03. Kotak Rindu

33 9 0
                                    

Pagi ini, cuacanya begitu cerah. Secerah hatiku yang baru saja berperang dengan resah. Namun, aku bersyukur. Sebab, kali ini, aku tidak kalah.

Aneh, deh, aku? Seperti orang yang sedang kasmaran saja.

Aku bergumam sendiri seperti orang gila. Bagaimana tidak gila? Jika tanpa sebab yang nyata, bibir ini senyum-senyum sendiri tanpa henti.

Tadi malam, aku tidur sangat nyenyak. Seolah-olah, tidak ada beban yang sedang dipikul di pundak.

Alhamdulillah.

Aku berucap sambil tersenyum.

Sebenarnya, ada beberapa pesan yang berdatangan di ponselku semalam. Namun, tentu saja tidak kujawab. Sudah lebih dari jam 9 malam, waktunya orang-orang beristirahat.

Mas Akhdan mungkin sudah paham tabiatku, jika sudah batas waktu berkirim pesan itu, pasti hanya kuabaikan. Kemudian, aku biasanya akan membalasnya satu per satu keesokan hari selepas bangun tidur.

Tadi malam, setelah puas bernostalgia dengan bayang-bayang masa lalu, tanpa sadar, aku langsung terlelap.

"Ternyata, memulai cerita baru tidak menakutkan, ya?" selorohku pada diri sendiri.

Selama ini, kupikir terlalu susah meluruhkan sebait nama yang 'haram' kusebutkan itu. Nyatanya, tidak begitu. Baru-baru ini kusadari, aku saja yang terlalu lemah. Jika dibarengi dengan niat yang sungguh, segenap rasa itu akan mudah runtuh.

Mungkin konyol, tetapi sebaris rindu itu memang belum terlepas dengan penuh. Ada setitik rapuh yang membayang kala rasa rindu itu dengan sengaja dibunuh.

Ah, kamu. Sudah pergi saja masih sukses jadi pengganggu, batinku bergejolak.

Kali ini, kusudahi saja mengingat yang lalu. Lebih baik,  aku fokus pada rencana hidup yang baru.

Hari ini, tidak ada agenda ke luar rumah. Bapak dan Ibu sudah berangkat ke toko selepas subuh tadi. Aku ditinggal sendirian di rumah seperti orang linglung. Sebenarnya tadi diajak, tetapi aku urung. Aku paling malas kalau ketemu orang-orang dengan membawa pertanyaan yang menyudutkan.

"Kapan nikah, Mbak?"

Maunya, sih, sekarang. Akan tetapi, memutuskan menikah tidak seperti keinginan membeli cendol, tinggal pergi ke pasar, satu plastik cendol sudah berada dalam genggaman. Aku biasanya hanya menjawabnya seperti itu. Tentunya, hanya di dalam hati saja. Aku tidak berniat membuat keributan.

"Kerja di mana, Mbak? Anakku yang barusan lulus itu langsung diangkat jadi PNS, di kota besar tempat dia kuliah dulu. Ikut bimbel sana kayak anakku, Mbak!"

Pertanyaan setipe itu sungguh menyebalkan. Jika diabaikan, dianggap tidak sopan. Jika ditanggapi, rutenya akan makin panjang. Maka dari itu, lebih baik, aku menghindar. Bagiku, menyelamatkan hati jauh lebih penting.

Padahal, jelas-jelas kenyataannya, bahwa setiap orang mempunyai rencana hidup yang beragam. Deretan mimpi yang ingin diwujudkan masing-masing manusia pun tak sama. Namun, orang-orang cenderung menghakimi sesuai dengan prasangkanya saja, tidak dengan berusaha memahami dari sudut pandang yang berbeda. 

Untung saja, aku tinggal di komplek yang penghuninya tidak pernah ikut campur urusan sekitar, kalau tidak diminta pertolongan. Selain itu, setiap kali berkumpul, yang dibahas hal-hal positif saja. Mereka terlalu sibuk untuk sekadar mengurusi permasalahan hidup orang lain.

Bukan berarti warga komplek cuek, ada banyak kegiatan bermanfaat yang sering melibatkan mereka, seperti gotong royong membersihkan jalanan depan rumah setiap hari minggu, belajar bareng membuat kerajinan tangan yang sedang hits, atau mengeksplor resep nusantara, yang setelahnya bisa disantap bersama.

"Indahnya kebersamaan," ujarku bahagia.

Sungguh, agenda komplek seperti itu memang seru banget. Setiap ada perkumpulan tidak sekadar membentuk kerumunan, tetapi benar-benar menciptakan kerukunan. Sebab, tidak ada sang mulut manis di hadapan yang kemudian berubah berbisa di belakang. Semuanya tulus. Itulah sebabnya, aku betah menetap di sini.

Setelah termenung beberapa menit, kuputuskan untuk merapikan kamar.

"Mulai dari mana, ya?" bisikku pelan.

Tanpa sengaja, bola mataku bertubrukan dengan kotak usang yang belum sempat kusingkirkan. Ada sederet kenangan di dalamnya. Aku sebenarnya ragu untuk menyentuhnya. Namun, jika ingin berdamai, dimulai dari memberanikan diri untuk sekadar merengkuh kembali memori, tak mengapa, kan?

Dengan langkah gontai, kudekati kotak rindu itu. Kunamakan 'kotak rindu' karena dulu mampu menjadi sarana ampuh menuntaskan rindu, ketika tanpa sengaja kehadirannya di sisi begitu kutunggu.

Kemudian, kuelus pelan kotak berwarna cokelat tua yang sudah berdebu itu. Lalu, kubuka perlahan tutupnya. Padahal, tanpa dibuka pun, aku masih ingat dengan jelas perihal detailnya. Ada beberapa hadiah kecil dari pria masa lalu berhimpitan di sana.

Lama kupandangi isi kotak itu. Barang yang sudah kugenggam ini mungkin saja tidak berubah, tetapi pemilik jiwanya sudah berpindah. Sehingga, segera kututup kotaknya, aku tidak ingin berkubang dalam kenangan terlalu lama.

Kotak rindu ini sepertinya harus dimuseumkan.

Tekadku sudah bulat. Tidak boleh ada sedikit pun yang tersisa perihal masa lalu. Roda hidup terus berputar, tidak baik jika terlalu sering menoleh ke belakang.

Bismillah.

Setelah keadaan kamar lebih rapi, aku beranjak ke bagian belakang rumah. Di sana, ada gudang kecil yang biasanya digunakan untuk menyimpan barang-barang lama yang sudah tidak dipakai lagi.

Setibanya di gudang kecil yang kutuju, kuletakkan kotak itu di pojok sebelah kanan di bagian paling ujung, agar tidak terlalu tampak pada penglihatan. Sehingga, upaya berpaling arah yang sudah diterapkan tidak akan berakhir sia-sia.

Sehabis dari gudang, aku kembali ke kamar untuk membersihkan badan. Rasanya seluruh tubuh sudah lengket setelah beberapa jam bergelut dengan debu-debu di ruangan.

Setengah jam berselang, kegiatan mandi sudah selesai. Kuintip ponsel kesayanganku yang sedari tadi teronggok di nakas. Ada lima pesan dan dua panggilan tak terjawab. Semuanya dari Mas Akhdan. Salah satunya menanyakan agendaku besok.

Setelah kuingat-ingat, besok aku free, tidak ada agenda resmi selain menyelesaikan beberapa tulisanku di blog pribadiku.

Aku memang menyukai dunia tulis-menulis. Meski bukan penulis yang andal, aku beberapa kali ditawari untuk menulis artikel di media online. Selebihnya, aku hanya menyicil naskah cerita yang nantinya akan kuterbitkan menjadi novel melalui penerbit indie.

Dengan santai, kubalas pesan dari Mas Akhdan seadanya. Aku mengatakan yang sesungguhnya bahwa aku tidak memiliki agenda.

Tak butuh waktu lama, balasan dari lelaki itu tertera pada notifikasi.

Mas Akhdan: Alhamdulillah. Besok ada agenda rutin anak komunitas penggemar buku. Dateng, ya!

Belum sempat kubalas, pesan lain menyusul.

Mas Akhdan: Besok pagi Mas jemput. Harus.

Balasnya disertai gambar tertawa. Aku pun tak berniat membalasnya. Toh, percuma. Mau menolak pun tidak bisa. Sesungguhnya, aku pun tak berniat menolak. Berkumpul dengan komunitas ini banyak manfaatnya. Sehingga, selain bertemu dengan banyak orang, ada ilmu yang bisa diserap lebih dalam.

Apakah 'orang itu' ikut?

Sekelebat tanya seketika hinggap di kepala. Dalam hati, aku pun masih meraba. Entahlah. Siap tidak siap, aku harus berani menghadapinya.


______________
To be continued.

Selamat membaca. 🌹

Dear, Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang