25. Sekadar Mitos

24 7 0
                                    

Satu fakta baru yang kutangkap dari jeda satu bulan ini, yaitu secarik rindu yang membuat remuk urat nadiku. Adalah lelaki yang sedang menikmati gurame asam manis buatanku, sang pemilik rindu yang kutuju. Bukan rengkuhan yang kuharap untuk menggugurkan rindu padanya, hanya kode tersirat lewat mata yang sesekali saling tatap. Seperti itu saja sudah mampu mengobati gejolak rindu yang sebelumnya masih tertahan dalam perangkap. 

"Habisin, Mas! Tinggal sedikit lagi ini," tawarku pada Mas Akhdan sambil menunjuk pada sepotong daging Gurame yang masih belum disentuh. 

"Cukup, Dek. Mas sudah kenyang banget. Lagian, tadi sudah nambah juga, kan?" tolak Mas Akhdan dengan lembut. Aku pun tak ingin memaksa. Sebab, hanya sekali pandang saja, aku sudah bisa melihat kalau perut lelaki ini tampak begah, karena sedari tadi, ia menyantap semua menu dengan lahap. 

Aku pun segera menyingkirkan sebagian makanan yang masih tersisa. Sesampainya di rumah, aku akan menghangatkan makanan tersebut, karena lumayan bisa untuk makan malam. 

"Setelah ini mau apa lagi, Mas?" tanyaku pada Mas Akhdan. Semoga saja lelaki yang sedang termenung di depanku ini tidak melupakan tujuan awal datang ke tempatku ini. 

"Langsung memilih kostum untuk kita saja, ya, Dek? Soalnya, nanti selepas asar ada jadwal ngajar. Jadinya, nggak bisa lama-lama di sini. Tidak apa-apa, kan?" ujar Mas Akhdan penuh maaf. Aku pun langsung mengangguk tanda setuju. Meski sedikit kecewa, aku tidak bisa menahan Mas Akhdan untuk bersamaku lebih lama lagi. Toh, aku tidak mempunyai hak apa-apa terhadapnya. 

Sebenarnya, ada yang masih membuatku bingung. Kata 'kita' yang terucap dari Mas Akhdan tadi seperti terselip harapan besar untuk kelanjutan ikatan yang hampir kandas. Namun, aku tidak ingin banyak berharap. Takut dikecewakan lagi. Takut ditinggalkan lagi. 

"Ya, sudah. Turun sekarang saja kalau begitu, Mas! Eh, bukan. Tunggu di sini sebentar, ya, Mas. Aku tak 'laporan' dulu," ucapku pada Mas Akhdan yang langsung di-iakan oleh lelaki itu. Aku segera beranjak ke kamar. Ada kamar mandi kecil di dalam. Aku memilih salat di kamar saja dibandingkan harus turun dulu ke musala yang terletak di lantai bawah. 

Tidak sampai sepuluh menit, laporan wajibku sudah selesai. Aku mengajak Mas Akhdan turun. Lalu, meminta lelaki itu untuk memilih kostum yang pas untuknya. 

"Mau yang seperti apa, Mas?" tanyaku setelah memindai beberapa model baju couple yang dipajang di lemari. 

"Bagus-bagus semua. Mas bingung. Ada rekomendasi, Dek? Lagian, yang mau pakai bukan Mas saja, kan?" tanya Mas Akhdan padaku. Jujur, aku juga tidak paham urusan beginian.

"Modelnya yang sederhana saja biar nggak saingan sama yang punya acara, ya, Mas. Gimana kalau batik saja? " ungkapku masih dengan nada bingung. 

"Batik juga boleh, tuh, Dek. Biar bisa dipakai untuk kerja juga," sahut Mas Akhdan dengan tawa yang juga menular padaku. Ada-ada saja, sih, Calon Suami. 

Eh. Calon suami? 

"Kelewat halu kamu, Fir!" tegasku dalam hati. 

"Mbak Anggi, minta tolong pilihin baju couple, dong! Aku bingung," ucapku sambil mempersembahkan senyum memelas. 

Mbak Anggi lantas berdecak. Meskipun kesal, ia tetap meladeniku. Mas Akhdan hanya senyum-senyum saja melihat pemandangan yang sudah lazim terjadi antara aku dan Mbak Anggi. 

"Sudah baikan, nih?" ledek Mbak Anggi seraya melirik ke arahku dan Mas Akhdan. 

"Siapa yang musuhan, sih, Mbak?" sungutku kemudian. Menanggapi Mbak Anggi memang sungguh memuakkan. Bisa-bisa ucapan tanpa filter keluar dari bibir mungil wanita itu. 

Dear Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang