Setelah semalaman penuh istirahat total, pagi ini tubuhku tidak begitu lemas. Rasa pusing perlahan menyingkir. Kalau kata dokter, aku hanya kelelahan dan banyak pikiran. Maka dari itu, aku langsung drop begitu tenagaku yang tidak seberapa ini diforsir tanpa kenal waktu.
Tadi malam, Bapak dan Ibu yang berjaga di sini. Beliau berdua itu yang telaten melayaniku jika aku membutuhkan sesuatu. Aku sungguh menyayangi mereka. Tanpa pamrih, keduanya begitu baik menjaga amanah dari Allah. Padahal, aku, sebagai anak, terkadang masih kerap membuat Bapak dan Ibu menderita, sering merepotkan, dan suka merengek jika disuruh melakukan sesuatu yang tidak kusuka.
Kini, mataku sungguh berkaca-kaca, membayangkan jerih payah kedua orang tua yang sampai detik ini belum mampu kubalas segala jasanya.
"Maafkan aku, Allah," ucapku lirih, sembari menahan tangis.
Bapak dan Ibu baru saja pamit ke kantin untuk membeli sarapan sekaligus melaksanakan kewajiban salat Subuh mereka. Aku hanya terbengong sendiri menatap langit-langit kamar di sepetak ruangan yang tidak terlalu luas ini. Di sela hening ini, suara derit pintu tanda dibuka mengagetkanku.
"Masih pusing?" tanya seseorang yang tiba-tiba masuk di ruang rawat yang kutempati ini.
Sepagi ini lelaki ini sudah di sini? Apa ia tidak pulang? ucapku penuh tanya sembari memindai sekilas penampakan lelaki yang baru saja masuk di ruang rawatku ini.
Lelaki ini dengan tanpa dosa duduk di kursi yang terletak di dekat tempatku berbaring. Ah, pantas saja tadi Ibu memintaku untuk memakai bergo sebelum beranjak. Ternyata, ada orang lain yang bisa sewaktu-waktu masuk kamar.
"Sudah mendingan, Mas," jawabku dengan agak lemas. Aku sama sekali tidak berani menatap matanya. Rasa malu masih menggerogoti sukma.
Bagaimana bisa lelaki ini bersikap secuek ini setelah kejadian yang tak terduga kemarin?
"Alhamdulillah. Tadi Bapak dan Ibu pesan, kalau Rara butuh apa-apa bisa minta tolong sama Mas selagi beliau masih di luar," ujar lelaki yang berada di dekatku ini menyampaikan pesan dari kedua orangtuaku. Lelaki ini tak lain adalah Mas Arvin, satu-satunya orang yang memanggilku 'Ra' atau 'Rara', diambil dari suku kata terakhir Shafira.
"Biar beda saja, Ra," kata Mas Arvin waktu itu. Entah apa motifnya memanggil dengan nama yang berbeda.
Yang aku heran sekarang, bagaimana mungkin Bapak dan Ibu begitu saja percaya meninggalkan anaknya berdua saja dengan Mas Arvin. Padahal, ketika aku sedang berbincang berdua dengan Mas Akhdan di ruang tamu, Bapak dan Ibu selalu sigap menjadi satpam. Meski tidak berada di dekat kami, tetapi dua orang itu biasanya mengawasi secara tidak langsung dari ruang keluarga, yang gerak-geriknya masih bisa terbaca dengan jelas dari sudut kecil di ruang tamu.
"Mas minta maaf soal kemarin, pasti Anggi sudah cerita secara detail, kan? Mas benar-benar nggak punya pilihan lain," ucap Mas Arvin menyuarakan kata maaf dengan tulus.
"Harus banget dibahas sekarang, ya, Mas?" jawabku kesal. Pikiranku seketika melayang. Aku sungguh malu mereka ulang cerita dari Mbak Anggi tadi malam.
"Terus, maunya kapan? La wong, sekarang saja suasananya sudah canggung, kan? Jadinya, kepalang tanggung kalau nggak dibahas sekalian," kata Mas Arvin malah semakin memperjelas keadaan. Padahal, aku sudah berusaha untuk bersikap biasa saja. Namun, jika diperjelas begini, aku tidak bisa berbuat banyak selain menghadapi orang yang ingin kuhindari ini dengan baik.
"Dimaafkan. Jangan diulangi lagi, ya! Kasian tangannya Mas juga, nanti bisa ternoda. Hati saja cuma boleh untuk pasangan sahnya, kan? Apalagi tangannya dan anggota tubuh lainnya. Pasti itu sudah mati-matian dijaga, malah gagal gara-gara menolongku," timpalku sembari mengingatkan kata-katanya tempo hari sewaktu di pantai.
![](https://img.wattpad.com/cover/299327007-288-k61579.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Sapphire (TAMAT)
RomanceShafira Kamil, seorang penulis lepas dan juga merupakan pemilik toko busana muslim ternama di kotanya, yang bernama LMode. Kariernya sebagai penulis dan pemilik usaha sukses. Namun, tidak dengan urusan cinta. Cinta yang sudah dirajut oleh Shafira...