38. Acara Lamaran

20 7 2
                                    

"Sudah lama, Dek?" tanya seseorang di hadapanku.

Saat ini, aku sedang berada di kafe buku Bait Ilmu, tempat yang sudah lama sekali tidak kukunjungi.

Mendengar panggilan 'Dek' seperti itu, mengingatkanku pada saat kepulanganku. Entah atas dasar apa orang itu mengubah panggilan demikian, aku sungguh tidak paham. Yang jelas, gara-gara hal itu, keadaan bertambah canggung hingga saat ini.

"Belum, Mas. Sampai sekitar sepuluh menit yang lalu. Ini juga baru duduk di sini."

Ah, aku sampai melupakan sosok yang ada di depanku ini. Memikirkan orang itu memang selalu menyita waktu. Arvin Kalandra; seseorang yang selalu memenuhi isi kepala meski kehadirannya tanpa diminta.

Astagfirullah.

Aku lantas tersadar kalau ada orang di sini yang seharusnya tidak kuabaikan. Dialah Mas Akhdan. Seseorang yang juga menjadi bagian penting dalam perjalanan hidupku.

"Kok, belum pesan?"

Lamunanku seketika buyar ketika Mas Akhdan bertanya padaku. Aku masih saja membisu. Sebenarnya, ada ragam tanya yang bersemayam di dalam dada. Namun, bibirku kaku. Aku seakan-akan kehabisan kata-kata. Aku bingung harus mulai dari mana meluapkan isi hatiku.

Akhirnya, aku memilih untuk memendam.

"Ada menu baru, Mas?" Aku balik bertanya.

"Ada, sih, tapi Mas nggak tahu mau rekomendasiin yang mana. Takutnya, selera kamu sudah berubah, Dek." Mas Akhdan menjawab dengan santai, seolah-olah menyadarkan bahwa kami berdua memang sudah tidak sedekat dulu.

Kenyataannya memang begitu, kan, Fir! Hatiku menggerutu.

"Ya, sudah. Aku tak milih sendiri aja, Mas," sahutku dengan sedikit senyuman, sekadar untuk mengalihkan kecanggungan.

Mas Akhdan pun mengangguk. Lalu, ia mengambilkan buku menu. Sedari tadi, setiap ada pegawai yang bertanya, aku memang hanya bilang 'nanti saja, nunggu Mas Akhdan'. Makanya tidak heran kalau belum ada buku menu di mejaku ini.

Setelah mencatat semua pesanan, aku kembali kebingungan. Lama tidak berkomunikasi, membuatku kehabisan cara untuk membuka suara.

"Apa kabar?" tanya Mas Akhdan padaku. Pertanyaan yang dilontarkan secara tiba-tiba itu membuatku gelagapan. Aku mencoba berbincang dengan hatiku berulang kali. Jawabannya masih sama. Kabar fisikku memang baik, tetapi entah seperti apa kondisi hatiku. Aku sendiri tidak paham musti mendefinisikan bagaimana.

"As you see, Mas. Baik ... mungkin." Jawabanku menggantung.

Dahi Mas Akhdan tampak mengernyit, seakan-akan banyak pertanyaan bersarang di kepalanya.

"Jawabnya kayak nggak yakin gitu, ya?"

Aku hanya merespons dengan tawa yang terdengar hambar.

La terus ... kudu piye, Mas? teriakku dalam hati.

Setelah melalui perdebatan kecil yang benar-benar tidak penting, kini suasana sedikit mencair. Rasa canggung sudah berangsur menghilang dan aku agak mulai tenang.

Sembari menunggu pesanan, aku bertanya banyak hal pada Mas Akhdan; tentang keluarganya, pekerjaannya, usahanya, tetapi tidak menyoal cinta apalagi mengenai Mbak Farah, aku sama sekali tidak menyinggungnya.

Mas Akhdan pun menanyakan perihal yang sama dan tentunya tentang agendaku selanjutnya, yang jelas bukan perkara pernikahan.

"Aku ditawari menjadi tenaga pengajar di kampus Mas, beberapa waktu yang lalu. Masih kupertimbangkan, sih. Kayaknya bukan pilihan yang buruk. Lagian, Lmode juga sudah diurus dengan baik oleh Mbak Anggi, jadi aku nggak perlu khawatir." Aku menjawab pertanyaan Mas Akhdan apa adanya.

Memang benar bahwa aku mendapat tawaran mengajar di tempat kerjanya Mas Akhdan. Sayang sekali jika ditolak hanya karena ada sentimen pribadi. Selain itu, usahaku juga sudah lebih maju, sehingga aku bisa saja hanya memonitor dari jarak jauh. Tidak seperti dulu yang mengharuskan diriku untuk ikut andil dalam segala hal, termasuk urusan packing dan sejenisnya.

"Malah bagus itu, Dek. Berkas-berkasnya sudah siap semua? Kalau tidak keberatan, nanti Mas bantu."

Saat ini, aku memang sedang menyiapkan beberapa file sebagai penunjang administrasi. Sebenarnya ada yang belum diurus, yaitu ijazah. Sebab, pembagian ijazah masih nanti berbarengan dengan wisuda, sekitar tiga bulan lagi. Oleh sebab itu, aku masih sedikit santai karena tidak akan ada yang mengerti akan ada kejadian apa dalam rentang waktu tiga bulan itu. Bisa saja aku akan menikah dengan orang seberang, jadi aku bakal pindah domisili.

Eh, itu nggak mungkin, kan?

Satu pemikiran konyol ini mengingatkanku akan acara lamaran yang sempat dibahas sekilas oleh Bapak dua hari lalu. Aku masih belum menemukan jawaban. Bagiku, itu persoalan serius, makanya aku tidak boleh terburu-buru.

"Dek," panggil Mas Akhdan yang sontak mengagetkanku. Perkara lamaran yang mengganggu pikiran, aku sampai melupakan lelaki yang duduk manis di hadapanku ini.

"Fokus makan dulu aja, yuk!" ajak Mas Akhdan yang langsung kuiakan.

Aku benar-benar tidak menyadari bahwa menu-menu yang kupesan sudah datang. Tidak banyak, sih. Hanya ada nasi bakar ayam rendang, es teh jeruk lemon, dan juga camilan yang tadi sempat direkomendasikan oleh Mas Akhdan.

Banyak ternyata, ya? Dalam hati, aku tertawa sendiri memahami tingkahku yang terkadang bikin malu, apalagi jika itu menyangkut makanan, aku memang kerap khilaf.

Sepanjang menikmati makanan, aku dan Mas Akhdan sama-sama diam hingga menu utamanya habis, menyisakan camilan dan tentu saja minumanku yang tinggal setengah gelas.

Acara bertegur sapa sejenak hari ini akhirnya usai. Saatnya, aku pulang. Sedari tadi, Mas Akhdan memaksa untuk mengantarku, tetapi aku tolak. Aku tidak enak hati kalau harus merepotkan lelaki itu. Kafe pun mulai ramai karena nanti malam minggu. Sehingga, aku memilih pulang sendiri. Toh, jaraknya tidak jauh dari rumah. Aku tidak merasa keberatan jika harus menaiki kendaraan umum selaiknya waktu berangkat tadi.

Selepas berpamitan dengan Mas Akhdan, aku menuju ke pinggir jalan dengan selalu diawasi oleh tatapan lelaki di belakangku dari kejauhan. Aku merasa lumayan lega setelah berbincang dengan Mas Akhdan. Setidaknya, beban masa lalu secara tidak langsung bisa terangkat. Setelah itu, aku akan menyelesaikan satu per satu permasalahan yang dulu belum tuntas.

Di sela menunggu angkot, aku mengambil ponsel yang sejak tadi kubiarkan di dalam tas. Ada banyak pesan di sana. Namun, aku sengaja mengabaikan. Sebab, aku sedang malas meladeni keisengan seseorang yang beberapa hari ini sengaja kuhindari. Selain itu, ada juga panggilan tak terjawab dari nama yang sama.

"Apaan, dah!" keluhku kemudian. Aku merasa diteror kali ini. Aku sangat kesal, sekaligus ... senang secara bersamaan. Aku memang aneh.

"Ojek, Neng. Yuk!" Aku geram mendengar suara itu. Sudah dibilang jangan muncul di sini, tetap saja keras kepala.

Kalau aku makin suka ... gimana? Aku mengeluh.

"Ayo naik! Kalau nggak cepat masuk mobil, aku bakal turun, loh. Soalnya ... nun jauh di depan pintu, ada yang menatap kamu segitu dalam. Aku cemburu," ucap seseorang yang berada di dalam mobil, yang sejak kedatangannya tadi sudah cukup membuat pusing.

"Kaca mobilnya ditutup, sih," protesku yang hanya dibalas tawa menjengkelkan.

Sebelum menaiki mobil itu, pandanganku beralih. Di ujung sana, aku melihatku dengan tatapan yang sulit kubaca, entah itu sorot luka atau kecewa, aku enggan mengartikannya.

"Rasanya pengin segera kulamar secara resmi, deh."

Kata-kata itu berhasil membungkamku. Aku saja masih kurang yakin. Bisa-bisanya lelaki yang duduk di balik kemudi ini mengatakan dengan terlalu percaya diri semacam itu. Aku, kan, makin sebal. Padahal, aku sudah bilang kalau aku butuh banyak waktu untuk berpikir. Namun, orang ini seakan-akan tidak memberiku kesempatan untuk menyingkir.

Apa hatiku segitu transparan, ya?


***
To b continued.

Akhirnya bisa update lagi dan tinggal satu bab yang bakal menyusul.

Selamat membaca, ya!

Dear, Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang