tahun ini mematahkan hatiku, tetapi pesona yang terpancar dari mata teduhnya, masih saja berhasil melumpuhkanku.
Beberapa tahun yang lalu, aku pernah melakukan kesalahan fatal. Hanya untuk mendapatkan atensi yang lebih dari lelaki ini, aku rela membenamkan rasa malu.
Terkadang, aku sengaja mengirim pesan, pura-pura menanyakan tugas sekolah. Padahal, aku hanya ingin berkomunikasi lebih lama dengannya.
Kalau tidak, aku akan datang ke rumahnya untuk belajar bareng sang adik. Padahal, rasa ingin bertemu dengannya saja yang membuatku gigih berkutat pada buku-buku.
Kebetulan adik kandungnya, yang tak lain adalah Anjani Kalandra, adalah sahabatku. Dialah wanita itu. Wanita yang sama yang terlibat dalam kerumitan kisah masa laluku.
Aku menghela napas sejenak, memikirkan bagaimana caranya menyapa lelaki itu tanpa terlihat canggung.
Aku masih merekam dengan jelas, penyebab diriku enggan bertatap dengan lelaki ini lagi. Kata-katanya kala itu, berhasil membuatku mundur teratur.
"Tidak usah berusaha terlalu keras, Ra. Nanti kamu malah sakit sendiri."
Seketika, aku langsung terdiam. Hanya menunduk sembari menahan tangis yang bisa kulakukan. Saat itu, aku masih terlalu muda, yang memang belum siap menerima penolakan semacam itu.
Kini, lelaki yang tidak ingin kutemui itu tidak juga beranjak. Ia masih berdiri tegak di hadapanku. Aku sama sekali tidak berniat menatap binar mata yang kerap menjadi candu itu. Sungguh, keberanianku belum tercetak sempurna saat ini.
"Ehem!"
Deheman dari Mas Akhdan yang duduk di samping kiriku membuyarkan kecanggungan. Tatapan tajamnya begitu mengintimidasi. Ingin kutanya alasan raut wajahnya yang tiba-tiba berubah. Namun, aku urungkan. Sepertinya, bukan waktu yang tepat untuk membahasnya di sini.
Di sisi sebelah kananku, Mbak Farah menatapku penuh selidik. Aku tidak tahu jenis tatapan macam apa itu. Namun, aku berasa di ruang sidang, yang siap dikuliti.
Dari tempat dudukku, dapat kulihat dengan jelas bahwa Mas Arvin akhirnya berpindah untuk mencari posisi yang pas. Kali ini, ia duduk tepat di depanku. Sepertinya, lelaki yang tak ingin kutemui ini benar-benar ingin menguji pertahanan hatiku.
Seharusnya, dia hanya hidup dalam sebaris puisiku saja. Tidak bertemu di sini. Tidak dengan jarak sedekat ini.
________________
To be continued.Selamat membaca. 🌹
Sejauh ini gimana tanggapan tentang Dear, Shappire? 🤭
![](https://img.wattpad.com/cover/299327007-288-k61579.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Sapphire (TAMAT)
RomanceShafira Kamil, seorang penulis lepas dan juga merupakan pemilik toko busana muslim ternama di kotanya, yang bernama LMode. Kariernya sebagai penulis dan pemilik usaha sukses. Namun, tidak dengan urusan cinta. Cinta yang sudah dirajut oleh Shafira...