16. Cerita Hujan

22 8 0
                                    

Hujan adalah rahmat. Banyak keberkahan dan manfaat yang bisa didapat. Aku memaknainya demikian. Ketika deras hujan mengguyur semesta, inspirasi yang mengendap di kepala seketika mencuat tanpa disangka. Tetes demi tetes air yang jatuh bagai irama lagu yang sukses membangkitkan rima. Seolah diberi stimulus, pengendali pikiran menari lincah di kepala. Sehingga, konsep cerita mengalir indah tanpa jeda. 

"Kalau hujan itu rahmat, kenapa ada banjir?" celutukku sewaktu kecil dulu. Aku memang belum memahami banyak teori kehidupan dengan detail. Sehingga, pertanyaan-pertanyaan polos semacam itu kerap muncul. 

Saat itu, Bapak dengan santainya menjawab,  "Banjir itu memang musibah, tetapi itu tanda kalau Allah sayang. Biar orang-orang bisa lebih dekat denganNya. Dengan cara, perbaiki diri dan banyak mengingat Allah. Biar musibah yang menimpa itu menjadi berkah."

"Selalu ada hikmah di balik musibah."

Begitulah makna yang bisa kutangkap dari kata-kata Bapak. Kalau tidak kumat usilnya, Bapak memang bisa bersikap bijak seperti itu. Terkadang, beliau bisa menjadi motivator yang ulung juga.

Love you, Bapak. 

"Nggak ke luar hari ini?" Suara Bapak sontak mengagetkanku. Entah pikiranku di mana, sampai-sampai suara langkah Bapak yang mendekat, tidak terdengar sedikit pun oleh telinga. 

"Hujan, Pak," jawabku memandangi rinai hujan yang belum reda dari balik jendela kaca yang berada di ruang keluarga. Hujan hanyalah salah satu alasan saja. Aslinya, aku memang sedang malas beranjak.

"Tumben Bapak sama Ibu nggak ke toko. Nggak kangen sama pelanggan setianya? Biasanya sayang banget, kan, kalau meninggalkan tumpukan kain-kain itu," cibirku dengan nada bercanda. Lalu, Bapak membalasnya dengan menunjukkan tawa lebarnya seraya mengusap lembut pucuk kepalaku. 

"Sesekali menemani anak perempuan tersayang Bapak ini nggak apa-apa, to? Apa nggak mau curhat sambil nangis-nangis seperti beberapa tahun yang lalu?" ucap Bapak meledekku. 

Aku mencebik. Sepertinya, Bapak memang sengaja banget membuka luka lamaku. Bisa-bisa mood yang sudah kubangun dengan baik, rusak dalam hitungan detik. Ah, untungnya, aku sudah berada pada tahap penerimaan yang sesungguhnya saat ini. Sehingga, ledekan dari Bapak tidak membuatku terusik. 

Masa-masa bodoh itu, batinku.

Kalau mengingat kebodohan yang kulakukan di masa lalu, aku malu sendiri. Dulu, aku memang serapuh itu. Rasanya, aku sungguh menyesal sudah menjadi bodoh dengan membuang-buang air mata seperti itu, apa lagi hanya demi seorang laki-laki yang memang tidak layak untuk ditangisi. 

"Bapak, ih! Itu masa lalu. Jauh-jauh sana! Lagian, itu sudah dimuseumkan sejak dulu," ucapku dengan yakin. Bapak tertawa singkat. Namun, aura meledeknya masih tampak. 

"Seru banget kayaknya, ya? Ada apa, sih? Kok, Ibu nggak diajak," ujar Ibuk menyela pembicaraanku dan Bapak.

Aku melihat sekilas, di nampan yang Ibu bawa, ada satu piring pisang goreng yang masih hangat dan dua gelas wedang jahe yang masih terlihat uapnya. Salah satu minuman favoritku dan Bapak itu selalu tersaji ketika cuaca sedang muram seperti saat ini.

Untuk menghangatkan jiwa-jiwa yang kesepian. Eh

"Bapak, tuh, Bu ... meledek terus dari tadi. Sebel, deh," aduku pada Ibu. Bapak pura-pura tidak mendengar. Beliau malah asyik menyantap pisang goreng spesial buatan istri tercintanya itu. 

"Pisang goreng buatan Ibu selalu enak, deh. Ada resep rahasianya, ya, Bu? Oh, iya! Pasti dibumbui dengan cinta. Pantas saja, rasanya mantap. Terima kasih, Bu," kata Bapak sambil mencium pipi Ibu sekilas. Lalu, Ibu memukul lengan Bapak dengan manja. Selalu saja begitu jika terjebak di antara dua orang kesayanganku ini, disuguhi adegan romansa yang membuatku jengah.

Duh, jiwa single-ku tiba-tiba bergemuruh. 

Sikap Bapak memang terkadang absurd. Rasa pisang goreng saja bisa menjadi secuil gombalan. Sepertinya, dari aku mulai bisa mengenal rasa, rasa pisang goreng juga sama saja. Tidak ada yang berubah, kecuali diolah menjadi pisang goreng kekinian yang sedang happening akhir-akhir ini. 

"Males, ah, di sini. Ada yang pamer kemesraan di depan anak yang masih lugu kayak gini,"  sungutku sambil berlalu dan membawa dua buah pisang goreng dan wedang jahe untuk kubawa ke kamar. Bapak dan Ibu tahu bahwa sikapku ini hanya sebuah candaan semata. 

Bapak tertawa dengan puasnya karena berhasil membuatku badmood. Tingkah isengnya memang belum juga sembuh. Namun, hal semacam itulah yang sering kurindu ketika masih di tanah rantau dulu.

Sesampainya di kamar, kuletakkan wedang jahe dan pisang goreng, yang sebelumnya sudah kutaruh di piring kecil, di meja kerjaku. Aku termenung di tepi ranjang yang terletak di samping meja. Aku menatap ke luar jendela dengan lekat. Hujan masih deras-derasnya, belum ada tanda-tanda mereda. 

Lalu, perhatianku beralih pada ponsel, tidak ada pemberitahuan sama sekali. Hanya pesan singkat dari orang tidak jelas yang mengisi. Tanganku menggulir satu per satu folder di dalamnya. Seketika, mataku terpaku pada deret lagu yang berada di playlist musik pilihanku. Ada satu lagu andalan yang sering kuputar tatkala hujan. Saat itu, diri ini sedang rindu-rindunya dengan seseorang yang berada jauh dari pandangan.

Tanpa berniat membangkitkan kenangan, kutekan tanda putar. Alunan nada dari penyanyi lokal 'Senandung' mengalun dengan indah. Bait-bait lagu yang menceritakan tentang rindu membisik merdu. 

Dulu, lagu yang berjudul Hujan di Balik Jendela ini menjadi teman setia kala jarak tak mampu memantik rindu. Liriknya benar-benar mengena, terutama bagi sepasang kekasih yang melakukan hubungan jarak jauh.

"Sebatas kisah masa lalu." Aku berbisik.

Dari lagu itu tersimpan banyak drama. Salah satunya adalah tentang cerita hujan yang tidak kuharap cepat berlalu kala itu. Di dalamnya, ada makna tersirat yang turut memupuk rindu. Namun, itu dulu, sebelum
rasa rindu itu berubah pilu.

Mataku memanas kala teringat momen itu. Bagian dari perjalanan hidup yang penuh lika-liku. Saat itu, aku terlambat menyadari bahwa baris rindu yang segitu dalamnya kunikmati itu hanya milikku, tidak ada rindunya. Sungguh, hanya aku saja yang menanggung itu.

Ah, bodohnya aku.

Aku memang pernah melakukan hal memalukan semacam itu. Itulah sebabnya, saat ini, aku tidak ingin terburu-buru memutuskan sesuatu. Aku tak ingin mengulangi salah yang sama, yang pada akhirnya harus menyulam luka yang serupa.

Cerita hujan kali ini selain membuatku berada pada titik mengenang, juga membuatku berpikir kencang bahwa aku tidak boleh lengah lagi. Perihal hati, aku tidak bisa main-main. Sebab, terpeleset sedikit saja, rasa sakitnya akan tetap terasa.

Sudahlah. Lupakan! geramku pada diri, yang masih saja berkutat pada kisah masa silam. Padahal, aku sudah bertekad untuk berpindah arah sejak dulu. Nyatanya, sebuah penerimaan cerita itu belum hilang sepenuhnya dari dalam hatiku.

"Ayo fokus pada masa depan, Fir!" Aku berseru sedikit lantang.


_______________
To be continued.

Selamat membaca. 🌹

Dear, Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang