35. Buku Catatan

35 7 12
                                    

Aku begitu tidak habis pikir dengan diriku. Bisa-bisanya tadi bertanya 'Mas, kok, di sini?'. Padahal, jelas-jelas jarak antara LMode dan E.A.T Mie hanya sejengkal. Menggelinding saja sudah sampai. Maka dari itu, tidak heran jika Mas Arvin tiba-tiba saja menghampiriku.

"Mampir sebentar, ya, Ra! Mas lapar," ucap Mas Arvin membuyarkan lamunanku. Aku pun hanya mengangguk. Malas berdebat jika tidak ingin aku sendiri yang skakmat.

Mas Arvin segera menepikan mobilnya ke salah satu kedai makanan Padang yang tidak jauh dari toko. Di sini juga merupakan salah satu tempat makan langganan ketika makan siang dan aku tidak sempat membawa bekal.

"Mas, kok, tahu kalau aku lagi pengin banget makan ini?" tanyaku pada Mas Arvin.

"Sehati, mungkin," jawab Mas Arvin singkat sembari tersenyum manis banget. Aku segera mengalihkan tatapan untuk menghalau rasa panas di pipi. Sungguh, aku benar-benar kikuk saat ini.

Setelah berhasil menetralkan degup jantung, aku lantas mengekor di belakang Mas Arvin yang sudah terlebih dahulu masuk ke warung makan minang tersebut.

"Mau makan apa, Ra?" tanya Mas Arvin padaku. Aku sedikit bingung.

"Ayam Bakar saja, ya, Mas," sahutku kemudian. Kalau makan Rendang tidak mungkin. Meski orang-orang bilangnya itu makanan kelas Dewa bahkan diakui kelezatannya sampai mancanegara, aku tetap tidak suka. Aku dan hewan berkaki empat sudah menjadi musuh abadi sejak lama. Mau diolah menjadi apa saja, lidahku tetap payah sekadar untuk mengecapnya.

"Ya, sudah. Kamu duduk dulu saja, ya! Nanti Mas bawakan," kata Mas Arvin yang kutimpali dengan anggukan.

Aku pun berjalan menuju ke tempat duduk yang masih kosong. Tepat di pojokan, bagian terdekat dengan kipas angin. Sebenarnya, aku agak ragu duduk di sini. Sebab, rasa dingin dari kipas angin bisa langsung menyusup hingga mampu membuatku menggigil. Serendah itu memang kemampuanku menyoal toleransi terhadap hawa dingin.

Kulihat, Mas Arvin sudah mendekat ke arahku dengan membawa dua porsi makanan yang dipesan. Aku reflek berdiri, bermaksud untuk membantunya. Namun, lelaki itu mencegah.

"Mas bisa, Ra," tolak Mas Arvin lembut. Aku pun pasrah.

Akhirnya, kami menyantap makanan dengan hening. Tidak butuh lama, dua porsi makanan pun tandas. Meskipun, aku tadi ogah-ogahan menghabiskan karena porsi jumbo di warung makan ini. Namun, aku segera melahap habis karena diancam akan disuapi kalau tidak dihabiskan.

Daripada jantungku yang berulah efek sikap Mas Arvin, mending babat habis saja makanannya, kan? seruku dalam hati.

Setelah usai, kami berdua meluncur ke arah mobil. Sembari menunggu Mas Arvin menyelesaikan urusan pembayaran. Aku beranjak duluan masuk ke dalam mobil.

Sesampainya di dalam mobil, aku memposisikan diri dengan benar. Lalu, tanpa sengaja netraku menangkap satu buku catatan yang tidak asing. Untuk menuntaskan penasaran, kuambil buku tersebut lalu kubaca isinya. Aku mungkin sudah lancang, tetapi rasa penasaranku sudah tak tertahan.

Kubuka acak, lalu kutemukan sebaris kalimat yang membuat denyut nadiku makin meningkat.

Dear, Shappire
Segala tentangmu adalah hal yang paling sulit diubah, termasuk rasaku
Bertahun sudah kemelut ini ingin kucegah
Namun, semua itu sungguh tak mudah
Kian lama, pesonamu makin membuatku lengah

Aku tidak ingin melanjutkan sajak yang tak sengaja kubaca ini. Aku tidak tahu harus bahagia atau bagaimana? Pasalnya, dia adalah sosok yang begitu ingin kujauhi setengah mati, sekaligus yang ingin kugapai sepenuh hati. Lelaki itu hanya datang disaat yang tidak tepat saja. Jika kuusir pergi, aku yang akan tersakiti. Akan tetapi, jika kutahan di sisi, ada seseorang yang akan terkhianati.

Kulihat Mas Arvin mendekat dan aku masih mematung di tempat. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap.

Mas Arvin tampak kaget melihat buku catatan yang kugenggam. Buku catatan bersampul biru safir yang kini membuat segalanya berubah, hatiku yang kian tak tentu arah dan sikap amarah terhadap lelaki di dekatku ini yang makin membuncah.

Aku menyorot tajam pada kedua bola matanya. Tatapan teduh itu berubah sendu. Rasa bersalah yang mengikat sepertinya tepat untuk mendeskripsikan arti tatapan itu.

"Sudah selama itu, Mas? Tapi Mas diam saja. Aku sampai seperti orang bodoh yang mati-matian meredam rasa itu agar tidak tumpah, Mas. Selama ini, Mas ke mana saja? Gila, ya, kamu, Mas!" ungkapku meledak sambil menahan tangis yang sepertinya tidak lagi bisa dicegah.

"Kenapa dulu Mas menyuruhku pergi kalau ternyata rasa yang kita punya sama?"

Rasa marah dan kecewa sudah melebur menjadi satu. Aku tidak bisa berkata-kata lagi selain merasai sesak yang mengepung hati.

"Maaf, Ra. Saat itu, kita masih terlalu muda. Mas tidak yakin bisa menjaga segalanya tetap berjalan sesuai rel kalau tetap dipaksa. Saat itu, Mas belum begitu menyadari efek setelahnya. Mas sama sakitnya denganmu, Ra. Rasanya Mas belum puas menyiksa diri Mas sendiri dengan terus membenamkan namamu di sini," ucap Mas Arvin dengan berkaca sambil menunjuk hatinya.

"Mas memang salah sudah tidak jujur. Ketika Mas sudah mengumpulkan keberanian, sepertinya Mas sudah terlambat. Kamu sudah menentukan pilihan dan Mas tidak bisa mencegah. Maaf, Ra. Mas minta Maaf," kata Mas Arvin dengan nada sedih.

Aku tidak berkutik mendengar alasannya. Di satu sisi, aku senang mengetahui bahwa pemilik batu safir itu aku sendiri orangnya. Namun, ada sisi hatiku yang lain yang masih mengekang kuat-kuat. Aku ingat Mas Akhdan yang selama ini berjuang. Akan tidak adil bagi lelaki itu, jika aku meninggalkannya hanya sebab hatiku secara tak sengaja sudah tercuri. Kurang ajarnya, sang pencuri itu adalah sahabatnya sendiri.

"Lalu, sekarang gimana, Mas? Aku sudah memulai membuka hati dengan yang lain dan Mas dengan teganya berkata seperti itu. Bagiku, kejujuran Mas sangat mengganggu."

Aku lantas tak bersuara lagi setelah mengatakan itu. Air mataku sudah meluncur deras membasahi pipi. Rasanya, urat maluku sudah terlempar jauh entah ke mana. Aku tersedu dengan hebatnya di depan lelaki yang enggan kusebut namanya ini. Sebab, hatiku bisa langsung berubah hanya dengan merapal namanya, seperti biasanya.

"Maaf, Ra. Mas hanya ingin kamu bahagia. Siapa pun itu pilihanmu, Mas akan selalu mendoakan yang terbaik. Rasa ini biar menjadi tanggung jawab Mas. Kamu, tetap dengan jalur yang kamu tempuh."

Mas Arvin mengatakan itu apa tidak dipikir sebelumnya. Seperti apa pun alasannya, hasilnya tetap sama. Hatiku sudah porak-poranda.

"Pulang saja, yuk! Biar bisa cepat sampai rumah. Setelahnya, kamu bisa mengistirahatkan pikiran dan badan," kata Mas Arvin.

Aku hanya diam. Tidak bereaksi sama sekali. Aku masih sibuk berkompromi dengan hati. Rasanya semacam tertusuk duri, ada yang sakit di berbagai sisi.

Perjalanan kali ini terkesan panjang. Meskipun, jarak yang ditempuh cuma sebentar. Sepanjang jalan aku dan Mas Arvin hanya diam, tidak ada sepatah kata pun yang terlontar.

Aku harus bagaimana setelah ini, Tuhan?

_________________

To be continued.


Perjalanan menuju tamat, sekitar 3 bab lagi, mungkin, tapi masih bingung mau dibikin ending gimana. Ada ide? 🤭

Dear, Sapphire (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang