34. Sesi Konsultasi

27 7 2
                                    

Seminggu berlalu setelah kejadian memalukan kala itu, yaitu tumbang yang tidak tahu tempat. Urat malu seolah tidak lagi melekat. Padahal, aku sudah membuang bayangan itu lamat-lamat. Namun, anehnya, aku selalu ingat. Begini amat mengajak hati yang mulai hampir sekarat. 

"Dorr! Melamun saja kerjaannya," teriak Mbak Anggi tepat di samping telingaku. Pendengaranku rasanya pengang. Ingin kugetok kepala Mbak Anggi kuat-kuat, tetapi sisi kesopanan dalam diriku masih merambat. Sehingga, aku hanya mendengus kesal menanggapi suara Mbak Anggi yang menggelegar barusan. 

Hari ini, aku memang memutuskan untuk pergi ke toko. Satu minggu penuh, aku hanya berdiam diri di rumah, rasa bosan itu pun seketika datang menyergap. Meskipun, setiap hari ada saja yang bertandang ke rumah. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan rasa sepi yang hinggap.

Bahkan, Mas Akhdan yang jarang sekali memiliki waktu untukku, saat itu, lelaki itu selalu menyempatkan diri mengunjungiku di sela aktivitasnya yang padat. Akan tetapi, ada yang masih kosong di sudut hatiku. Entah apa itu, aku pun tidak mengetahui alasan tepatnya. 

"Mbak Anggi, dulu sewaktu memutuskan untuk memilih pasangan, apa yang membuat Mbak yakin kalau itu adalah pilihan yang tepat?" tanyaku spontan yang membuat Mbak Anggi terdiam sejenak sembari menaruh buku catatan keuangan yang sedari tadi dipegang. 

"Kamu nggak salah tanya, Fir? Mbak Anggi saja gagal mempertahankan pernikahan. Kamu, kok, tanya tentang keyakinan hati pada Mbak?" jawab Mbak Anggi tegas. Ada luka yang masih terlihat jelas. Namun, wanita itu mencoba menutupinya dengan serius. 

"Bukan gitu maksudnya, Mbak," timpalku dengan tidak enak. Aku makin merasa bersalah karena telah membangkitkan kenangan penuh luka pada diri Mbak Anggi. Aku lantas menggeser tempat dudukku agar bisa lebih mendekat pada wanita di hadapanku ini. 

"Santai saja, sih. Masa-masa suram itu sudah berlalu. Mbak nggak ingin mengingat lukanya. Mbak hanya mau menanamkan pada diri segala hal yang memicu bahagia saja. Life must go on, kan?" kata Mbak Anggi yang langsung membuatku tenang. 

"Efek kehadiran Mas Ardi dahsyat, ya, Mbak?" tanyaku dengan nada meledek. Mbak Anggi hanya menimpali dengan dengusan kasar. 

Aku terdiam setelah jawaban yang kuharapkan tak mendapat pencerahan. Aku malah makin bimbang. Rasa yakinku kian mengambang. Padahal, kalau dipikir-pikir, aku kenal Mas Akhdan sudah bertahun-tahun lamanya. Dekat dengan lelaki itu juga sudah terbilang lama. Namun, sampai detik ini, sisi hatiku masih belum menemukan satu suara yang membuatku 'klik' untuk menerimanya. 

"Istikhoroh, Fir! Minta petunjuk sama Allah. Kalau belum juga mendapatkan kata yakin itu, coba tilik kembali niatmu. Kamu sungguh-sungguh meminta rasa yakin pada Allah, atau kamu malah mendikte-Nya untuk mewujudkan suatu takdir yang kamu harapkan. Keduanya, sepintas mungkin terlihat sama, tetapi hakikatnya berbeda," jelas Mbak Anggi padaku. Aku masih meraba makna yang keluar dari kata-kata Mbak Anggi tadi. 

"Kalau doa yang kamu kirimkan ke langit biasanya meminta semoga Allah rida pada langkah yang kamu ambil, coba kamu balik, deh! Bukan minta Allah rida, tetapi minta hatimu rida atas apa saja yang Allah kehendaki," lanjut Mbak Anggi membuka cara pandangku. 

Memang benar, selama ini aku selalu berharap bahwa Allah akan mengerti apa mau hatiku. Namun, aku tidak meyakinkan diriku untuk selalu memahami bahwa apa yang ditakdirkan untukku adalah titah terbaik-Nya, meski hal itu tidak kuharapkan sekali pun. 

Jadi, selama ini, aku selalu mendikte Allah, ya? Astaghfirullah. Maafkan aku, Gusti, seruku dalam hati.

Aku sadar bahwa doa yang tidak tepat akan membuat kadar tidak yakin itu makin meningkat. Maka dari itu, aku seharusnya segera berbenah sebelum semuanya terlambat. 

Dear, Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang