36. Surat Undangan

26 6 2
                                    

Dua tahun kemudian.

Mbak Anggi: Ra, ada undangan, nih. Dari Farah. Kira-kira sudah jatahnya pulang belum pas hari H nanti?

Suasana kamar kos yang kutempati tiba-tiba saja panas ketika sebuah pesan dari Mbak Anggi memadati deretan notifikasi. Aku menghela napas panjang, tak ingin membuka lampiran pesan karena rasa takutku sungguh di luar nalar.

Bagaimana ini?

Meski kisahku dengan Mas Akhdan sudah berakhir cukup lama, aku tetap saja tak sanggup jika menyaksikan lelaki itu menikah dengan orang lain, terutama Mbak Farah. Seolah-olah, apa yang kukhawatirkan selama ini menjadi nyata begitu kabar pernikahan Mbak Farah terpampang di depan mata. Sebab, dari sekilas yang kulihat, inisial F dan A terlihat jelas di bagian awal undangan digital tersebut. Aku menangis pilu. Akhirnya, yang kubayangkan benar-benar terjadi.

"Kok, Mas Akhdan nggak cerita dulu sama aku kalau mau memutuskan sesuatu semacam ini," lirihku di sela isak tangis.

Memangnya, kamu siapa, Fir? Sampai berani berkata seperti itu. Bukankah kamu sendiri yang meminta Mas Akhdan menjauh? Kamu nggak punya hak apa-apa kali ini, ingatku pada diri sendiri.

Sungguh, ini memang murni kesalahanku, yang terus saja menjadi pengecut tak tahu malu. Dua tahun lalu, semuanya tampak kacau, termasuk hatiku. Aku tidak bisa mengendalikan hati yang telanjur bercabang tanpa arah. Sehingga, tanpa pikir panjang, aku kembali menghindar. Dengan dalih melanjutkan pendidikan, aku bertolak ke pulau seberang, melarikan diri dari carut-marut kehidupan. Lalu, ketika semua ketakutan melenakan pikiran, aku hanya bisa menyalahkan keadaan.

Gitu aja terus kamu, Fir!

Kini, aku marah karena telah berlaku tidak cukup berani mengambil sikap. Aku kalah. Aku sangat sadar, menyesal pun tidak akan mengembalikan alur hidup yang sudah berlalu.

Bapak: Sidang tesisnya jadi minggu depan, Nduk?

Ponselku kembali berdering. Aku melihat pemberitahuan dengan mata terbuka lebar. Saking asyiknya merenungi nasib, aku sampai melupakan tujuan awalku di kamar, yaitu menyiapkan segala keperluan untuk sidang tesis yang akan berlangsung satu minggu lagi.

Aku lantas menyeka air mataku. Lalu, kubalas satu per satu pesan masuk yang sudah beberapa saat yang lalu kuabaikan.

"Semangat, Fir! Fokus sidang dulu. Oke?!" Aku memberi semangat pada diriku. Masalah pernikahan orang lain bukanlah hal penting. Suatu saat nanti, aku pasti dapat giliran, kan?

Namun, dengan siapa, Tuhan? tuturku dalam hati.

"Ah, lupakan. Perihal jodoh biar jadi urusan Allah saja," ucapku menggebu.

Bapak is calling ...

Tanpa pikir panjang, aku langsung menerima panggilan telepon dari Bapak.

"Asalamualaikum, Pak."

"Waalaikumussalam. Sehat, Fir?" tanya Bapak seketika.

Aku sontak bingung hendak menjawab apa. Soalnya, kalau dari segi fisik, aku baik-baik saja. Namun, tidak dengan hatiku. Sungguh, surat undangan dari Mbak Farah membuat hatiku gelisah tak menentu.

"Alhamdulillah, Pak," jawabku sekenanya. "Bapak dan Ibu gimana?"

"Sehat dan makin romantis. Nggak ada pengganggu, sih," sahut Bapak diselingi tawanya yang bernada mencemooh.

Aku mendengus mendengar ucapan Bapak yang seolah-olah sedang meledekku habis-habisan. Aku kesal karena rasa resah di hati kian memuncak.

Aku juga pengin kayak gitu, teriakku dalam hati.

Dear Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang