14. Semangkuk Pindang

28 9 2
                                    

Setelah menunggu berhari-hari, minggu yang dinanti pun tiba. Kini, saatnya bersiap-siap menuju ke rumah ibu kedua. Sedari sebelum subuh, Ibuku sudah berkutat di dapur untuk menyiapkan berbagai macam camilan agar bisa kubawa serta. Selalu saja seperti ini sejak dulu. Ibu selalu heboh ketika aku mau berkunjung ke rumah itu. Selain karena anaknya yang bersahabat, Ibuku dan ibu keduaku itu memang sudah akrab sejak masih muda dulu. Persis seperti aku dan Anjani.

"Bingkisan yang di dapur tadi, jangan lupa dibawa! Awas, kalau lupa!"

Itu pesan Ibu sebelum berangkat ke toko tadi pagi.

Bagaimana bisa lupa? Kalau Ibu sudah mengatakan hal serupa lebih dari lima kali. Duh, Ibuku.

Rencananya, Mas Akhdan akan mengantarku pagi ini. Namun, karena ada urusan mendadak di kafe. Niat itu segera diurungkan. Aku tidak bertanya lebih detail alasannya apa. Sebab, aku percaya bahwa lelaki itu tahu mana prioritas utamanya.

Sudah mendekati pukul 9 pagi, aku sudah berdandan rapi. Bingkisan yang akan dibawa pun sudah siap semua, tinggal menunggu Anjani menjemputku saja.

Lima menit setelahnya, bel rumah berbunyi. Ucapan salam terdengar nyaring di telinga. Aku segera ke depan untuk membuka pintu, menyapa sejenak sang penjemput itu.

"Loh? Bukan Jani yang ke sini, Mas?" tanyaku pada lelaki di hadapanku ini. Sudah bisa kutebak, ini pasti kerjaan Anjani. Tak henti-hentinya wanita itu membuatku kelimpungan semacam ini.

"Lagi ada sedikit urusan kantor tadi," jawabnya menanggapi pertanyaanku.

"Keberatan?" lanjutnya kemudian.

Aku pun menggeleng. Toh, tidak ada pilihan lain, kan?

Sudah telanjur di sini juga Si Mas ini.

Setelah itu, aku dan Mas Arvin langsung berangkat. Tak lupa juga membawa bingkisan-bingkisan kecil dari Ibu untuk keluarga Mas Arvin.

Tak butuh waktu lama, aku dan Mas Arvin sudah sampai. Jarak tempuh yang dibutuhkan hanya sekitar tujuh kilometer saja, sehingga, cukup dalam waktu kurang lebih lima belas menit untuk tiba di tempat tujuan.

"Yuk, turun!" ajak Mas Arvin padaku.

Sekuat hati, aku mencoba menghilangkan rasa canggungku. Biar bagaimana pun, intensitas pertemuanku dengan keluarga ini sudah jarang. Meski jauh sebelum ini, hubungan kami sangat dekat. Bahkan, sudah dua tahun lebih aku tidak berkunjung ke rumah ini. Maka dari itu, wajar jika ada rasa canggung yang mengganggu.

Di teras depan rumah, ibunya Mas Arvin alias ibu keduaku sudah menunggu kedatanganku. Langkahku sungguh berat. Ada rindu yang membumbung yang tiba-tiba berkelebat di kepala. Kuremas kuat kedua tanganku agar tangisku tidak pecah. Kini, jarak kami makin dekat. Perempuan yang begitu kurindu itu sudah merentangkan tangannya, bersiap untuk kupeluk.

"Bun," ucapku dengan nada bergetar. Kupeluk erat ibu keduaku ini dengan erat. Sesekali Bunda—begitu aku menyebutnya, mencium pipi kanan dan kiriku. Kemudian, memelukku kembali. Akhirnya, tangisku tumpah. Aku sesenggukan dalam rengkuhannya.

Di belakangku, Mas Arvin menepuk-nepuk pundakku pelan, untuk menguatkan. Lalu, ia berlalu memasuki rumah, menaruh bingkisan yang kubawa tadi.

Tak lama dari itu, Mas Arvin keluar dan mendekati kami berdua yang masih saling melepas rindu. Lantas, ia merangkul sang Bunda sambil berkata, "Anak perempuannya diajak masuk, Bun! Malu, tuh, kalau nanti kepergok tetangga. Masak lomba nangis di depan rumah. Dikira jadi korban sinetron, gimana?"

Pelukan kami pun terlepas dengan Bunda yang langsung menghadiahi pukulan ringan di lengan anak lelakinya itu. Mas Arvin terkekeh sendiri dibuatnya.

"Ayo masuk, Nduk!" ajak Bunda sambil menarik pelan tanganku.

Dear, Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang