22. Kata Maaf

20 8 2
                                    

Ketika rasa percaya itu sudah terkikis, tak akan ada lagi sebaris cinta yang terlukis. Kata maaf mungkin masih bisa meluncur bebas, sekadar untuk menebus salahnya atau untuk memperbaiki jalan ceritanya. Namun, untuk kembali melanggengkan rasa, menurutku, itu sangat tidak masuk akal. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, agar diri tidak keliru mengambil keputusan.

"Maafin Mas, Dek. Sungguh, Mas tidak niat berbohong waktu itu. Hanya saja, waktunya tidak tepat. Keadaannya sangat mendesak. Farah meminta tolong dan Mas nggak bisa menolak. Mas akui, sikap Mas yang seperti itu menyakiti kamu. Namun, Mas minta dengan sangat, beri Mas kesempatan untuk memperbaiki semuanya, ya, Dek?" pinta Mas Akhdan dengan memelas.

Ada rasa tidak tega memenuhi kepala. Namun, aku harus tegas jika tidak ingin luka yang sama kembali menoreh sukma.

Aku masih terdiam. Mas Akhdan memang minta maaf dengan tulus. Akan tetapi, setiap kali nama 'Farah' disebut di antara obrolan kami, hatiku rasanya nyeri. Segumpal daging merah di dalam tubuhku terasa ditusuk duri. Ada salah satu sisi hati yang tidak rela, tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Pikiranku semakin bercabang. Rasa ragu kembali membayang.

"Haruskah kesempatan itu kuberikan?" gumamku lirih, hampir tanpa suara.

Saat ini, aku dan Mas Akhdan sedang berada di tempat makan yang ada saung-saung kecil di dalamnya. Sehingga, masih terbilang terjaga kalau pembicaraan antara kami berdua mulai mengarah ke ranah privasi. Meskipun, di dalam saung ini kami duduk berdua, orang-orang banyak yang hilir-mudik di sekitar, jadi masih aman kalau sekadar untuk menjauhkan diri dari fitnah yang tidak berdasar.

Selepas pulang dari pusat perbelanjaan tadi, Mbak Anggi menyuruhku pulang duluan dengan Mas Akhdan. Wanita itu masih ada keperluan yang harus dituntaskan. Tanpa banyak protes, aku pun menuruti saran Mbak Anggi.

"Kamu pulang duluan, ya, Fir! Mbak masih ada perlu di sekitar sini. Kamu tenang saja! Mbak nanti ada yang jemput, kok," ucap Mbak Anggi sewaktu pamit tadi, meninggalkanku dan Mas Akhdan dengan langkah tergesa.

Kalau dalam keadaan normal, aku pasti akan menggoda Mbak Anggi habis-habisan. Namun, hari ini pengecualian. Aku berasa tidak memiliki kekuatan.

Di sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil yang dikemudikan oleh Mas Akhdan begitu senyap. Antara kami berdua, tidak ada yang mulai bercakap. Rasa enggan berucap seketika menyusup di sela-sela keheningan.

Dalam nuansa hening itu, Mas Akhdan tiba-tiba mengajakku menepi sejenak di rumah makan ini. Mungkin saja, untuk menuntaskan persoalan yang alurnya masih menggantung hingga saat ini.

"Untuk permohonan maaf, aku sudah memaafkan itu jauh-jauh hari. Mas tidak sepenuhnya salah. Hanya saja, komunikasi antara kita yang butuh diubah."

Kalimat itu yang akhirnya keluar dari bibirku, sebagai respons terhadap kata maaf yang diutarakan oleh Mas Akhdan tadi.

"Namun, dari hasil perenunganku, sepertinya aku ragu untuk melanjutkan cerita kita, Mas," ungkapku dengan serius.

Aku bermaksud menyuarakan isi hatiku dengan jujur. Aku tidak ingin ada yang ditutup-tutupi. Sebab, aku takut kalau pada akhirnya sesuatu yang ditutup rapat itu akan meluap. Akibatnya, akan terjadi ledakan yang lebih dahsyat.

Di depanku, Mas Akhdan tampak pias. Ada gelisah yang ia coba sampaikan lewat tatap mata dan bahasa tubuhnya. Sepertinya, lalaki di depanku ini ingin menyanggah. Namun, ia urungkan. Alhasil, lelaki ini memilih bungkam. Sejauh yang kulihat, Mas Akhdan masih pasrah.

Kesalahan yang dilakukan oleh Mas Akhdan mungkin memang tidak fatal, masih bisa diperbaiki dengan benar. Namun, berawal dari kesalahan kecil semacam itu yang makin menumpuk, akan berakibat pada suatu hubungan yang kian memburuk.

"Setelah memikirkan tentang hal ini berhari-hari, aku sempat menebak kalau Mas Akhdan dekat denganku hanya karena rasa penasaran itu sudah mulai bersarang. Aku menganggap kalau Mas Akhdan sedang memanfaatkan momen kemenangan karena telah berhasil menaklukkan seorang wanita yang sudah bertahun-tahun Mas coba gapai ini. Apa aku salah?" jelasku seketika. Mas Akhdan tampak terkejut dengan ucapanku. Lantas ia membantah tudinganku.

"Asumsimu nggak tepat, Dek. Mas sepenuhnya sadar dengan keputusan memilihmu. Tidak ada maksud apa pun. Kalau Mas memang berniat menjalin ikatan dengan wanita lain, tidak begini caranya, Dek. Sampai detik ini, perasaan Mas masih berfungsi dengan baik. Maka dari itu, Mas tidak mungkin melukaimu, kalau itu dilakukan dengan sengaja. Sungguh," sahut Mas Akhdan meyakinkanku.

Aku sendiri masih bergeming di tempat dudukku, dengan tatapan kosong yang penuh arti. Pikiranku kembali berulah. Rasanya memang tak mudah untuk kembali mengukir percaya pada lelaki ini. Selama ini, aku tidak pernah melarangnya untuk menjalin pertemanan dengan siapa pun. Namun, aku tidak pernah memprediksi menyoal ketidakjujuran yang kuterima. Aku masih tidak percaya jika hal serupa dilakukan oleh lelaki sebijak Mas Akhdan.

"Sayangnya, ketidaksengajaan itu berhasil membangkitkan rasa kecewa yang begitu dalam, ya, Mas?" sindirku dengan nada santai. Mas Akhdan tertunduk lesu.

Sungguh, aku sudah malas berdebat. Kian panjang hal yang didiskusikan, malah tidak akan menemui solusi yang matang. Sebenarnya, kalau boleh jujur, rasa takut kehilangan itu masih meraja. Namun, aku bisa apa jika takdir tidak mengizinkan kami berdua berjalan dalam satu rasa.

"Sebaiknya, kita jalan masing-masing saja, ya, Mas. Kalau Allah mengizinkan, pasti aku dan Mas akan dipersatukan kembali. Tentu saja, dengan jalan yang lebih dicintai oleh Allah, tidak seperti yang kita lakukan saat ini. Selama rentang waktu itu, mari kita berdua bermunajat kepada Allah. Meminta agar kita selalu rida dengan keputusan Allah, apapun itu. Meski tidak sesuai dengan yang diharapkan sekali pun," ujarku pada Mas Akhdan seraya menahan sesak. Namun, menurutku, ini cara terbaik, agar tidak ada kesalahpahaman yang kembali mengusik.

Seketika, aku teringat petuah Bapak. Saat itu, kami berdua sedang duduk santai di ruang keluarga, sambil menikmati brownies cokelat buatan Ibu. Dari obrolan ringan, berlanjut pada percakapan yang lebih dalam.

"Kalau ada laki-laki yang serius denganmu, suruh langsung menemui Bapak saja, Nduk. Sebuah ikatan terbaik antara adam dan hawa adalah pernikahan. Kalau suatu kedekatan tanpa status yang sah dimata hukum dan agama, itu hanyalah omong kosong. Bapak lebih bangga kalau ada lelaki yang dengan berani 'nembung' pada Bapak. Dibandingkan dengan lelaki yang hanya berani mengajakmu menjalin ikatan yang tidak jelas ujungnya."

Nasihat dari Bapak begitu menusuk. Kata-katanya mungkin kalah bijak dengan motivator yang terkenal di negeri ini. Namun, kata-kata sederhana dari Bapak tersebut justru malah mengena sampai di dasar hati. Singkat, padat, dan tepat sasaran.

Kenapa baru sadar sekarang, sih? gerutuku dalam hati.

Suasana hening kian mendominasi. Baik aku ataupun Mas Akhdan tidak ada yang memulai perbincangan lagi. Kami berdua masih sibuk bergumul dengan pikiran masing-masing. Kurasa, tidak enak jika kami hanya saling diam. Aku harus segera membuka suara agar keadaan berakhir lebih tertata.

"Selain itu, Mas sepertinya harus menganalisa kembali isi hatinya. Sebenarnya rasa itu untuk siapa? Untukku, yang sudah Mas tunggu sekian lama, atau untuk Mbak Farah yang membuat Mas kesusahan menolak permintaannya?" ungkapku dengan tegas.

"Selama jeda yang belum jelas ujungnya ini, aku mohon dengan sangat, selami dulu hatinya, ya, Mas! Aku tidak ingin terluka lagi," pungkasku kemudian. Aku tidak ingin memperpanjang pembahasan. Di hadapanku, lelaki ini seolah mencerna kata-kataku barusan.

"Ini sudah keputusan final?" tanya Mas Akhdan padaku. Aku sudah tidak sanggup lagi menjawab dengan kalimat panjang lebar. Hanya anggukan singkat yang beralih peran menunjukkan jawaban.

Aku berharap keputusanku ini sudah benar. Aku tidak berminat lagi mengulang kesalahan. Menunggu jodoh, tidak harus dengan menjalin ikatan semacam ini. Aku tidak ingin salah langkah lagi.

Ada yang bilang bahwa lelaki sejati akan mengajak wanitanya menikah, bukan melalui hubungan di jalan yang tak terarah, apalagi jika tidak searah. Sebab, rasa sakit akan makin membuncah.

______________
To be continued.

Selamat membaca. 🌹

Dear Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang