07. Nomor Asing

34 8 0
                                    

Pagi-pagi sekali, telepon pintar milikku sudah berbunyi nyaring. Kulihat sekilas, ternyata, nomor asing itu lagi. Aku makin penasaran dibuatnya. Jika itu sekadar iseng, tentu saja sang penelepon tidak akan menghubungiku lagi, setelah tadi malam tidak kuangkat meski dering itu terdengar berkali-kali. 

Tanpa pikir panjang, aku segera menekan tombol hijau bergambar gagang telepon itu. Belum sempat aku mengucapkan salam, suara dari seberang sudah heboh duluan, hingga telingaku rasanya terguncang. 

"Ya Allah, Say. Akhirnya diangkat juga. Ke mana saja, sih, selama ini? Kamu, kok, menghilang tanpa kabar. Sudah dua tahun, loh."

Kudengar helaan napasnya tak beraturan. Tanpa bertatap langsung, aku sudah paham suara itu. Lengkingan khas yang selalu kudengar ketika secara tidak sadar, aku melakukan kecerobohan. 

Dia adalah Anjani Kalandra, adiknya Mas Arvin. Ialah wanita itu, yang tidak sengaja hadir di tengah-tengah hubunganku dan orang yang enggan kusebut namanya itu. 

"Asalamualaikum."

Aku sengaja menekan kata itu untuk menyindirnya. Kudengar tawa kencangnya menggema di seberang sana. Aku bingung harus berbincang seperti apa untuk memulai percakapan dengannya. Pasalnya, setelah kejadian waktu itu, dia seperti orang asing. Padahal, jauh sebelumnya kami sangat dekat hingga tak bersekat. 

Kami berdua memang selalu bersama-sama dari sekolah dasar hingga jenjang atas. Bedanya, perguruan tinggi yang kami tempuh berbeda, ia memilih menetap di kota ini, yang kebetulan satu kampus dengan lelaki masa laluku. Sementara itu,  aku memilih melanjutkan studi ke Pulau Jawa seperti harapanku sejak dulu. 

"Eh ... iya, deng. Sampai lupa tidak 'salam' tadi, ya? Saking bahagianya aku menemukan soulmate-ku kembali."

Aku dan Anjani memang sedekat itu. Bahkan, sudah seperti saudara sendiri. Maka dari itu, tidak heran jika dia mengatakan bahwa kami adalah 'soulmate'. 

Akhirnya, percakapan via telepon pun usai. Kami berdua memutuskan untuk bertemu langsung di tempat yang sudah kami sepakati, yaitu kafe buku Bait Ilmu, milik Mas Akhdan. 

Keesokan harinya, janji temu itu tiba. Aku segera meluncur ke sana. Jalanan kali ini terbilang sepi. Tidak terlalu banyak kendaraan yang lalu-lalang di sekitar sini. Sehingga, waktu tempuh pun dapat dilalui lebih cepat dari biasanya. 

Plang Bait Ilmu sudah tampak di depan mata. Dengan hati-hati, aku segera memarkirkan motorku di bagian paling pinggir. Kalau tidak, bisa-bisa susah keluar saat kafe ini berubah padat. 

Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, aku melenggang masuk ke area kafe. Kucari keberadaan Anjani yang dia bilang sudah sampai di tempat ini. Belum sampai ketemu, mataku tertancap pada dua orang yang sedang asyik berbincang. 

Pantas saja beberapa pesanku dicuekin, ternyata lagi seru, batinku bergemuruh. 

Kedua orang itu adalah Mas Akhdan dan Mbak Farah. Mereka berdua memang bekerja di tempat yang sama, menjadi tenaga pendidik di salah satu kampus swasta di kota ini. 

Selain memiliki usaha kafe ini, Mas Akhdan adalah dosen tetap di kampus swasta tempat Anjani menimba ilmu dulu. Setahuku, Mas Akhdan dan Mbak Farah memang sedang terlibat projek bersama. Namun, aku tidak paham kalau ternyata di luar jam kerja pun, keduanya juga sangat dekat.

"Ah, mereka mungkin sedang mengerjakan penelitian bareng. Aku tidak boleh berburuk sangka," gumamku tetap dengan berpikir positif. Aku menyugesti diriku sedemikian rupa, agar keadaan hatiku tidak semakin kacau. 

Daripada berpikir macam-macam, aku segera mengalihkan pandangan. Sebelum ketahuan, aku harus segera beralih pada tujuan awalku ke tempat ini. 

Di sisi sebelah kanan, tepatnya, di kursi paling ujung, aku melihat Anjani melambaikan tangan. Dia tetap cantik seperti dulu. Tanpa menunda, aku segera meluncur ke sana. 

Setelah bersalaman dan berpelukan singkat dengan sahabatku ini, aku bertanya sedikit basa-basi untuk mengurangi kecanggungan, "Sudah dari tadi, ya, Say? Maaf kalau nunggu lama."

"Belum, kok. Aku tiba di sini baru sekitar 10 menit yang lalu," jelas Anjani padaku. 

"Kok, belum pesan?" tanyaku lagi. 

"Sekalian aja, lah. Aku tahu kamu nggak bakal telat datang. As always," timpal wanita yang duduk di hadapanku ini. 

Setelah memesan menu yang diinginkan, aku dan Anjani pun kembali berbincang. 

"Bunda nanyain kamu terus, loh, Say. Katanya, kok, lama anak perempuannya nggak pernah main ke rumah lagi. Kangen masak bareng denganmu lagi," ucap Anjani sambil berkaca. 

Aku merasa kian bersalah. Karena keegoisanku, aku jadi mengendapkan rasa kangen pada wanita yang biasa kusebut ibu kedua itu. 

Dulu, setiap aku singgah ke rumah Beliau, agenda masak bersama memang tak pernah alpa. Aku yang memang menyukai dunia memasak tentu saja antusias. Kalau Anjani? Jangan ditanya, jatah dia hanya menyantap saja. Baginya, dapur adalah musuh bebuyutannya. 

Selain itu, Bunda juga lebih sering menyanjungku daripada dia. Sebenarnya aku tidak enak hati. Namun, aku tahu maksud Bunda hanya bercanda. Beliau hanya memotivasi anak perempuannya agar bersahabat dengan bumbu-bumbu dapur. 

"Anak Bunda itu Jani apa Fira, sih?" Anjani berdecak kesal. Selalu saja seperti itu. Namun, ucapan Anjani tidaklah serius. Ia hanya pura-pura sebal. 

"Bilang sama Bunda, aku juga kangen. Nanti kalau pas senggang, aku ke rumah, ya?" ujarku merespons kata-kata Anjani tadi. 

"Beneran? Ah, senangnya," timpal Anjani dengan semangat. Dari dulu, ia tidak pernah berubah. Pembawaannya selalu rame seperti ini. Sungguh, Anjani memang tipikal orang yang pintar menghidupkan suasana. 

"Eh ... tapi Mas Arvin pas di rumah beberapa bulan ini, kamu nggak apa-apa?" tanya Anjani ragu-ragu. 

Anjani memang tahu keseluruhan ceritaku tentang kakaknya. Bahkan, tidak jarang juga ia memanggilku 'kakak ipar'. Kalau dulu, aku mungkin akan tersipu. Namun, tidak untuk sekarang. Aku tidak ingin dipenuhi dengan harapan-harapan kosong lagi. 

Tak lama kemudian, pesanan kami datang. Kami menyantapnya dengan santai sambil sesekali berbicara sekenanya tentang hal apapun. Seperti yang sering kami lakukan dulu, membahas hal-hal tidak masuk akal pun sudah membuat perut kami kaku, saking lucunya. 

"Kamu baik-baik saja, kan, Say?"

Pertanyaan spontan dari Anjani menyentak lamunanku. Jujur, aku masih belum bisa tenang setelah melihat adegan yang mengusikku tadi. Sebenarnya, aku sudah menampik berulang kali setiap hatiku ingin berprasangka tidak baik, tetapi tetap saja tidak bisa.

Bohong kalau aku bilang tidak terusik. Aku berucap dalam hati. Namun, aku tidak mungkin menyuarakan hal ini pada Anjani. Selain takut merusak momen, perihal rasa percaya, aku masih meraba. Aku benar-benar belum bisa sepenuhnya berbagi cerita dengan orang lain, setelah kejadian masa lalu yang penuh kekecewaan itu. Terutama, masa pilu itu terjadi dengan melibatkan Anjani di dalamnya, meski hal tersebut tidak didasari dengan kesengajaan. Namun, tetap saja, aku susah percaya.

Kembalikan pikiran jernihku! Aku menggerutu.

Sekuat apa pun menyangkal, pikiranku kembali menerawang pada dua insan yang sedang berbincang di bangku yang terletak di ruang bagian dalam tadi.

"Apa mungkin—?" 

Pikiranku semakin tak menentu. Aku harus segera mengenyahkannya. Kalau tidak, temu kangen dengan Anjani ini akan berakhir berantakan, karena jalan pikiranku yang sudah bercabang. 


_______________
To be continued.

Selamat membaca. 🌹

Dear, Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang